Kompas.com (26/05/11) memberitakan klaim BI bahwa kondisi bank umum terjaga baik. Enam indikator digunakan sebagai argumentasinya yaitu (1) Pertumbuhan kredit sebesar Rp 350,8 Triliun atau 23,8 persen, (2) Dana pihak ketiga (DPK) naik Rp 364,9 Triliun atau 18,5 persen, (3) rasio loan deposit ratio (LDR) perbankan naik dari 75,15 persen per Desember 2010 menjadi 77,98 persen per April 2011, (4) Rasio kredit bermasalah (NPL) secara bruto dan neto per Maret 2011 masing-masing tercatat sebesar 2,8 persen dan 0,5 persen, (5) Tingkat efisiensi perbankan pun cukup baik, yang ditunjukkan dengan rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional, atau BOPO, menjadi 77,8 persen pada Maret 2011, (6) Pada Maret 2011, ROA industri perbankan tercatat sebesar 3,1 persen atau meningkat dibandingkan posisi Desember sebesar 2,7 persen, (7) CAR industri perbankan tercatat sebesar 17,6 persen atau jauh di atas batas minimum sebesar 8 persen.
Dengan melihat angka-angka tersebut, BI merasa bahwa bank umum sudah membaik. Fungsi intermediasi mulai berjalan. Masyarakat masih percaya terhadap bank untuk menyimpan dananya, lagian menurut BI, saving rate masyarakat Indonesia masih rendah yaitu hanya 44,2 persen.. Kualitas kredit membaik dan tidak dihantui lagi dengan kredit bermasalah. Bank pun tetap untung dengan efisiensi yang semakin baik. Semua itu didukung dengan permodalan yang kuat. Sebuah kondisi ideal yang- minimal dari kaca mata BI- menggembirakan. Semua terlihat baik-baik saja. Namun benarkah?
Dalam konteks Arsitektur Perbankan Indonesia (API), klaim BI tersebut merupakan pembuktian bahwa API masih “on the track”, sejumlah indikator kinerja pun telah tercapai. Semua bank umum sudah mempunyai modal minimal 100 Milyar sesuai dengan harapan. Saya belum mendengar berita tentang bank umum yang turun kasta menjadi BPR. Bank berkelas internasional pun telah lahir di Indonesia- yaitu dengan modal di atas Rp 50 Triliun. Tinggal menunggu 1 atau 2 bank International lagi. Aspek pengaturan dan pengawasan bank telah menunjukkan taringnya, misalnya pemberian sangsi tegas atau cara baru menilai kesehatan bank.Kalo toh masih ada keraguan terhadap kokohnya 6 pilar API, BI perlu lebih memprioritaskan program perlidungan nasabah sebagai pilar yang dianggap masih kurang kokoh.
Memang benar bahwa pertumbuhan kredit merupakan salah satu indikator bahwa fungsi intermediasi bank mulai berjalan. Namun jika dicermati, jumlah kredit baru masih lebih rendah dibandingkan jumlah DPK yang baru dalam satu tahun terakhir. Rp 364,9 Triliun masuk (source of fund), Rp 350,8 Triliun keluar (use of fund), atau ada selisih positif sebesar Rp 14,1 Triliun. Jika hanya melihat perkembangan dalam satu tahun terakhir, likuiditas bank terkesan meningkat dengan adanya penambahan dana tersebut. Namun karena laju pertumbuhan kredit lebih besar dibandingkan laju pertumbuhan DPK maka rasio LDR menjadi meningkat, atau terjadi penurunan likuditas bank. Dengan rasio sebesar itu, peringkat LDR dalam penilaiain faktor likuiditaspada sistem CAMELS tetap tidak beranjak yaitu dengan peringkat 2. Jadi likuiditas tetap terjaga baik, namun bank mulai getol menyalurkan kredit.
Fungsi intermediasi tersebut bisa saja bukan inisiatif murni dari pihak bank umum. Dalam hal ini, BI bisa dikatakan berhasil dalam membuat kebijakan perhitungan Giro Wajib Minimum (GWM) yang baru, yaitu Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 12/19/PBI/2010. Dalam skema perhitungan GWM yang baru, BI memberikan disinsentif kepada bank yang LDR tidak sesuai dengan kisaran yang ditentukan oleh BI. Jika LDR bank tinggi maka GWM nya bisa lebih kecil dibandingkan bank lain yang LDR-nya lebih rendah. Bank terkesan menghindari GWM yang terlalu besar karena tidak memperoleh keuntungan dalam bentuk jasa giro dari simpanan gironya di BI. Jadi tetap ada motif pengelolaan dana bank yang optimal dari sisi bank umum. Daripada tidak memperoleh jasa giro dari BI, lebih baik dana tersebut disalurkan ke kredit yang lebih menguntungkan. Apalagi kualitas kreditnya dianggap baik oleh BI, yang diukur dengan angka NPL yang relatif rendah. BI berharap bahwa penyaluran dana bank harus produktif tetapi tetap berkualitas. Jadi boleh dikatakan di sini bahwa BI cerdik dan bank umum pun telah bertindak rasional.
Namun, Bank umum seharusnya bisa lebih baik dari itu. BI pun jangan berpuas diri bahwa bank umum terjaga dengan baik. Ukuran baik hanya diukur dari sisi kepentingan BI dan bank umum semata. Padahal keberhasilan fungsi intermediasi tidak hanya sekedar meningkatkan jumlah kredit yang disalurkan kepada masyarakat. Perlu dicermati apakah kredit tersebut bisa mendukung kebangkitan sektor riil yang memerlukan bantuan pembiayaan murah dari bank. Kapasitas perbankan nasional masih bisa ditingkatkan lagi, apalagi di tengah perkembangan ekonomi local, nasional, regional, dan global yang semakin berat, perbankan nasional jangan hanya berpuas diri dengan ukuran kinerja interrnal. Untuk mengkritisi kondisi perbankan nasional, kita cermati pernyataan lawas dari Federal Deposit Institution Council, Amerika Serikat, menyangkut penilaian kesehatan bank- dalam hal ini masih menggunakan CAMEL rating system.
“CAMEL ratings are based only on internal operations, they measure only the current financial condition of a bank and do not take into account regional or local economic developments that may pose future problems but that are not yet reflected in the bank’s condition”
Sebuah kritik yang harus menjadi perhatian BI dan perbankan nasional. Perbankan nasional harus bekerja lebih keras lagi agar tidak dicap negatif, seolah-olah hanya mementingkan dirinya sendiri sebagai institusi keuangan yang mengejar laba semata atau hanya menjaga agar posisi keuangannya aman-aman saja. Apalagi ada tuduhan bahwa perbankan nasional telah dikuasai oleh pemodal asing. Keuntungan bank pun lari ke luar negeri. Kinerja jangan hanya diukur dengan angka-angka yang menunjukkan kinerja internal sebagai lembaga profit-oriented saja. Padahal, keberhasilan mereka itu pada hakekatnya didukung oleh masyarakat yang rela menyimpan uangnya di perbankan nasional. BI seharusnya mengukur kinerja bank dari perspektif eksternal atau dilihat dari sudut pandang masyarakat, atau minimal nasabah bank, baik yang berposisi sebagai debitur, kreditur, atau yang memanfaatkan jasa perbankan.
Jadi klaim bahwa bank umum terjaga baik tidaklah cukup jika masih ada sebagian dari masyarakat atau sektor usaha di Indonesia yang masih “megap-megap”. Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 pun menyatakan: “Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak”.
--------
Tulisan Terkait:
Cara Baru Menilai Kesehatan Bank
Menjewer Bank Saja Tidak Cukup
Katakan Tidak pada Bunga jika Uang Anda Makin Layu
Bank International Made In Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H