Seberapa sering orang Indonesia menggesek kartu setiap menitnya? Seberapa besar uang yang berputar dari bisnis "gesek-menggesek"?  Mengapa bank menyewa Debt Collector? Berapa lagi nilai hutang yang mungkin dilirik Debt Collector? Saya mencoba menelisiknya. Semoga bukan sekedar latah menyikapi musibah nasabah.
-------------------------
Ribuan Triliun dari Milyaran Gesekan Bisnis Kartu merupakan bisnis yang sangat menggiurkan buat bank. Daya tarik tersebut bisa dilihat dari jumlah kartu, volume transaksi dan nilai uang triliunan rupiah. Tak heran bank-bank papan atas berlomba-lomba untuk terjun bisnis "gesek-menggesek" tersebut. Sampai bulan Desember 2010, jumlah kartu yang beredar di Indonesia tercatat sebanyak 65213838 kartu. Jumlah kartu tersebut lebih dari 25% dari penduduk Indonesia. Dibandingkan tahun sebelumnya, jumlah tersebut meningkat 20% . Terlihat bahwa laju pertumbuhan kartu plastik lebih besar dibandingkan pertambahan penduduk. Suatu saat nanti, jumlah kartu akan melebihi jumlah penduduk Indonesia. Rasanya prediksi tersebut tidaklah berlebihan karena saat ini saja, sudah ada orang yang mempunyai lebih dari satu kartu plastik- yang merupakan salah satu indikator dalam menentukan sebuah negara tergolong Less-Cash Society. Kartu tersebut terdiri dari dua kelompok yaitu Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan Uang Elektronik (electronic money). APMK terdiri dari Kartu ATM, Kartu Debet, dan Kartu Kredit. Kartu ATM dan kartu Debet disebut juga kartu yang berbasis rekening. Artinya kita bisa memiliki kartu tersebut jika mempunyai rekening tabungan di bank. Jumlah transaksi dengan menggunakan kartu adalah lebih dari 2 Milyar transaksi pada tahun 2010, atau meningkat sebesar 15,6%. Angka yang luar biasa. Sebagai ilustrasi, berarti terjadi 1,8 Milyar 'gesekan " dalam satu tahun, atau 3877 transaksi per menit. Khusus untuk kartu kredit, jumlah gesekan-nya adalah 260 kali per menit. Fenomena "gesek sana-gesek sini" sudah membudaya dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat (penyuka kartu) di Indonesia. Transaksi tersebut melibatkan uang sebanyak Rp 2166 Triliun, meningkat sebesar 11,1 persen dibanding tahun 2009. Khusus untuk transaksi kartu kredit, angkanya sudah mencapai Rp 163 Triliun, meningkat 19,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Begitulah gambaran betapa bisnis kartu begitu menggiurkan, yang menjadi lahan pertarungan bank-bank penerbit kartu kredit di Indonesia. Berapa lagi yang (mungkin) Dilirik Debt Collector? Mengapa Debt Collector terlibat dalam bisnis kartu ini? Jawabannya berkaitan dengan kolektibilitas kartu kredit serta upaya penyelematan kartu kredit yang berstatus macet oleh bank-bank penerbitnya. Seperti sudah dipaparkan pada tulisan mengenai "Bad Debt (Collector) di Dunia Perbankan Nasional", kolektibilitas kredit merupakan indikator perbankan yang harus dilaporkan secara rutin oleh setiap bank ke Bank Indonesia. Salah satu kategori dalam kolektibilitas tersebut adalah Non-Performaning Loan (NPL)- yaitu kredit yang statusnya "Kurang Lancar", "Diragukan", dan "Macet". Penetapan kolektibilitas- atau sering disebut kualitas, untuk kartu kredit mengacu ke kolektibilitas kredit secara umum. Peraturan dari BI tersebut secara eksplisit tercantum pada PBI Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Pengelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu. Hal ini bisa dimengerti karena pemegang kartu kredit pada dasarnya adalah seorang debitur yang meminjam ke bank.
"Pak, mengapa bank menyewa debt collector?", tanya si Kakak yang lagi pusing tujuh keliling dengan persiapan ujian nasional. Terlihat matanya melirik ke monitor di depan bapaknya.
"Karena yang punya kartu kredit tidak membayar hutangnya !", jawab Saya selintas sambil tetap menyunting draft tulisan di Kompasiana.
"Kasihan ya Pak, masa ada orang meninggal gara-gara hutang, kan kata Pak Guru, hutang itu gak boleh dibawa mati ya Pak?".
Saya hanya bisa tersenyum kecut dan langsung menghentikan kegiatan menulis di Kompasiana. Mudah-mudahan postingan ini mencukupi sebagai bahan diskusi pada perkuliahan nanti malam. Dan semoga kelak si kakak bisa mencermati tulisan seperti ini, berhasil menemukan jawaban atas pertanyaanya sendiri, dengan kekuatan hati dan fikirannya sendiri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H