Mohon tunggu...
Budi Hermana
Budi Hermana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keluarga/Kampus/Ekonomi ... kadang sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Basel III Bisa Menjadi "3 Bisul" di Perbankan Nasional

30 Juni 2011   08:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:03 1657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Budi Hermana Krisis finansial global menjadi lesson learnt pada industri perbankan di seluruh dunia. Bank for International Settlement (BIS) – yang merupakan paguyuban bank sentral dan otoritas keuangan sedunia yang berbasis di Swiss- ikut menanggapinya dengan melakukan revisi Basel II menjadi Basel III. Setelah setahun digodok, akhirnya Basel III mulai dipublikasikan dengan gencar tahun ini. Jika kita merujuk publikasi BIS di sini, tujuan Basel III adalah (1) meningkatkan kemampuan bank dalam meredam kejutan yang bersumber dari tekanan  keuangan dan ekonomi darimana pun sumbernya; (2) Meningkatkan manajemen resiko dan tata kelola perbankan; dan (3) Memperkuat transparansi dan pengungkapan bank.  Versi awalnya sudah dipublikasikan pada Desember 2010, sedangkan revisi terakhirnya diluncurkan pada bulan Juni tahun ini. Jadi masih relatif baru. Masih hangat, tapi bisa membuat panas-dingin perbankan nasional jika kurang sigap dan hati-hati dalam implementasinya. Sama seperti Basel II, Basel III terdiri dari tiga pilar. Pilar pertama berkaitan dengan persyaratan modal  minimum yang lebih mencerminkan dan bisa mengantisipasi berbagai resiko yang dihadapi bank. Perhitungan CAR (Capital Adequacy Ratio) pun menjadi lebih rumit. Berbagai jenis resiko bisa mempengaruhi kecukupan modal, yaitu resiko kredit, resiko operasional, dan resiko pasar. Pengelolaan resiko ini diharapkan menjadi budaya karena resiko merupakan jantung dan darah dari perbankan. Pilar kedua berhubungan dengan proses review dalam rangka pengawasan yang efektif. Bank sentral di seluruh dunia rasanya mempunyai  fungsi dan peran yang sama dalam hal pengaturan dan pengawasan bank, sebagaimana fungsi BI di Indonesia. Kemampuan mendeteksi kondisi bank secara dini menjadi sangat penting, terutama dalam mengarungi dan mengantipasi sistem keuangan global yang semakin kompleks. Pilar terakhir adalah  disiplin pasar yang dititikberatkan pada kejelasan peraturan mengenai pengungkapan kondisi bank yang muara akhirnya adalah transparansi. Seberapa besar keterbukaan dalam mengungkapkan informasi  tentang kondisi bank menjadi salah satu tantangan besar bagi perbankan nasional. Apa konsekuensinya terhadap perbankan nasional? Sebagai pedoman umum yang dirujuk oleh bank-bank sentral sedunia, perbankan nasional- suka atau tidak suka, mau atau tidak mau- harus mulai mempertimbangkannya  untuk segera diimplementasikan. Apalagi perbankan nasional kita sudah menjadi bagian dari sistem keuangan global yang menjadi tulang punggung transaksi atau perdagangan international.  Padahal implementasi Basel II di Indonesia pun masih belum tuntas. Setidaknya itu bisa dilihat dari kerangka waktu implementasinya menurut BI yang target waktu implementasinya memang berakhir tahun ini. Beberapa pekerjaan rumah harus diselesaikan tahun ini, terutama terkait dengan pilar ketiga yakni disiplin pasar yang sarat dengan penilaian resiko kredit dan resiko pasar. Baiklah, kita tidak akan membahas lebih jauh tentang substansi Basel III ini. Saya hanya mencoba membuat evaluasi sekilas tentang kondisi perbankan nasipnal saat ini, khususnya dikaitkan dengan kesiapan perbankan nasional dalam menyambut Basel III . Terlebih dahulu kita mendengar tanggapan BI.  Hari Rabu kemarin Kompas Online telah memberitakan komentar dari BI tentang kesiapan perbankan nasional, yang selengkapnya bisa dibaca di sini. "Saya kira pilar satu sudah tidak ada persoalan. Pilar dua dan tiga yang saya kira akan terus kita dorong. Termasuk bagaimana mendukung peran market yang lebih berperan dalam mengontrol industri perbankan ini,". Itulah kutipan pernyataan dari Muliaman D Hadad- Deputi Gubernur Bidang Pengaturan Perbankan Bank Indonesia- di Kompas Online (27/6/11). Benarkah? Yuk kita melakukan sedikit ulasan atau tanggapan terhadap pernyataan kesiapan perbankan nasional tersebut. Pertama, perbankan nasional dianggap sudah siap dengan pilar pertama. Ukurannya adalah rata-rata CAR perbankan nasional. Menurut Statistik Perbankan Indonesia yang dipublikasikan secara online di sini, Rata-Rata CAR untuk bank umum-termasuk CAR untuk meng-cover resiko operasional-per April 2011 adalah sebesar 17,76 %. Nilai tersebut tergolong  sangat tinggi dibandingkan dengan CAR minimal yang dipersyaratkan. Namun benarkah perbankan nasional mempunyai struktur dan kualitas permodalan yang handal? Dalam konteks antisipasi resiko, memang benar perbankan nasional mempunyai CAR yang baik. Tetapi jika ditelesik lebih jauh, CAR tinggi tersebut tidak mengandalkan penambahan modal baru, namun lebih banyak disebabkan karena resiko penyaluran dana bank yang relatif sangat hati-hati, atau dengan kata lain hanya menyalurkan ke aset-aset beresiko rendah. Terkesan perbankan nasional mencari aman. Memang betul juga bahwa Bank  harus prudent. Tapi, bermain aman tidak menunjukkan bank berhasil dalam mengelola resiko. Percuma jika CAR tinggi namun semua aset ditanamkan di SBI, obligasi pemerintah, atau pinjaman antar bank. Bukan ke kredit yang bisa mendorong pertumbuhan usaha di Indonesia. Memang pertumbuhan kredit meningkat setelah BI memberikan sistem insentif dalam perhitungan CAR yang dikaitkan dengan nilai LDR- yang sampai April 2011 tercatat sebesar 78,40 persen untuk rata-rata bank umum, meningkat sekitar 3% dibanding Desember 2010. Padahal bank harus  menjadi perantara keuangan yang optimal. Khususnya dalam menyalurkan dana untuk mendukung sektor riil, dengan bunga rendah tentunya. Sampai April 2011, total aset perbankan nasional sebesar Rp 2835 Triliun, namun hanya Rp 1844 Triliun yang disalurkan ke kredit oleh bank umum. Jadi CAR tinggi bisa disebabkan karena fungsi intermediasi yang tidak optimal, dan di sisi lain, bank tidak menambah modal secara signifikan. Bank seolah takut dengan resiko, bukan siap mengantisipasi dan mengelola resiko.  Bank menjadi sangat konservatif, dan berlindung kepada jargon bahwa mereka harus melindungi dana masyarakat. Memang di satu sisi itu benar, tapi dana masyarakat akhirnya tidak dapat dimanfaatkan untuk membantu perkembangan perekonomian.  Padahal kemampuan mengelola resiko tersebut menjadi sebuah keharusan dalam perbankan saat ini. Jadi bisa dimaklumi sebagian besar bank umum di Indonesia hanya tergolong "bank fokus"- setingkat lebih tinggi dibanding BPR-  dalam konteks Arsitektur Perbankan Indonesia . Bank Nasional dengan aset di atas 10 Triliun pun masih bisa dihitung dengan jari tangan. Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia yang dipublikasikan oleh BI, per April 2010 hanya 110 dari 121 bank umum yang dilaporkan mempunyai modal inti di atas Rp 100 Milyar. Kedua, proses pengawasan bank justru sedang mengalami ujian berat dalam dua tahun terakhir ini. Kasus pembobolan Bank Mega, kasus Melinda di Citibank, bahkan  tragedi kematian nasabah gara-gara oknum Debt Collector menjadi contoh kegagalan pengawasan yang efektif terhadap sepak terjang bank. Kasus tersebut mencerminkan bahwa proses pengawasan masih bisa dikelabui. BI sendiri sudah melakukan langkah kuratif dengan melakukan pemberian sangsi kepada bank, termasuk bank-bank yang menawarkan Wealth Management, walau sangsi tersebut akhirnya dicabut setelah bank-bank melakukan pembenahan prosedur. BI sendiri sedang menggodok peraturan untuk mencegah "fraud" di bidang perbankan. Semakin kompleksnya transaksi perbankan yang tidak mengenal batas ruang dan waktu menjadi pekerjaan rumah bagi perbankan nasional, khususnya BI yang menjadi perumus pengaturan dan pengawasan yang dapat mengantisipasi berbagai resiko terkait dengan bisnis perbankan. Apalagi, perbankan nasional di era saat ini sudah sangat intensif menerapkan teknologi informasi. Perlindungan dan pengamanan informasi dan transaksi elektronik bisa berpotensi negatif terhadap pengelolaan dana bank. Proses investigasi untuk menemukan jejak audit elektronik menjadi aspek penting dalam proses pengawasan di era digital saat ini. Selama masih ada kasus-kasus yang belum dapat diselesaikan dengan baik, maka pilar kedua ini berpotensi menimbulkan "bisul kedua" di perbankan nasional. Ketiga, isu transparansi dan akuntabilitas publik menjadi salah satu tantangan bank, yang dari perspektif pemangku kepentingan dan masyarakat,  justru menjadi tuntutan dan harapan yang harus bisa diwujudkan oleh bank. Namun, seberapa "terang benderang"-nya bank bisa mengungkapkan kondisinya terhadap masyarakat? Selama ini, kondisi keuangan bank yang sesugguhnya hanya diketahui oleh BI, itupun jika proses pengawasan oleh BI bisa berjalan optimal. Nasabah atau masyarakat seolah hanya bisa meraba-raba atau menduga tentang kondisi bank. BI  sudah mengharuskan mempublikasikan laporan keuangan, beserta beberapa rasio keuangan, kepada publik. Namun publikasi tersebut belum mencerminkan kondisi yang sesungguhnya. Masyarakat bisa memahami bahwa ada batasan dalam keterbukaan kondisi bank tersebut- yaitu dibalik alasan atau prinsip kerahasiaan-, namun masyarakat- khususnya nasabah bank- mempunyai hak terhadap informasi yang berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan atau resiko finansial terhadap dananya. BI selama ini sudah membuat peraturan yang mengharuskan setiap bank membuat berbagai laporan terperinci mengenai kondisi bank secara periodik. Dengan Bassel III, BI harus membuat masyarakat tidak seperti membeli kucing dalam karung ketika menduga-duga kondisi bank. Setidaknya BI memberikan informasi yang lebih terbuka kepada masyarakat tentang kondisi sebuah bank, tanpa harus khawatir dengan terjadinya kepanikan atau rush dalam perbankan nasional. Masyarakat rasanya sudah cukup dewasa dan mempunyai pertimbangan rasional dalam berhubungan dengan bank.  Jadi salah satu tugas BI dalam menyongsong Basel III ini adalah bagaimana mendorong pengungkapan kondisi bank yang lebih transparan dan akuntabel kepada pasar, dan yang lebih penting kepada masyarakat. Jika tidak ada perubahan dalam hal pengungkapan kondisi bank, maka perbankan nasional belum siap dalam implementasi Basel III. Dan ini bisa menjadi "bisul ketiga". Akhirnya,  kehadiran Basel III pada tahun ini menjadi salah satu tonggak penting yang harus dilewati secara hati-hati oleh perbankan nasional.  Semoga bisul itu tidak terjadi, atau bisa dikurangi kadar sakitnya. Harapannya, perbankan nasional tetap sehat-sehat saja. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun