Anak ibu kota selalu menempati strata eksklusif dalam sebuah pergaulan. Disukai atau tidak dan diakui atau tidak, peng-eksklusif-an golongan itu mendorong banyak kalangan muda untuk membangun identitas menjadi atau paling tidak dianggap seperti mereka, baik secara materi maupun gaya. Dampaknya, tentu saja memarjinalkan siapa saja yang bukan dari golongan itu, yaitu mereka yang tidak hidup di perkotaan yang makmur dan sibuk. Pada akhirnya gaya hidup ibu kota dan kota besar menjadi kiblat dan tujuan akhir bagi setiap perjuangan kehidupan disini.
Dalam bentuk pengeksklusifan tersebut mereka (anak ibu kota dan mereka yang ingin menjadi seperti itu) membentuk identitas yang sebisa mungkin sangat berbeda dengan teman-teman yang bukan dari golongan mereka. Mereka ingin  bisa dikenali dengan sangat singkat atau bahkan secepat kilat. Kalau dengan materi (tentu saja bagian materi lebih mendekati mimpi daripada pencapaian) dan gaya dirasa belum cukup, mereka menciptakannya dalam bentuk bahasa. Basisnya tetap bahasa nasional, namun logat, diksi, dan sinonim yang mereka pakai sangat jauh berbeda dengan bahasa baku. Bukan hanya itu, bahasa ibu kota (Jakarta) juga bersifat aktif progresif yang mengikuti perkembangan dari waktu ke waktu. Hal itu bertujuan untuk menciptakan seberapa modern generasi ibu kota dari waktu ke waktu. Ungkapan yang pada suatu generasi dianggap pantas, bisa menjadi kuno pada generasi di beberapa tahun kemudian. Begitu seterusnya.
Kalau penggunaan bahasa baku oleh orang kota itu (dengan cara memodifikasikannya) dianggap sebuah anomali, nyatanya responnya selalu positif. Mereka dari kalangan sosial ekonomi yang memiliki kepentingan sendiri menganggap anomali berbahasa orang kota itu sebagai upaya masyarakat setempat untuk mengikuti perkembangan zaman. Dan kepentingan sosial ekonomi dengan sigap memanfaatkan (kalau tidak ingin disebut mengeksploitasi) segala bentuk anomali tersebut menjadi keuntungan yang tiada batas.
Sayangnya ibu kota kita (Jakarta) menjadi kiblat segala bentuk perikehidupan bangsa ini. Di kota yang sumpek itu, ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budayanya menjadi bahan tontonan hampir 300 juta orang yang berbaur di nusantara lewat kemudahan mengakses media penyiaran dan media baca. Ibu kota yang sejatinya memiliki masalah tumpang tindih yang seakan tidak berujung pangkal tersebut (kebanyakan) digambarkan di media sebagai tempat dimana sebuah mimpi indah berujung. Alhasil, ratusan juta orang berasumsi kalau orang ibu kota adalah simbol kemajuan dan kemakmuran. Tidak terkecuali cara mereka berkomunikasi atau berbahasa. Sebagaimana menurut Keraf dalam Smarapradhipa (2005:1), memberikan dua pengertian bahasa. Pengertian pertama menyatakan bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer. Padahal cara mereka memperlakukan bahasa nasional sangat tidak patut dicontoh oleh masyarakat lain.
Hanya Masalah Ekonomi
Kembali ke anomali gaya berbahasa anak ibu kota, ternyata gaya berbahasa itu telah menciptakan perbedaan golongan (kalau tidak ingin disebut kelas) antara pemakai dan bukan pemakai bahasa ibu kota. Dan respon tersebut berimbas pada dunia sastra modern belakangan ini. Ibu kota yang sampai saat ini adalah penyimak sastra yang aktif, dengan pangsa pasar 40%, nyatanya lebih menyukai karya sastra lokal dengan gaya bahasa modifikasi, seperti yang mereka gunakan. Sangat jarang sekali penulis lokal yang bukan berasal dari ibu kota atau yang tidak menggunakan gaya bahasa ibu kota, disukai oleh pembaca disana. Keadaan ini pernah berlangsung beberapa saat, dan hingga kini terus membayang-bayangi.
Sedangkan lainnya, yang 60% tersebar di seluruh penjuru negeri. Untungnya disinilah bahasa Indonesia yang baik dan benar betul-betul diapresiasi. Penulis-penulis dari daerah yang menggunakan bahasa nasional direspon sangat positif oleh penikmat sastra yang bukan berada di ibu kota, sehingga novel Laskar Pelangi, Ayat-Ayat Cinta, dan lain-lain bisa bersaing dengan karya John Grisham atau serial Twilight. Penetrasi pasar sastra (dengan bahasa Indonesia baku) tersebut pada akhirnya mampu mengalahkan dominasi sastra berbahasa anomali di ibu kota. Hal itu cukup mengejutkan karena sastra berbahasa anomali (terus terang saya tidak ingin menyebutkan karya-karya ini) sudah menguasai pasar sastra kita sejak era pertengahan 70’an.
Namun (sayangnya) fakta yang tertulis diatas bukanlah akhir dari kemenangan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Hal itu hanyalah fakta ekonomi atau jurus dagang, yang tidak lepas dari faktor keberuntungan. Cepat atau lambat sastra nasional akan dibanjiri dengan karya berbahasa anomali dan sulit dipahami, karena berasal dari generasi yang berbeda atau lebih baru lagi.
Kenapa bisa begitu? Karena lahirnya sebuah sastra tidak lepas dari kreatifitas dalam berkarya dan berdagang dari para pelakunya. Kreatifitas berbahasa tidak akan pernah dibatasi. Sedangkan siapa saja yang beruntung merespon kejenuhan pasar, dan menciptakan produk (sastra) baru yang populer, maka merekalah yang keluar sebagai pemenangnya. Jika penikmat sastra sudah jenuh dengan kemenangan sastra berbahasa baku (yang kaku), mereka akan mencari karya lain yang berbeda. Apalagi pemain utama dari penerbit buku di negeri ini ada di ibu kota Jakarta.
Sebuah Tempat Dimana Bahasa Indonesia Digunakan Dengan Bangga
Kalau Amerika mampu melokalisasi industri otomotif mereka di Detroit, Australia memindahkan industri olah raga mereka di Melbourne, dan Jerman memusatkan industri hiburannya di Berlin, dan ketiganya mampu berjalan dengan lancar, meskipun dengan persiapan sarana dan prasarana yang begitu besar, kenapa kita tidak bisa memindahkan industri sastra (bahasa) kita di tempat yang baru? Tempat dimana orang-orang menggunakan bahasa Indonesia dengan bangga dan merasa terhormat. Tempat dimana bahasa Indonesia dianggap sebagai bahasa penghubung antara mereka yang berbahasa Jawa, Sunda, Bali, Papua, Batak, dan lain-lain. Tempat dimana bahasa Indonesia tidak dimodifikasi menjadi bahasa anomali untuk kepentingan bersosialisasi atau mencari identitas diri. Tentu saja pemindahan tersebut hanya membutuhkan tekad yang kuat, tanpa persiapan sarana dan prasarana yang merepotkan. Semua itu demi kepentingan bahasa nasional kita di masa depan.
Kalau para pelaku sastra tetap bersikukuh menjadikan ibu kota Jakarta (dengan segala ke-anomali-annya berbahasa Indonesia) sebagai pusat sastra negeri ini, tentu hal itu membutuhkan kedisiplinan yang kuat dari semua lapisan masyarakat kota itu untuk kembali berbahasa dengan baik dan benar, meskipun hal itu hampir mustahil. Mereka akan menganggap sesuatu yang baik dan benar tersebut hanyalah cara kuno dan norak belaka. Tidak ada yang mustahil di dunia ini, sehingga judul diatas bukan bermaksud untuk menghakimi. Justru memberikan tantangan para pelaku sastra disana, mampukah mereka menjadi pusat sastra Indonesia, sedangkan masyarakatnya tidak menghormati bahasa nasional tersebut dengan semestinya, Jika tidak, kota-kota di Medan, Riau, Bali, Makassar, atau Semarang sudah siap menjadi pusat sastra, karena di kota-kota tersebut bahasa Indonesia diucapkan dengan bangga dan berkelas.
Penulis adalah filmmaker dan penulis fiksi yang tinggal di Semarang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H