Mohon tunggu...
budi hatees
budi hatees Mohon Tunggu... -

Budi Hutasuhut atau Budi Hatees, lahir 3 Juni 1972 di Sipirok.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Giwang untuk Istri

16 September 2012   03:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:24 1866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suami istri itu saling pandang. Tak ada kalimat. Tapi mata keduanya sudah lebih dari cukup untuk saling memahami kondisi masing-masing.

Si suami baru saja tiba di rumah sepulang kerja. Setiap hari ia keluar rumah untuk menawarkan jasa memperbaiki cincin, gelang, kalung emas, dan perhiasan lain yang rusak. Ia masuk ke kompleks-komplek perumahan, ke kampung-kampung yang jauh. Berkilo-kilo meter ia tempuh setiap hari. Ia tak letih, meskipun betisnya semakin mengeras karena dipakai menggoes pedal sepeda tuanya.

Si istri memang selalu di rumah, mengurus semua keperluan sehari-hari, dan menyambut suaminya pulang. Setelah menyelesaikan urusan rumah, istrinya selalu menyempatkan Duha dan mengirimkan Al Fatiha untuk suaminya. Tak lupa ia panjatkan doa agar rezeki suaminya lebih banyak.

Setiap kali selesai berdoa, ia selalu merasa tak enak dan sangat jahat. Karena doanya selalu saja agar Tuhan melimpahi rezeki, sementara rezeki suami dari barang-barang pribadi yang rusak. Itu artinya ia mendoakan agar cincin, gelang, atau kalung emas milik semua orang menjadi rusak sehingga suaminya bisa dapat pekerjaan.

Ia pernah bilang pada suaminya agar mengganti pekerjaan lain.

Suaminya selalu menjawab: "Saya sudah pernah menjadi tukang patri keliling, tukang servis payung keliling, tukang sol sepatu,ah.... kau tahu kan, istriku. Semua pekerjaan itu memaksamu harus mendoakan semoga terjadi hal-hal buruk terhadap orang lain. Maafkan aku, istriku."

Istrinya maklum. Suaminya sudah berusaha mendapat pekerjaan yang lebih bagus, tapi belum rezeki. Kalau soal keinginan, suaminya pasti ingin punya perusahaan, punya bisnis besar, atau setidaknya bekerja di sebuah kantor. Cuma, rezeki belum berpihak. Usaha sudah dilakukan, niat sudah dikuatkan, tapi memang belum rezeki.

*

Kau tahu kan kalau soal rezeki, siapa pun tidak bisa mengatur kecuali Yang Mahamemberi. Tapi, kalau tukang cerita seperti saya menyelesaikan semua ceritanya dengan cara seperti ini, sudah pasti tidak akan ada cerita. Semua memang urusan Yang Mahamemberi, karena itu saya tak akan memasuki wilayah itu. Saya akan menceritakan sepasang suami istri yang penuh perjuangan dalam hidup. Moral seperti ini dibutuhkan pembaca cerita, apalagi jika di akhir cerita saya buat tragis.

Tragis? AH, tidak. Menjadi orang miskin saja sudah sebuah tragedi. Saya tak akan membuat nasib suami istri ini menjadi tragis. Mereka tokoh saya, dan mereka harus memperjuangkan moral dari cerita saya.

Tidak ada cerita tanpa moral. Maka, tukang cerita haruslah seorang moralis, setidaknya berpura-pura tahu persis perkara moral. Nah, sehabis membaca kisah ini, ceritakan apakah saya masuk dalam katagori yang bermoral atau berpura-pura bermoral. Saya sendiri sering berpura-pura bermoral, meskipun moral saya sangat buruk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun