Tadinya saya mau menulis tentang empat pilar kebangsaan yang digulirkan oleh para pelaku utama dunia pendidikan di Indonesia. Saya sendiri mendengar empat pilar tersebut ketika mengikuti disuksi di Lemhanas. Ketua Forum Rektor- yang juga Rektor Universitas Andalas menyampaikan hal tersebut pada saat sesi diskusi. Salinan press release pun diedarkan di forum. Saya menduga bahwa Empat pilar- yang meliputi Pancasila, UUD, NKRI, dan Bhinneka Tunggal itu tersebut, akan mendapat reaksi yang beragam. Hal ini terbukti dengan dua tulisan opini di Harian Kompas kemarin (9/05/2011) dengan judul “Politik (Pendidikan) Pancasila” oleh Halili dan ”Pendidikan Pancasila” oleh Budi Darma. Namun biarlah wacana tersebut bergulir dahulu. Saya malah lebih tertarik dengan kejadian kecil di milis.
Sungguh mengagetkan- walaupun saya sudah menduganya akan terjadi, ketika Sang Pujangga- salah satu aktor utama di milis, menulis bahwa beliau sedang murka dan kecewa besar. Gara-garanya ada teman seprofesi yang berusaha membungkam kebebasan berfikirnya di milis. Upaya pemberangusan tersebut tidak melalui adu argumentasi di milis, namun melalui obrolan langsung antara Sang Penentang dengan Sang Pujangga.. Saya pun tidak tahu siapa yang berperan sebagai Sang Penentang. Toh Sang Pujangga juga tidak menyebutkannya secara terbuka. Saya pun berusaha untuk tidak menghakimi atau berdiri di salah satu pihak. Bukan sekedar menunjukkan sikap netralitas demi kenyamanan di wilayah abu-abu atau tidak berani bersikap atau mempunyai pendirian yang tegas mengenai kasus tersebut.
Sikap saya ini lebih didasari bahwa pertentangan tersebut belum terbuka ke publik. Masih samar-samar. Kalau merujuk ke istilah di dunia jurnalistik sih, belum ada cover both side. Sang Penentang pun (mungkin) masih malu-malu melarangnya secara terbuka di milis. Namun ada rasa kecewa juga karena Saya tidak akan menikmati untaian kata-kata indah sarat makna dari Sang Pujangga, terlepas dari substansi pemikirannya yang kadang berbeda dengan pemikiran saya. ”Saya untuk sementara waktu berhenti menulis di milis, sembari Cooling Down dulu”, begitulah ungkap Sang Pujangga- yang justru sangat disayangkan oleh teman-teman. ”Di mana pun dan kapan pun aku akan selalu menentang pendapatmu, sekaligus di mana pun dan kapan pun aku akan selalu menentang pihak yang menghalangimu untuk menyatakan pendapatmu itu", itulah kutipan dari Sang Seniman yang selalu berusaha mendukung Sang Pujangga.
Mencermati perbincangan dan diskusi di milis para pendidik memang asyik. Selalu ada artor-aktor utama dan pendukung di milis yang anggota lebih dari 1000 orang dosen. Selalu ada peran khusus yang diemban dari setiap aktor tersebut. Ada yang selalu menjadi inisiator dengan pancingan atau stimulus topik diskusi yang justru menyebabkan diskursus atau debat pemikiran, contohnya Sang Pujangga Ada Sang Komentator setia yang selalu merujuk ke ayat-ayat Illahi yang diulas dengan pemikirannya, lalu disampaiakannya ke publik dengan kekuatan bahasa subyektifnya. Ada Sang Seniman yang selalu tetap nakal dan mengaku sebagai kritikus sejati dari pemikiran Sang Pujangga. Ada juga Aktor yang muncul sesekali dengan spesialisasinya masing-masing. Ada Sang Badut yang selalu memposting lelucon yang segar di tengah kepenatan mengajar. Ada juga Sang Provokator yang selalu mengajak mengkaji, meneliti dan menulis. Tidak ketinggalan kiprah Sang Jurutulis yang selalu mengumumkan informasi dari institusi. Sebuah miniatur Indonesia dan mencerminkan Bhinneka Tunggal Ika dalam skala kecil.
Ketika perbincangan sudah melibatkan agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan, perdebatan keras pun tak terhindarkan. Kebebasan berfikir atas nama kebebasan akademik pun mulai menghadapi jalan terjal berliku. Ketika menengok lagi arus utama pemikiran yang terbentang di milis institusi, terlihat bahwa pendidik pun cenderung mengelompok, terpencar, dan terpecah-pecah dalam cara dan pengungkapan pemikirannya di ruang maya. Terlihat sama-samar ada beda aliran dan beda pemikiran. Berbagai persepsi dan perspektif pun bermunculan dan bersinggungan, baik dengan cara halus maupun terang benderang. Intensitas perdebatannya pun bervariasi. Kadang datar-datar saja, namun suatu saat, tiba-tiba menukik dalam atau mendaki terjal. Dan badai perdebatan pun memuncak ketika sudah menyentuh persinggungan antara Agama, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan.
Seperti biasa, Saya melihat ada benang merah antara wacana empat pilar, penghapusan (dan upaya menghidupkan kembali) mata kuliah Pancasila, serta debat keras antar pendidik di milis. Semunya tentang kebebasan akademik atau kebebasan mimbar akademik. Empat pilar merupakan refleksi kegundahan dari mimbar akademik tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Penghapusan (atau penghidupan) pendidikan Pancasila bisa saja dianggap sebagai ketidakkonsistenan dari dunia pendidikan, yang bisa saja mendapat reaksi keras dari eliti politik yang berposisi sebagai ”Pembenci Orde Baru”. Sedangkan ”Murkanya Sang Pujangga” merupakan manifestasi kekecewaan karena haknya atas kebebasan akademik berusaha dibungkam. Begitulah tantangan kebebasan akademis di era demokrasi dan informasi.
Apa sih kebebasan akademik itu? Menurut PP No. 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, kebebasan akademik merupakan kebebasan yang dimiliki oleh anggota sivitas akademika untuk melaksanakan kegiatan yang terkait dengan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggungjawab dan mandiri. Ada baiknya saya mengutip kembali pendapat- yang bisa juga kita tidak sependapat, dari Fuad Hasan- mantan mendiknas, tentang kebebasan akademik berikut.
”Kebebasan akademik bukan sekedar modus 'kebebasan dari…..' berbagai keadaan terkekang, terbelenggu, terpasung, dan berbagai keterbatasan lainnya, melainkan mendapatkan artinya sebagai modus 'kebebasan untuk ...' bertindak membuat pilihan. Berbeda dengan yang pertama, modus yang kedua terkait langsung pada suatu tanggungjawab, karena segala tindakan dilakukan dalam kebebasan sepenuhnya. ................. Demikianlah kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik merupakan kebebasan yang bermitra etik karena serentak disertai oleh kesadaran bertanggungjawab oleh pelakunya.”
Mungkin kita tidak perlu mengalami tragedi kebebasan akademik yang memilukan seperti Socrates yang akhirnya harus meminum racun yang mematikan dari Sang Penguasa waktu itu. Atau, seperti Galileo Galilei yang dihukum seumur hidup gara-gara menemukan Teleskop yang dianggap mendukung teori Heleosentrisme dari Copernicus sehingga dicap ”sesat” dan ”terkutuk” dengan karyanya ketika itu.
Semoga kebebasan akademik memberikan pencerahan yang bermakna dan tidak hanya nyaman berwacana dengan berlindung di balik Menara Gading. Bisakah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H