[caption id="attachment_195129" align="aligncenter" width="500" caption="admin/ilustrasi (shutterstock)"][/caption]
Lagi asyik melototin website BI sambil menunggu siaran langsung Piala Eropa di televisi, tiba-tiba mata tertarik dengan siaran pers BI berjudul: “Bank Indonesia Siap Antisipasi Kemungkinan Memburuknya Krisis Eropa”. Niat awalnya mau mengulas kebijakan moneter terbaru, malah tertarik untuk menyambungkan isi siaran pers ke Piala Eropa. Gara-garanya, atau mungkin karena teracuni Piala Eropa, Saya membaca penggalan kalimat berikut:
“Eksposur utang ke negara-negara PIIGS (Portugal, Irlandia, Italia, Yunani dan Spanyol) sangat kecil. Demikian pula eksposur perbankan Indonesia terhadap Eropa juga relatif kecil.”
Istilah negara-negara PIIGS inilah yang membuat saya malah ngelantur ke Piala Eropa 2012. Entah kebetulan atau tidak, negara-negara PIIGS kini sedang gundah gulana diterpa krisis ekonomi. Menjadi peserta Piala Eropa yang kini sudah memasuki putaran ketiga penyisihan grup bukan menjadi jaminan terbebas dari krisis ekonomi. Yang jelas, keterpurukan ekonomi peserta Piala Eropa tidak membuat pemain dan penonton surut melihat gegap gempitanya. Penunjukan Polandia sebagai tuan rumah yang dilatarbelakangi pertimbangan ekonomi pun mungkin banyak yang tidak peduli.
Hmm, menarik juga jika mengulas geliat negara PIIGS di lapangan sepakbola jika dihubungkan dengan kondisi negaranya masing-masing. Yuk, kita iseng mengulasnya satu per satu.
Portugal. Kegagalan Christiano Ronaldo menyeploskan bola saat tinggal face-to-face dengan Kiper Denmark mungkin tidak separah kebijakan ekonomi negaranya yang membuat nilai GDP-nya mengkerut 3,25% pada tahun 2012. Gara-gara – di antaranya – karena penangguran dan kebangkutan usaha. Namun saat ini media lebih senang mengutip komentar Ronaldo – daripada krisis ekonomi negaranya - yang menyamakan kegagalannya dengan Lionel Messi di Liga Champions, yang kemudian mendapat reaksi keras dari media masa di Argentina. Reaksi positif justru muncul dalam program pemulihan perekonomiannya, walau tahun depan masih belum normal. Bank Sentral Eropa relatif optimis setelah Portugal disuntik dana Milyaran Euro dari Uni Eropa dan IMF. Apakah optimisme dalam pemulihan ekonomi tersebut berimbas ke tim nasional sepakbolanya?
Rasanya itu masih sulit diprediksi, seperti halnya sulit menebak hasilnya saat Portugal harus baku hantam dulu dengan Belanda untuk lolos dari Grup B yang terbilang maut di Piala Eropa ini. Kepiawaian Ronaldo saja tidak cukup, apalagi jika “kebodohan“-nya kembali muncul seperti melawan Denmark. Kebodohan Ronaldo mungkin masih bisa dimaafkan karena timnya berhasil mengandaskan Denmark 3-2. Namun kesalahan kebijakan ekonomi berdampak lebih serius dibanding kekalahan tim sepakbola. Harga Ronaldo saat dibeli dari Manchester United pun tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dana yang dipinjam Portugal dari Uni Eropa sebesar 52 Milyar Euro, itu belum termasuk Extended Fund Facility sebesar 26 Milyar Euro dari IMF.
Irlandia. Inilah negara pertama yang dipastikan gagal lolos dari penyisihan Grup C Piala Eropa. Negara yang pelatihnya asal Italia ini gagal bersaing dengan Spanyol, Kroasia, dan Italia. Kalah bersaing di sepakbola seiring dengan kekalahan di bidang ekonomi yang membuat negaranya harus meminta bantuan pinjaman dari Uni Eropa dan negara anggotanya sebesar 45 Milyar Euro, ditambah 22,5 Milyar Euro Extended Fund Facility dari IMF. Namun bukan gara-gara Irlandia satu grup dengan Italia dan Spanyol yang membuat ketiganya kena krisis Eropa, toh level Irlandia masih tergolong semenjana dibandingkan Spanyol dan Italia yang tergolong raksasa dalam hal sepakbola.
Grup C Piala Eropa ini memang menjadi penyumbang terbanyak negara yang terkena krisis, yaitu Irlandia, Spanyol, dan Italia. Pemberian bantuan dari Uni Eropa kepada Irlandia tidaklah seperti dugaan publik tentang kemungkinan pelatih Giovanni Trapattoni mengalah dari negara asalnya saat Irlandia melawan Italia pada putaran terakhir penyisihan di C. Jika ada “jual beli“ pada pertandingan tersebut, maka dipastikan Roy Keane akan tambah mencak-mencak lagi, setelah kemarin pemain legendaris asal Irlandia itu melontarkan kritik pedas ke timnas negaranya yang lini pertahanannya dianggap terlalu pongah. Kepongahan rasanya tidak akan muncul di pemerintahannya gara-gara krisis ekonomi. Keroposnya pertahanan timnas Irlandia bak keroposnya perekonomian negaranya.
Italia. Negara ini memang belum seperti Yunani, Portugal, atau Spanyol dalam soal krisis ekonomi, setidaknya bukan kelompok pertama yang terkena krisis ekonomi. Kemampuan Italia dalam menahan Spanyol- setidaknya sampai saat ini - tidak identik dengan kesamaan nasib sial di bidang ekonomi. Sistem grendel catennacio pun seperti jurus ekonomi yang diambil pemerintahan Silvio Berlusconi pada tahun 2011 – yang akhirnya mundur dan diganti Mario Monti – yang mencoba bertahan mati-matian dalam menangkal imbas krisis eropa. Semangat grendel yang populer saat Enzo Bearzot membawa Italia menjadi juara dunia 1982 ternyata menitis ke pemerintahannya dalam menghadapi krisis ekonomi. Pantang menyerah dan selalu terkenal dengan bek-bek tangguhnya.
Namun pertimbangan untuk menggantikan Mario Balotelli dengan Antonio Di Natale sebagai starting eleven tidaklah seberat bagaimana mengambil kebijakan untuk mengatasi krisis ekonomi. Italia pun diperkirakan bertekuk lutut juga di bidang ekonomi lalu bergabung bersama Spanyol dan Yunani untuk meminta bantuan uni eropa atau IMF. Sampai saat ini memang masih simpang siur tentang program penyelamatan ekonomi Italia. Pemerintah Italia kelihatan masih bersikukuh mampu mengatasi sendiri, tanpa minta bantuan ke Uni Eropa atau IMF. Sebuah keyakinan yang mirip kehebatan timnasnya yang kadang tidak difavortikan, eh malah berhasil jadi juara, seperti saat Piala Dunia 1982 dan 2006. Kita lihat saja nanti apakah Italia bisa keluar dari krisis ekonomi, seperti halnya timnasnya bisa mengatasi Irlandia yang diarsiteki oleh warga negara Italia.