Berpindahnya senjata otomatis seperti revolver (milik Polri), FN (milik TNI), dan senjata serbu AK-4 dan M-16 ke tangan para perampok di Medan dan Bukittinggi, merupakan fakta yang menyudutkan Polri. Dengan senjata-senjata moderen itu, Polri semakin kesulitan menghadapi aksi kriminalitas karena mereka hanya dibekali revolver dengan slindier hanya berisi enam butir peluruh. Untuk menjaga kepentingan sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, Polri mengalihkan isu ke terorisme. Dengan begitu, Densus 88 Anti Teror yang selama ini bekerja dengan senjata serbu yang otomatis, akan seimbang jika berhadapan dengan perampok yang juga menggunakan senjata sejenis.
Keterlibatan Densus 88 Anti Teror akan menjawab banyak pertanyaan yang selama ini muncul di masyarakat. Karena perampok-perampok bank itu merupakan teroris, makanya menjadi sangat logis jika mereka menggunakan senjata otomatis. Artinya, Polri tidak perlu lagi mencari alasan untuk menjawab pertanyaan kenapa senjata otomatis bisa berada di tangan masyarakat. Polri tinggal menunggu hasil kerja Densus 88 Anti Teror sambil mendesain isu baru untuk membenarkan setiap pilihan kebijakan di lapangan yang diambil pasukan Densus 88 Anti Teror. Ini mempermudah Polri karena Densus 88 Anti Teror berada dalam lingkungan institusi tersebut, lan gsung di bawah Kapolri.
Setiap informasi yang didesain Polri, disampaikan kepada wartawan yang selalu menunggu di Mabes Polri dan mencari peluang bisa bertanya langsung kepada Kapolri. Pada tataran inilah Polri menemukan momentum penting guna memanfaatkan pers untuk menjaga nama baik institusinya. Setiap informasi yang disampaikan kepada pers, selalu akan mendeskriditkan terorisme. Pemberitaan pers pun tidak berimbang.
Dalam Kode Etika Jurnalistik, setiap pemberitaan pers harus mengandung nilai berita (news values) besar dan menarik. Kasus perampokan bank sebetulnya biasa dan tidak menarik, tetapi oleh Polri diubah menjadi kasus terorisme sehingga pers tertarik dan membesarnya dengan kurang proporsional, alias tidak berimbang. Pembesarannya boleh jadi karena terprovokasi oleh sumber berita tertentu hingga media hanya meliput dari satu sisi (cover one side).
Mestinya, jika ada dua pihak yang terlibat konflik, kedua pihak harus diliput (cover both sides). Bila liputan hanya dari satu pihak, berita yang lahir menjadi timpang, istilahnya tidak objektif, alias tidak netral. Istilah untuk itu yang lebih populer adalah media berpihak karena ada kepentingannya. Mungkin ada media yang tidak sengaja berpihak, tetapi tidak jarang media sengaja berpihak.
Baik wartawan maupun Polri sama-sama saling memanfaatkan (simbiosis mutualisme). Dalam situasi seperti itu, sulit mencari pers yang jujur. Sukar pula mengharapkan Polri akan bekerja serius menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, karena lebih sibuk mencari kambing hitam. ***