Pembakaran sampah telah dilakukan selama berabad-abad, terutama di daerah pedesaan. Hal itu wajar terjadi karena tidak tersedia infrastruktur pengelolaan sampah yang memadai. Praktik ini memiliki dampak negatif pada lingkungan dan kesehatan manusia, seperti melepaskan zat kimia berbahaya dan berpotensi menghasilkan polusi udara[1].
Dalam beberapa kasus, pembakaran sampah juga disebabkan tradisi budaya[2]. Memang tak bisa dipungkiri, bahwa fasilitas yang tersedia terutama di masyarakat pedesaan sangatlah terbatas. Bahkan hampir tak ada mobil angkutan sampah yang melintas. Ini saya saksikan sendiri di desa saya. Akhirnya warga-warga setempat membuang sampah di belakang rumah.
Menengok ke masa silam tepatnya pada awal abad ke-19, pembakaran sampah menjadi lebih umum di kota-kota besar di seluruh dunia, terutama setelah adanya pandemi kolera pada tahun 1832[3]. Pada saat itu, pembakaran sampah dianggap sebagai solusi untuk mengurangi penyebaran penyakit dan bau yang tidak sedap. Namun, seiring waktu, praktik ini terbukti tidak efektif dan bahkan berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan.
Pada tahun 20-an, teknologi insinerasi atau pembakaran sampah modern mulai diperkenalkan di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Inggris[4]. Namun, teknologi ini masih kontroversial karena dapat menghasilkan emisi berbahaya dan limbah beracun. Sejak itu, banyak negara beralih ke praktik pengelolaan sampah yang lebih berkelanjutan seperti daur ulang dan pengomposan.
Referensi:
https://archive.epa.gov/epawaste/nonhaz/municipal/web/html/index-3.html
- https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2352146520300989
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0956053X17304302
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0956053X17304302
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H