Mohon tunggu...
Budi Hermana
Budi Hermana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keluarga/Kampus/Ekonomi ... kadang sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menyoal Bunga Kredit Bank

9 November 2011   08:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:53 914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suku bunga kredit bank di Indonesia ternyata tertinggi di ASEAN. Informasi tersebut disajikan pada Kompas.com hari ini (09/11/2011), dengan judul: "Bunga Kredit Bank RI Paling Tinggi di ASEAN". Berita tersebut berkonotasi negatif, atau bukan prestasi yang patut dibanggakan. Kinerja perbankan nasional pun dipertanyakan, terutama  kesiapannya untuk bersaing ketika AFTA (ASEAN Free Trade Area) diberlakukan. Mengapa perbankan nasional “tega” menawarkan kredit dengan bunga tinggi? Saya coba menelaahnya dari dua aspek saja, yakni struktur biaya dana, atau cost of fund, dan struktur pasar perbankan nasional.

Dana Murah Efisiensi Rendah?

Bunga kredit bisa dianalogikan sebagai “harga jual” produk yang dijajakan bank. Produk tersebut berasal dari "bahan baku" berupa uang yang dipasok dari masyarakat juga. Bank mematok “harga jual”, pasti sudah memperhitungkan keuntungan. Keuntungan, sederhananya, dapat dihitung sebagai “Harga Jual dikurangi biaya produksi”. Bank pun dapat menghitung seberapa banyak keuntungannya jika “biaya produksi”-nya dapat ditekan lebih rendah. Keuntungan semakin tinggi jika bank dapat menekan “biaya produksi” dengan “harga jual” tetap. Sebagai lembaga “profit oriented”, bank mungkin merasa wajar dan biasa-biasa saja jika mengeruk keuntungan. Jadi selisih “harga jual” dengan “biaya produksi” tersebut dikenal dengan “Interest Margin”. Kita lihat nilai Net Interest Margin (NIM) bank umum di Indonesia berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang dirilis BI per Agustus 2011.

[caption id="attachment_141172" align="alignnone" width="632" caption="Perkembangan NIM Bank Umum per kelompok bank (Sumber SPI Agustus 2011)"][/caption]

Ternyata, bank milik pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang mempunyai NIM tertinggi, yaitu 6,49% untuk Bank Persero dan 8,12% BPD Regional. Seolah ironis, justru bank pelat merah juga berkontribusi besar terhadap tingginya bunga kredit di Indonesia.

Bagaimana menghitung ‘biaya produksi’ di bank?

Fungsi utama bank adalah sebagai perantara keuangan, yang “membeli” dana dari masyarakat yang kelebihan uang- dikenal sebagai surplus unit atau kreditur, lalu “menjual” kembali dana tersebut ke pihak kekurangan- dikenal defisit unit atau debitur. Sebagai “pedagang”, bank maunya “membeli” dana dari masyarakat secara “murah”, lalu “menjual”-nya dengan harga tinggi.

Saat ini bank “membeli” dana dari masyarakat relatif murah. Coba kita tengok bunga simpanan masyarakat, baik itu giro, tabungan, atau deposito. Menurut catatan Statistik Perbankan Indonesia yang dipublikasikan BI per Agustus 2011, bunga rata-rata Giro, Tabungan, Deposito 12 bulan, dan tabungan berturut-turut hanya 2,22%, 2,46%, dan 6,94%. Tingkat bunga sebesar itu menunjukkan bahwa jika kita menyimpan dalam bentuk giro dan tabungan maka nilai uangnya malah tergerus inflasi, yang mengacu ke BI, sampai Oktober sudah mencapai 4.42% (year on year). Jadi, menyimpan uang di bank malah menciut nilai riilnya.

[caption id="attachment_141173" align="alignnone" width="637" caption="Perkembangan suku bunga simpanan (Sumber: SPI BI Agustus 2011)"][/caption] Jika bunga simpanan murah, mengapa bunga kredit masih tinggi?

Pertama, motif bank adalah “nyari untung”, syukur-syukur dengan resiko rendah dan tanpa “sport jantung”. Biaya “bahan baku” yang rendah (baca: bunga simpanan masyarakat rendah) bukan menjamin keuntungan bank bisa tinggi. Masih ada biaya lain dalam “faktor produksi” bank. Biaya tersebut mencakup overhead cost, berupa gaji pegawai, listrik, biaya iklan, dll. Jika biaya-biaya tersebut tinggi, maka biaya produksi per unit uang-nya semakin tinggi juga. Namun, kelihatannya, selisih harga jual dengan biaya produksi yang semakin besar - yang ditunjukkan dengan NIM yang lebar- cenderung diperolah dengan cara menekan ""harga beli" atau bunga simpanan masyarakat, bukan dengan melakukan efisiensi.

Dilihat dari struktur biaya dana bank (cost of fund), bunga kredit akan semakin tinggi jika overhead cost bank semakin tinggi. Gaji bankir yang tinggi atau ketidakefisienan penggunaan biaya bisa menyebabkan biaya dana semakin tinggi. Ujung-ujungnya, cara gampang untuk menutup semua biaya tersebut adalah dengan “menjual” kredit dengan harga tinggi. Jadi, bunga kredit tinggi bisa disebabkan karena ketidakefisienan bank. Bank seolah menekan bunga simpanan bank serendah-rendahnya, namun membiarkan pengeluaran biaya tinggi di internalnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun