Iseng lagi ah berbalas pantun. Kali ini dengan Pak Dosen yang telah membuat tulisan berjudul: “Kekerasan Verbal Pun Terjadi di Zona Pendidikan”. Mudah-mudahan Beliaunya berkenan . Jika tidak, ya biarin aja. Toh, Pak Dosennya jauh ini di Makassar hehehe
Pak Dosen, Saya tidak tahu persis definisi bully itu apa. Jika ucapan orang lain membuat tidak senang atau membuat diri ini tidak bahagia, mungkin termasuk Bully juga ya. Masalahnya, persepsi orang, atau cara menyikapi perbuatan atau ucapan tak menyenangkan bisa berlainan. Ada yang biasa saja saat dihardik dan disindir, namun bisa juga karena terlalu sensi, ucapan biasa-biasa saja pun bisa membuatnya menderita. Mungkin kita harus lebih bijak membuat perbedaan perlakuan sesuai karakter mahasiswa, demikian pula sebaliknya, mahasiswa bisa mengenal karakter dosen yang berbeda pula.
Saya sendiri tidak tahu seberapa banyak sudah mem-bully mahasiswa. Rasanya pasti ada yang mengganjal di hati seandainya telah membuat mahasiswa kecewa. Tak jarang rasa sesal itu membuat kita introspeksi diri, lalu berujung kerelaan untuk memohon maaf kepada mahasiswa. Toh, dosen juga manusia, yang kadang bahagia, bisa belajar darinya, pun bisa juga didera derita gara-gara mahasiswa.
Sayangnya, ukuran kadar derita itu pun bisa berbeda. Keras belum tentu kasar, gemulai pun bisa berakibat lalai. Konsekuensinya, mungkin kita sebaiknya berusaha proporsional, meski setiap orang punya standar atau kadar berbeda dalam mengekspresikan itu. Keragaman ekspresi dan takaran dalam menyikapinya membuat dunia kampus menjadi kawah candradimuka bagi mahasiswa sebelum terjun ke masyarakat yang mungkin lebih kejam terhadapnya.
Kawah candradimuka bukan berarti dosen berhak menyiksa mahasiswa. Namun jangan pula membiarkan mereka tersesat tanpa bisa berbuat apa-apa. Bisa jadi, menunjuk arah yang benar kepada mahasiswa pun terpaksa dengan cara “menunjuk-nunjuk” karena teladan atau pesan secara implisit ternyata tidaklah cukup. Sebaliknya, kawah itupun berlaku buat dosennya juga. Dosen pun bisa gagal lolos dari ujian ketika salah langkah dalam memperlakukan mahasiswa.
Saya pun mungkin sudah berbuat tidak adil ketika berusaha membuat mahasiswa cerdas bisa mengeksploitasi potensinya agar bisa meraih hasil maksimal. Eksploitasi yang bisa menjadi “penderitaan” baginya, namun tidak ada niat sekalipun untuk menyakiti hatinya. Namun bisa dimengerti juga, niat baik seseorang belum tentu diterima dengan baik, meskipun hati ini mengangapnya seperti anak atau adik sendiri. Saya harus berusaha membaca situasi dan kondisi secara pas, termasuk psikologis mahasiswanya.
Namun di lain waktu, saya berusaha berkompromi untuk tidak memaksakan mahasiswa – yang karena keterbatasannya – untuk “sekedar lulus” dengan karya cipta yang biasa-biasa saja, asal tetap memenuhi standar minimal. Toh kemampuan lulusan tidak hanya dilihat dari topik skripsi yang mentereng atau tercermin dari IPK-nya saja.
Udah ah, ini tulisan isengnya. Pokoknya, dosen bisa saja terpaksa berbuat “bully” terhadap mahasiswa, asal itu karena cinta, meski bisa berakibat menderita bagi keduanya. Semoga itu sementara saja.
Selamat berakhir pekan di awal bulan buat teman-teman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H