Mohon tunggu...
Budi Hermana
Budi Hermana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keluarga/Kampus/Ekonomi ... kadang sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menyoal (Lagi) Kewajiban Publikasi Ilmiah

6 Februari 2012   17:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:59 1209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1328566806578083653

[caption id="attachment_168890" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Polemik publikasi karya ilmiah mahasiswa sebagai persyaratan kelulusan masih belum reda juga. Saya melihat kubu pro dan kontra sebenarnya sama-sama tidak mempermasalahkan tujuan kebijakan tersebut, yakni untuk meningkatkan jumlah publikasi di perguruan tinggi. Kubu pro melihat kebijakan tersebut sangat efektif untuk mendongkrak jumlah karya ilmiah. Memang pasti berdarah-darah untuk itu jika mengingat sinyalemen kendala dan budaya menulis di kalangan dosen dan mahasiswa yang masih rendah. Sedang kubu kontra melihat urgensi dari kebijakannya yang dianggap lemah, tidak tepat sasaran,  serta meragukan kesiapan sarana dan prasarana di tingkat implementasinya.

Kubu pro pun berpendapat bahwa implementasinya pasti memberatkan, namun, berbagai kendala dan keterbatasan lambat-laun bisa dibenahi. Korban kebijakan pasti ada, tapi itu tidak menghalangi kubu pro untuk mendukung kebijakan tersebut. Bisa jadi sikap kubu pro lebih mengedepankan semangat untuk meningkatkan jumlah dan mutu tulisan. Asumsi saya, kubu pro ini adalah pribadi atau institusi yang sudah mapan, serta sudah makan asam garam berbagai riset dan publikasi ilmiah yang relatif mumpuni. Wajarlah jika akhirnya mereka ingin menularkannya, kalau tidak bisa dikatakan memaksakan, agar budaya riset dan publikasi mulai tumbuh di semua kampus, seburuk apapun kondisi di lapangan.

Kubu kontra lain lagi. Yang menarik, kubu ini bukan hanya mencakup pribadi atau instansi yang merasa kurang mendapat kesempatan riset dan publikasi, atau sebutlah mengalami hambatan dan keterbatasan yang diluar kuasa atau kemampuannya. Toh, beberapa PTN ternama pun mempersoalkan kebijakan ini. Penolakan lebih mengarah pada kondisi atau realitas di lapangannya. Tidak perlu ada korban karena sebuah kebijakan yang salah sasaran, toh korban tersebut bukan tersangka. Kalau dianggap bersalah, korban justru menderita karena ketidakberhasilan pemerintah untuk membuat mereka mampu seperti halnya individu dan kampus yang sudah mapan.

Sikap kubu kontra seperti mengartikulasikan pepatah klasik, janganlah membakar rumah sendiri agar hama tikus mati, atau jangan pula karena rumah tetangga lebih bagus, anak sendiri disiksa. Keterpurukan Indonesia dalam publikasi seolah menjadi tanggung jawab semua orang. Rendahnya publikasi harus dipikul bersama, tanggung renteng, atau dianggap sebagai kesalahan kolektif. Apakah wajar mahasiswa dijadikan tumbal dan sapi perah saat kampus dan dosennya saja pun masih beragam kemampuannya, termasuk dalam produktivitas menulis?

Jujur saja, posisi saya sendiri ada di antara kubu pro dan kontra. Namun, jika ada rentang jarak di antara kedua tersebut, saya cenderung lebih dekat dengan kubu kontra. Lalu, adakah titik temu yang bisa memuaskan kedua kubu? Atau, mungkin saja ada pihak yang benar-benar netral, abstain, atau mengambil sikap biasa saja dengan alasan, kebijakan tersebut bukan sesuatu yang tidak perlu dibesar-besarkan. Ya, setiap orang pasti mempunyai persepsi atau perspektif yang berbeda-beda, termasuk sikap untuk tidak mengindahkan kebijakan tersebut karena hanya terjebak adu wacana saja. Namun, saya masih tertarik untuk membahasnya kembali, minimal sebagai introspeksi dan urun rembug tentang polemik tersebut.

Mungkin ada baiknya kita menelaah akar masalahnya. Rasanya, para penguasa sudah menguasai berbagai teknik diagnosa canggih untuk membedah permasalahan sampai bisa memetakan akar masalahnya, yang patut diduga melibatkan banyak faktor. Pemetaan tersebut bisa mencegah salah diagnosa karena bisa berakibat salah memberi resep. Bisa jadi, bukan menyembuhkan, malah menimbulkan masalah baru.

Ukuran mutu lulusan tidak sebatas publikasi saja. Mengapa pemerintah harus kebakaran jenggot di saat lulusan masih bisa berhasil mengabdi demi kehidupan dirinya sendiri, syukur-syukur bisa membantu keluarga dan masyarakat. Kiprah mereka di masyarakat tidak hanya diukur dengan keberhasilan membuat makalah ilmiah yang dipublikasikan di jurnal ilmiah. Kewajiban tersebut merupakan bentuk intervensi pemerintah yang terlalu jauh. Toh ada konsep otonomi kampus, dengan berbagai asesoris lainnya seperti kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, atau otonomi keilmuan yang justru di dorong oleh pemerintah sendiri.

Ketidakpercayaan terhadap kampus memang wajar-wajar saja, namun jangan sampai ketidakpercayaan tersebut membuat pemerintah terlihat “merasa benar sendiri“ atau “tidak mendengar jeritan di bawah“. Jika demikian, kebijakan tersebut justru membuat lulusan “terperangkap“. Di sinilah potensi kebijakan menjadi salah sasaran.

Harus diakui juga, publikasi yang rendah di pendidikan tinggi menunjukkan kinerja dosen atau kampus yang belum menggembirakan. Kampus dan dosen lebih tepat dijadikan tersangkanya. Jangan sampai ketidakberdayaan dosen dan kampus justru mengorbankan mahasiswa. Dan, wajar juga ketidakberdayaan dosen dan kampus- terlepas dari kondisi riil di lapangan- menunjukkan kebijakan pemerintah pun belum mampu meningkatkan publikasi dosen.

Publikasi biasanya dibuat berdasarkan hasil riset atau, minimal kajian mendalam tentang sebuah topik. Memang perlu waktu alokasi yang cukup untuk kegiatan riset atau studi tersebut. Beban dosen yang tidak mempunyai jabatan struktural adalah maksimal 16 SKS. Waktu kerja tersebut harus terdistribusi proporsional antara kegiatan mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat. Alasan klisenya adalah dosen sudah terporsir di kegiatan mengajar. Apalagi jika dikaitkan dengan skema penghasilan yang cenderung berdasarkan jam mengajar. Jadi, realitasnya, dosen hanya mengandalkan jam mengajar untuk memperoleh penghasilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun