Laki-laki itu, Â Jaffar (45), terlihat murung saat keluar dari pagar Kantor Badan Pertanahan Nasional di Kota Padangsidempuan, Sumatra Utara. Keningnya berlipat. Â "Tidak bisa," katanya.
Ia baru saja mengurus sertifikat tanahnya, yang ada di kampungnya, di Kecamatan Sipirok. Di atas tanah warisan leluhurnya itu, berdiri rumahnya, tempat ia lahir dan besar. Sejak Kecamatan Sipirok ada, rumah itu sudah berdiri di sana. Â Tapi, petugas di BPN mengatakan, ia juga seluruh rakyat Kecamatan Sipirok, tidak bisa mengurus sertifikat untuk tanah mereka.
"Kata petugas, seluruh lahan di Kecamatan Sipirok merupakan kawasan register." Jaffar mengangkat bahu, tak mengerti logika apa yang dipakai pemerintah saat menetapkan seluruh lahan di Kecamatan Sipirok sebagai kawasan register. Padahal, pada tahun 2007, Kota Sipirok ditetapkan sebagai Ibu Kota Kabupaten Tapanuli Selatan.
Jaffar datang ke kantor BPN Kabupaten Tapanuli Selatan yang ada di wilayah Kota Padangsidempuan untuk mengurus sertifikat tanahnya. Sertifikat itu ia butuhkan sebagai boroh di bank guna meminjam modal untuk pengembangan usaha jual-beli hasil bumi. Tapi, harapannya sirna untuk mendapat sertifikat ketika pedagawai di BPN itu mengatakan pemerintah melarang mengeluarkan sertifikat di wilayah Kota Sipirok.
"Apa pemerintah mau menyingkirkan dan mengosong manusia dari Kota Sipirok?" sempat Jaffar marah.
"Jangan ekstrim begitu," kata petugas BPN.
"Apa maksud peraturan register ini. Ini kan tanah kami, jauh sebelum ada Negara Republik Indonesia ini," katanya.
"Jangan marah kepada saya, saya cuma menjalankan tugas."
"Kepada siapa saya harus marah?"
Petugas BPN angkat bahu. Jaffar memndam kegusaran. Pulang tanpa hasil ke rumahnya di Kota Sipirok, sekitar dua jam perjalanan dari Kota Padangsidempuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H