“SBY, Pak, Beliau kan dipilih oleh rakyatnya!”
“Gubernur, Walikota, Bupati, mereka terpilih melalui pilkada!”
“Direktur Perusahaan, Dia kan big boss!”
“Pak RT, Pak, dia menjadi wakil warganya!”
“Guru Pak, Beliau kan pemimpin di kelas!”
“Bapak Saya, sebagai pemimpin rumah tangga!”
“Saya Pak, saya kan pemimpin dari diri saya sendiri”
Menyikapi Keberagaman Konsep
Begitulah setiap orang mungkin mempunyai konsep yang berbeda tentang contoh pemimpin. Jawaban tersebut pada dasarnya merupakan sebuah konsep yang merupakan produk dari pemikiran setiap orang. Konsep dari setiap individu tersebut merepresentasikan akumulasi pengetahuan atau pengalamannya masing-masing. Apapun yang ditangkap pancaindera akan direspon oleh otak. Otak akan memilah dan memilih obyek dari sejumlah obyek yang ditangkap oleh pancainderanya, selanjutnya diproses di dalam otak, termasuk yang akhirnya tersimpan dalam memori atau ingatannya. Memori tersebut bisa membentuk pengetahuan. Jadi ketika ditanya, “Sebutkan contoh pemimpin?”, maka berbagai pemahaman atau konsep tentangpemimpin pun berbeda-beda.
Bagaimana sebuah konsep akhirnya muncul dalam pemikiran setiap orang dan mengapa menjadi sebuah pengetahuan, bahkan keyakinan, biarlah John Locke, John Stuart Mill, Immanuel Kant, bahkan Nietzsche dan para pemikir atau filsuf lainnya yang membahasnya. Selain itu, ada juga istilah konstruk (construct) yang mirip- ada juga yang membedakannya- dengan konsep. Kita hindari dulu tentang itu. Namun bukan berarti kita tidak boleh menjamah olah pikir seperti mereka, atau setidaknya memahami bagaimana mereka mempunyai kebebasan dalam berfikir. Dan kebebasan berfikir menjadi pondasi di dunia pendidikan, yakni kebebasan akademik dan otonomi keilmuan. Namun untuk para peneliti yang menggunakan metode ilmiah, kita pahami dulu berbagai konsep yang sudah tertuliskan. Singkat kata, dalam penelitian ilmiah- khususnya dalam rangka menyusun skripsi di bidang manajemen atau ilmu sosial, kita hanya mengutip konsep atau definisi dari sebuah variabel yang sudah ajeg atau lengkap, dan itu sudah dipublikasikan di kalangan ilmiah.
Konsep pemimpin pun akan semakin kompleks jika diperdalam, misalnya menyangkut gaya, efektifitas, dan kinerja seorang pemimpin. Gaya kepemimpinan pun bisa menjadi sebuah variabel tersendiri- misalnya apakah pemimpin itu otoriter, demokratis, atau gaya situasional yang mungkin saja pada kondisi tertentu bersikap otoriter, dan di kondisi lain bersikap demokratis. Suka-suka sesuai situasinya. Pemimpin tidak selalu otoriter mutlak, atau demokratis mutlak. Semua ada ruang-ruang, yang sebenarnya bebas dipilih oleh sang pemimpin. Termasuk pemimpin yang bisa saja tegas dank keras, lembut dan tidak banyak bicara, atau malah, ragu-ragu atau tidak berani mengambil keputusan dalam situasi sulit. Kita juga bisa mengevaluasi keberhasilan seorang pemimpin dari kacamata rakyat, bawahan, atau orang lain yang bersinggungan atau berhubungan dengan pemimpin tersebut.
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa mengukur sebuah variabel yang menyangkut orang tidaklah mudah. Setiap orang- baik orang awam maupun ahli - mempunyai kriteria dan cara peniliannya masing-masing. Namun, kita bisa saja menghitung seberapa banyak yang berpendapat bahwa seorang pemimpin dicap gagal dalam menjalankan tugas atau amanahnya. Ada kaidah statistik yang bisa digunakan untuk memperkirakan persentasenya.Sederhananya, sebarkan saja angket dengan satu pertanyaan saja, “Apakah Anda setuju bahwa pemimpin itu telah gagal?”. Survey kecil-kecilan. Namun, kalangan ilmiah atau akademisi akan membuat pertanyaannya yang lebih banyak, tidak sebatas hanya satu kalimat itu saja. Konsep berhasil atau gagal pun mungkin bisa diperdebatkan, misalnya menyepakati tentang aspek, kriteria, dan cara pengukurannya. Semua syah-syah saja. Pagar-pagarnya adalah kaidah atau metode ilmiah yang hanya disepakati di dunia mereka, dunia ilmiah dan akademisi.
Berbagai konsep yang berbeda-beda tersebut bisa dijadikan pondasi awal ketika kita melakukan penelitian dengan topik kepemimpinan. Jika semua konsep tersebut dipetakan secara grafis, itulah yang disebut dengan peta konsep atau “mind-map”. Bagaimana mengenai proses pembuatan peta konsep dan manfaat peta konsep tersebut dalam proses penelitian, sudah dibahas sebelumnya di sini. Dari peta-konsep tersebut- yang merupakan produk dari penelusuran pengetahuan atau penelitian sebelumnya, kita tinggal memilih konsep atau sudut pandang mana yang selanjutnya akan diperdalam dalam penelitian kita, termasuk untuk menemukan sebuah variabel yang akan diukur dengan menggunakan instrument penelitian.
Kriteria berhasil atau gagal pun bisa diperinci lagi. Gagal (berhasil) dilihat dari aspek ekonomi, hukum, sosial, lingkungan, politik, keamanan, dan berbagai aspek kehidupan manusia. Masing-masing pihak, katakalnah pemerintah atau pemimpin itu sendiri, pakar, pemerhati, bahkan individu masyarakat pun bisa mempunyai konsep tersendiri. Bisa saja pemimpin merasa berhasil dengan upaya pengetasan kemiskinan dengan mengungkap sejumlah angka, namun pakar atau tokoh masyarakat mempersoalkan darimana angka tersebut, atau masyarakat yang tergolong miskin malah cuma bisa mengelus dada dan bersabar saja ketika hidup dan kehidupannya belum membaik. Begitulah rumitnya jika hidup dan kehidupan manusia atau sosial-kemasyarakatan coba ditelaah oleh para peneliti. Ada kesulitan dan tantangan tersendiri.
Resiko Miskonsepsi
Perbedaan konsep- atau bisa juga disebut kesalahan konsepsi- bisa saja terjadi dalam ranah ilmiah. Kesalahan konsep- atau miskonsepsi, yang terjadi karena keterbasan pengetahuan dan pengalaman dari si penelitinya mungkin bisa dikurangi dengan banyak membaca dan belajar, termasuk “belajar” dan “membaca” fenomena yang ada di masyarakat. Namun jika miskonsepsi terjadi karena belum ada serangkaian penelitian sebelumnya yang bisa menguak sebuah fenomena maka riset kita bisa meneruskan miskonsepsi sebelumnya, atau bisa meluruskan miskonsepsi tersebut. Biasanya hal ini menyangkut sebuah “rahasia” dari alam atau kehidupan yang belum terungkap. Obyek riset yang masih “misterius”. Jika peneliti tersebut bisa mengungkap “rahasia” tersebut maka ganjarannya adalah originalitas keilmuan yang tinggi. Ilustrasi miskonsepsi dapat digambarkan dengan cerita klasik tentang seekor gajah dengan- maaf - beberapa orang buta- atau yang tertutup matanya, yang akhirnya mempunyai konsep yang berbeda tergantung pada bagian tubuh gajah yang mana yang disentuhnya.
***
Riset sosial selalu ”hingar-bingar” karena begitu banyaknya perbedaan konsep, definisi, dan alat ukur atau proksi yang digunakan dalam menangkap fenomena individu dan sosial yang bersifat multi-dimensi. Bahkan, bisa saja dua buah riset yang mengamati obyek yang sama ternyata menunjukkan hasil yang berbeda.Kita jangan terjebak pada uji relibilitas atau validitas, yang memang hanya sebatas prosedur statistik belaka. Reliabilitas dan validitas secara statistik berbeda dengan tingkat kepercayaan (atau ketidakpercayaan) dari masyarakat umum terhadap hasil riset. Kepercayaan tersebut juga berbeda dengan konsep “selang kepercayaan” yang secara statistik bisa dihitung dan biasa disajikan pada hasil analisis data. Perlu diingat bahwa kuisener hanyalah alat atau proksi yang digunakan untuk mengkuantfikasikan sesuatu yang sebenarnya subyektif dan kompleks jika menyangkut orang atau hubungan antar orang.
Satu prinsip yang harus dipegang adalah, peneliti ilmiah harus terbuka dan jujur dengan metodologinya, termasuk pengungkapan keterbatasan atau kelemahan dari metodologi tersebut. Integritas dan tanggung jawab sosial tetap harus tercermin dalam proses penelitian di perguruan tinggi. Hal ini juga berkaitan dengan prinsip kebenaran ilmiah yang hanya berlaku berdasarkan metode atau kaidah-kaidah ilmiah yang disepakati di dunia akademis atau perguruan tinggi. Jadi ketika hasil ilmiah di bawa ke ranah publik maka ada resiko penolakan hasil atau perdebatan panjang tentang itu. Hal ini bisa disebabkan perbedaan konsep atau definisi yang digunakan. Namun terlepas adanya resiko perdebatan atau penolakan, seorang peneliti memang harus mempertimbangkan kebermanfaatan hasil risetnya untuk kepentingan masyarakat. Jadi jika masyarakat menolak atau tidak merasakan manfaat dari hasil riset tersebut, berarti peneliti terbenturpadamasalah reliabilitas dan validitas dalam konteks yang lebih luas. Bisa juga diartikan bahwa penelitiannya tidak menyentuh persoalan nyata dari masyarakat. Kalao toh sudah berupaya ke arah sana, proses risetnya tidak bisa menangkap fenomena dengan baik. Dan itu bisa saja dimulai dari kesalahan dalam membuat instrumen penelitian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H