Hiruk pikuk dunia diplomasi Indonesia sedang mengalami fase yang cukup sibuk di triwulan pertama tahun 2016 ini. Selain ASEAN Community yang resmi berlaku sejak 31 Desember tahun lalu yang cukup menyita perhatian, hingga menjadi tuan rumah KTT OKI 2016 tanggal 6-7 Maret 2016, ada persoalan lain yang agaknya luput dari perhatian masyarakat Indonesia. Isu disintegrasi Papua Barat dari Indonesia tidak setenar dua persoalan yang sudah saya sebutkan sebelumnya, bahkan orang-orang nampaknya lebih tertarik dengan Pilgub DKI yang memunculkan beberapa nama populer menjadi calon-calonnya ketimbang melirik isu yang satu ini.Â
Entah disengaja atau tidak, blow up media terhadap isu disintegrasi Papua Barat tidak begitu masif dan cenderung rendah. Bahkan tak heran seandainya ada dari kita yang malah tidak sadar ada perkembangan terbaru dari kasus ini. Ya, sekali lagi ini karena sorotan media tampaknya lebih rate-oriented yang bisa jadi menganggap isu ini tidak akan menarik banyak perhatian masyarakat. Media lebih memilih menggembar-gemborkan kasus pedangdut SJ ketimbang disintegrasi Papua Barat. Ironis memang.
Mari membaca sejarah awal Papua Barat menjadi bagian dari Ibu Pertiwi. Untuk menghemat kata, Irian Barat resmi menjadi bagian dari keutuhan NKRI sejak tahun 1969 melalui Pepera dan PBB menjadi salah satu peninjau resmi pelaksanaannya. Tapi bukan berarti persoalan berhenti disitu. Dari tahun ke tahun gangguan-gangguan untuk "memerdekakan papua"-isitilah yang lazim digunakan para aktivis perjuangan Papua Merdeka- terus meningkat. Tapi selama itu juga Ibu Pertiwi masih bisa mendekap Papua Barat dalam pelukannya.
Ketidakmerataan pembangunan yang berujung pada buruknya tingkat ekonomi masyarakat Papua, harus diakui Pemerintah Indonesia sebagai kegagalan yang sukses diulang dari tahun ke tahun. Kondisi alam tanah Cenderawasih yang "ekstrem" yang menghambat distribusi pembangunan infrastruktur, mestinya tidak dijadikan alasan oleh pemerintah kita terkait masalah ini. Simpelnya, jika Pemerintah memang serius membantu saudara-saudara kita disana, hal tersebut bukanlah perkara susah.
Bersamaan dengan itu gerakan-gerakan pembebasan Papua Barat yang berskala Internasional tumbuh subur. Indonesia melalui aparat pertahanan kedaulatan negara, melihat ini sebagai sebuah tindakan makar yang tidak dapat ditawar-tawar. Penumpasan gerakan-gerakan semacam ini pun rutin dilakukan oleh TNI, tapi tak cukup mematikan hingga ke akar-akarnya.
Di forum internasional seperti Melanesian Spearhead Group yang terang-terangan mendukung adanya peninjauan terhadap pelanggaran HAM berat, Genosida, yang dilakukan TNI terhadap warga Papua Barat. Pada masa pemerintahan Presiden SBY, sempat populer sebuah langkah diplomasi yang dikenal sebagai "Look East Diplomacy". Ringkasnya, melalui kebijakan ini berusaha mengingatkan kembali Indonesia, bahwa kita memiliki "halaman belakang" yang jika tidak diberi perhatian khusus dapat memberikan ancaman serius. Pada saat itu Indonesia memang terkesan terlalu serius memperhatikan tetangga-tetangganya di Barat dan di Utara. Hasilnya pun lumayan, Indonesia saat itu diterima menjadi observer di forum Melanesian Spearhead Group dan Indonesia rutin memberikan donasi untuk pengembangan akademi kepolisian negara-negara Melanesia. Termasuk trend positif tingkat ekspor Indonesia ke negara-negara Pasifik Barat Daya meningkat pada periode 2004-2014.
Sehabis masa jabatan SBY, Presiden Jokowi melalui Menlu Retno juga sempat menaruh perhatian ke kawasan satu ini, ini ditunjukkan dari kunjungan Menlu Retno pada Maret 2015 di forum Melanesian Spearhead Group. Menurut pengakuan Menlu Retno kehadirannya di forum tersebut murni hanya membahas tentang kerjasama regional kawasan tersebut dengan Indonesia. Indonesia bahkan menjadi donatur dalam pembangungan negara-negara Melanesia dengan jumlah bantuan 20 juta US dollar pertahunnya. Tapi pada saat bersamaan di tempat terpisah, PM Papua Nugini, PM O'Neill mengakui bahwa isu Papua Barat termasuk dalam agenda kunjungan Menlu Retno tersebut. PM O'Neill mengatakan, Pemerintah Indonesia berusaha meyakinkan bahwa permasalahan Papua Barat telah selesai sejak tahun 1969 dan kini Papua Barat merupakan bagian integral Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nampaknya pemerintah Indonesia berusaha menggunakan pendekatan ekonomi dalam meraup dukungan internasional terkait isu Papua Barat. Sayangnya itu tidak berjalan sesuai harapan.
Kurang Lebih enam bulan berselang, masih dalam forum Melanesian Spearhead Group ada dua keputusan yang cukup menghentak namun kurang begitu tersorot media nasional kita. Pertama, keberadaan ras Melanesia di Indonesia (Papua, Maluku dan Nusa Tenggara) dianggap cukup untuk menjadikan Indonesia sebagai associated member di organisasi regional ini. Tapi pada saat bersamaan sebuah organisasi pembebasan Papua Barat bernama, United Liberation Movement for West Papua juga diakui keberadaannya dan diangkat menjadi peninjau di forum MSG. Hal yang menandakan, separatisme Papua Barat mulai didengar dan diakui dunia.
Pengakuan terhadap ULMWP di forum Internasional dianggap sebagai kekalahan diplomasi Indonesia. Perlu dicatat bahwa ULMWP telah membuka kantor diberbagai belahan dunia yang siap memberikan support dalam pembebasan Papua Barat dari Indonesia. Negara-negara dengan ras Melanesia solid dalam memperjuangkan pembebasan Papua Barat yang juga didominasi ras Melanesia. Awalnya saya pribadi tidak ingin mengarahkan persoalan ini ke ranah Ras, tapi nampaknya memang faktor satu ini cukup mempengaruhi dan memperkuat keinginan negara-negara Melanesia untuk menyelamatkan saudara mereka, yang mereka anggap sedang mengalami penjajahan dari Indonesia.[caption caption="Aksi solidaritas masyaraka Fiji memperjuangkan kemerdekaan "saudaranya" di Papua Barat.Â
Era media sosial juga dilirik sebagai media penting dalam menyebarluaskan usaha pembebasan Papua Barat. Digital Campaign di twitter dan instagram dari Free West Papua ternyata cukup massive dan mengkhawatirkan bagi Indonesia. Usaha Indonesia menciptakan Citra yang baik di forum Internasional cukup tercoreng dengan pengangkatan isu-isu HAM dari gerakan pembebasan Papua Barat oleh Free West Papua di media sosial.
Hemat saya, pemerintah seolah ingin mendinginkan persoalan ini meski tetap sadar jika Papua Barat ini sangat vulnerable dari gangguan-gangguan eksternal. Ketegasan pemerintah sangat lemah dalam kasus ini, tudingan genosida yang kerap ditujukan kepada TNI di Papua, mestinya bisa dibuktikan ke dunia bahwa hal tersebut benar-benar tidak terjadi. Tak cukup sampai disitu, kebutuhan primer masyarakat Papua harus mulai dinomor satukan pemerintah Indonesia. Peningkatan Ekonomi, Pendidikan, Infrastruktur di tanah Papua harus benar-benar diimplementasikan, jangan hanya diwacanakan, jika memang serius ingin mempertahankan Papua Barat dari kepungan solidaritas ras Melanesia yang siap mengganggu kedaulatan NKRI kapan pun.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H