Mohon tunggu...
Arief Budiman
Arief Budiman Mohon Tunggu... -

Berusaha keras selalu menyajikan tulisan bermakna, berguna dan menghibur.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia Terlalu Banyak Bersedih

3 Januari 2010   08:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:39 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tahun 2009 telah kita lewati. Banyak sekali hal yang patut jadi pelajaran di tahun yang baru lalu itu. Bencana alam yang masih tetap mengakrabkan diri dengan kita, rakyat yang masih hidup dalam keprihatinan serta perginya orang-orang besar yang sangat kuat prinsip kebangsaannya. Indonesia memang masih belum lepas dari kesedihan. Kesedihan yang datang dan datang lagi. Seperti kata Ebiet G. Ade dalam sebuah lagunya, “Mungkin Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa”. Bangga dengan dosa-dosa. Bukankah agama mengajarkan kebaikan, menjauhkan kita dari dosa-dosa. Tapi manusia yang hidup di Indonesia (baca:tidak semua) masih senang dan menikmati dosa-dosa yang diperbuatnya. Dosa terhadap rakyat, dengan janji-janji yang “super manis”, dan “super lupa” pula untuk menjalankan janji-janji itu. Kasihan para pendiri negeri ini, yang mati-matian memperjuangkan “kebebasan” Indonesia dari penjajahan, apapun bentuknya itu. Indonesia kini, masih dijajah oleh sosial-budaya asing, yang sengaja diinfiltrasi ke setiap jiwa anak bangsa, sehingga sebagian besar kita bangga dengan hidup penuh gaya hedonis. Indonesia kini, masih dijajah oleh banyak pelaku ekonomi, yang sengaja membuat negeri ini larut dalam suasana ekonomi penuh “perjudian”, menyerahkan diri pada mekanisme pasar yang masih dikontrol negara-negara “kaya” yang prinsip keseimbangan ekonominya hanya ‘diatas kertas”. Indonesia kini, masih dijajah oleh pelaku hukum yang “menghambakan” membela siapa yang bayar, menutup mata terhadap keadilan, melaksanakan hukum tak berperikemanusiaan. Penegak hukum yang tak pernah tegak terhadap apa yang dikerjakannya, sampai-sampai ayah saya pernah secara sinis mengatakan, “Penegak hukumlah orang yang pertama melanggar hukum” !. Indonesia kini, masih dijajah oleh politik yang berkiblat pada kepentingan pribadi. Sehingga politikus lebih mudah berbicara daripada berbuat untuk bangsa. Merancang ratusan Undang Undang yang melanggar ratusan Undang Undang juga, meng-amandemen Undang Undang yang ada dengan Undang Undang baru yang sarat kepentingan. “Membunuh” pelan-pelan harapan dan hak rakyat dengan Undang Undang. Saya jadi teringat kata bang Zaitun (tokoh penyanyi Melayu keliling dalam film Sang Pemimpi-sekuelnya Laskar Pelangi) yang dengan lugu tapi cerdas mengucapkan,”Bahwa anggota DPR tahunya membuat Undangan!” (maksudnya Undang Undang) alias tak punya kerjaan lain. Indonesia kini, masih dijajah oleh ketidak mampuan alutista. Sistem persenjataan militer yang “lemah”, padahal secara sumber daya, prajurit kita punya modal yang cukup handal dalam bela negara. Namun anggaran belanja negara masih meng”anak tirikan” garda depan pembela negara ini dalam hal minimnya kemampuan persenjataan dan income yang pantas buat tentara kita. TNI telah mereformasi diri dengan slogan “kembali ke barak”, namun hal itu masih “dibayar” dengan kondisi kehidupan yang cenderung “menyedihkan”. Padahal negara-negara asing di lingkungan ASEAN saja, sudah memiliki alutista yang jauh lebih modern, walaupun kelemahan mereka adalah jumlah prajuritnya. Indonesia kini, masih dijajah oleh kurikulum pendidikan yang tak jelas ujungnya kemana. Ganti menteri, ganti pola pendidikan. Bahkan kita tak mengenal lagi yang namanya Kurikulum resmi pendidikan nasional, maka mejamurlah “penjajahan” kurikulum negara asing ke sistem pendidikan kita, coba lihat sekolah-sekolah unggul di negeri ini (terutama yang dikelola swasta), tak satupun memakai standar kurikulum pendidikan Indonesia. Dan pemerintah cenderung “diam”, tanpa mampu menertibkannya. Indonesia kini, masih dijajah oleh “rasa nasionalisme” yang cenderung rendah dari anak-anak muda kita. Anak muda yang bangga dengan pola hidup barat, dan orang tua yang juga asik kebarat-baratan. Indonesia terlalu banyak bersedih. “Perginya” orang-orang besar yang memegang teguh prinsip kebangsaan, kejujuran dan kepedulian terhadap rakyat, semakin menambah sedihnya Indonesia. Saatnya kita merajut kembali, jiwa nasionalisme bangsa yang besar, sebelum “penjajahan” benar-benar nyata bentuknya, dan kita tak bisa berbuat apa-apa, walau cuma sebaris kalimat protes saja !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun