Keindahan dan kecekatan seolah identik dengan Teller atau Customer Service muda di bank. Memandang teller cantik atau ganteng dengan senyum menawan mungkin dianggap sebuah daya tarik masyarakat untuk berkunjung ke bank. Senyum manis teller muda belia bisa dianggap pesona yang menjadi magnit buat nasabah untuk tetap loyal. Sebaliknya, teller tua dianggap bisa membuat nasabah ogah-ogahan berurusan dengan bank. Teller tua dianggap kurang cekatan sehingga bisa menurunkan kinerja pelayanan bank. Akhirnya tua dan mudanya seorang teller menjadi ukuran daya tarik bank di garis depan. Para pekerja berseragam dan ramah tersebut akhirnya menjadi salah satu alasan seorang bankir yang merasa cemas terhadap rencana BI mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang outsourcing, atau bahasa bakunya, tenaga kerja alih daya.
"Bila nasabah bertemu teller berusia 55 tahun, apakah nasabah mau datang kembali?" kata Sofyan.
Itulah petikan berita dari Kompas Online yang bertajuk "PBI "Outsourcing" Siap Keluar, Bankir Cemas" (28/6/11). Saya merasa ada ironi dan kontradiksi yang tersirat dalam ucapan bankir tersebut yang menjabat sebagai Direktur Utama sebuah bank pelat merah. Ironis karena mereka dianggap penting demi memuaskan nasabah bank, jika pesona dan keindahan teller menjadi dijadikan salah satu indikator kepuasan nasabah bank. Namun dari pola hubungan kerja, mereka dianggap tidak penting sehingga harus dialihdayakan pengelolaannya ke perusahaan outsourcing.
Alasannya, seperti diungkapkan di Kompas Online, "Bank mengalihdayakan lantaran di kedua jenis pekerjaan tersebut tidak ada jenjang karier". Saya hanya teringat dengan pribahasa, habis manis sepah dibuang. Dalam konteks pelayanan bank, mereka dianggap penting, namun dalam konteks hubungan kerja, seolah mereka tidak penting. Jadilah mereka dialihdayakan saja. Tidak menjadi karyawan tetap yang bisa menikmati gaji tetap dan segala fasilitas lainnya yang menggiurkan. Tingginya gaji para bankir di Indonesia seolah tidak pantas buat para teller, yang disebutkannya, "Bank tidak bisa menaikkan atau memindahkan mereka ke bagian lain yang lingkup kerjanya lebih spesifik" . Tercium aroma kontradiksi sekaligus ironi di sini.
Bank memang pintar memanfaatkan warna-warni manusia. Bank memberdayakan geliat teller muda dan menempatkannya di front office. Walau mereka mungkin berharap tidak terperdaya selamanya dalam program alih daya. Mereka tetap berkaya selagi muda, sambil berharap mendapat jaminan hari tua. Tidak berlebihan jika mereka berharap bisa diangkat menjadi karyawan tetap dan bekerja di back office. Namun, sekali lagi, di sana memerlukan keahlian khusus yang lebih tinggi dibandingkan seorang profesi teller. Jadilah seorang bankir cemas jika mereka tidak boleh dialihdayakan. Bank seolah hanya memajang keindahan dan semangat muda di front office sebatas tebar pesona saja.
Apakah Bank yang selalu memanfaatkan daya tarik dan pesona manusia dalam menjalankan bisnisnya?
Di lain waktu, bank justru bisa memanfaatkan sifat garang dari manusia. Ketakutan dan teror pun bisa terjadi melalui oknum pekerja alihdaya di bank. Mungkin kita masih ingat dengan tragedi debt colector yang menelan korban jiwa. Tidak seperti teller, penagih hutang tidak selalu duduk manis di teller compartment yang ditata indah dan rapi. Mereka lebih menjemput bola langsung ke lapangan. Debt Collector seolah melakukan pekerjaan kotor buat bank, yakni menagih bad debt yang dianggap buruk oleh bank. Rasanya mereka relatif tidak menunjukkan keindahan dan senyum manis ke debitur seperti halnya para Teller. Seolah ada perbedaan perangai yang justru dimanfaatkan dengan baik oleh bank.
Ada fenomena bahwa teller lebih didominasi oleh wanita, sedangkan debt collector oleh pria. Setidaknya itu menurut pengamatan saya. Saya tidak berani mengatakan bahwa wanita selalu indah, sedangkan laki-laki lebih buruk. Yang jelas, kesamaannya adalah Debt Collector juga dialihdayakan oleh pihak bank. Outsourcing menjadi pilihan bank dalam menjalin hubungan kerja dengan penagih hutang dan teller. Mereka bisa saja berbeda perangai, karakter, dan fisik ragawi, namun nasibnya bisa sama. Sama-sama tenaga kerja yang dialihdayakan. Dan seorang bankir yang diberitakan tersebut merasa cemas kalau BI akhirnya menerbitkan PBI yang memaksa bank untuk tidak mengalihdayakan mereka.
Apakah kecemasan bankir tersebut terbukti ? Kita tunggu saja PBI tersebut pada tahun ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H