Ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan penegerian PTS tahun lalu, Saya sempat menyikapi kebijakan tersebut di Kompasiana dengan judul: “Menyoal Alasan Menegerikan PTS”. Pemerintah merasa mempunyai alasan kuat untuk itu, seperti dikemukakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh di sini. Alasan utamanya: “Demi terwujudnya amanat Undang-Undang dalam rangka perluasan akses pendidikan tinggi.” Saat itu Penulis merasa pesimis karena lima alasan utama, dua diantaranya menyangkut masalah anggaran dan pengadaan sumber daya dosen.
Setelah berjalan satu tahun, akhirnya pemerintah mengeluarkan moratorium penegerian PTS, seperti tertuang dalam pengumuman di laman Dirjen DIKTI pada hari Senin (29/7/2013), yang selengkapnya dapat dilihat di sini. Moratorium efektif berlaku per 1 Agustus 2013.
Kebijakan moratorium tersebut didasarkan pada hasil evaluasi yang telah dilakukan oleh pemerintah. Merujuk pada pengumuman Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, hasil evaluasinya mencakup tiga hal, yaitu:
- Pengalokasian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Pusat untuk perguruan tinggi yang dinegerikan masih terbatas, sehingga menimbulkan permasalahan anggaran bagi PTN baru sebagai satuan kerja;
- Pencatatan sarana prasarana (aset) yang diserahterimakan dari pemerintah daerah/yayasan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sering mengalami kendala dalam proses pencatatan, sehingga menimbulkan “temuan” dari Badan Pemeriksa Keuangan;
- Sumber Daya Manusia yang diserahterimakan dari pemerintah daerah/yayasan kepada Kementerian
Moratorium tersebut bukan berarti pemerintah tidak melaksanakan amanat undang-undang karena masih ada beberapa opsi kebijakan lain untuk perluasan akses pendidikan.
Pertama, pemerintah sebaiknya lebih memberikan kepercayaan kepada PTS untuk meningkatkan daya tampungnya. Upaya tersebut tetap harus disertai dengan evaluasi dan monitoring terhadap kinerja PTS. Harus diakuir, kinerja PTS sangat heterogen dan memerlukan pengawasan yang tidak mudah jika mengingat jumlah PTS yang lebih dari 3000 institusi. Saat ini pun pengawasan terhadap PTS terasa semakin ketat, misalnya melalui akreditasi, peraturan mengenai etika ilmiah berikut sanksinya, serta sistem pelaporan EPSBED (Evaluasi Program Studi Berbasis Evaluasi Diri) yang mulai diintegrasikan dengan jenis pelaporan lainnya, semisal Laporan Beban Kinerja Dosen, Penguruan Kepangkatan Dosen, atau informasi akademik lainnya. Gerak-gerik PTS yang nakal pun rasanya mulai sempit karena pengetatan berbagai regulasi tersebut.
Daya tampung PTS yang lebih besar dari PTN bisa menjadi modal dasar untuk meningkatkan Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi (APK-PT). APK-PT Indonesia yang di bawah 20 persen, atau tepatnya 16,35% menurut BPS. Mengutip indikator World Competitiveness Report 2011-2012, Indonesia menempati posisi ke-87 dari 124 negara untuk indikator persentase penduduk yang terdaftar ke perguruan tinggi. Rasanya PTS masih bisa diharapkan untuk menggenjot APK-PT tersebut, namun tetap ada upaya untuk peningkatan kinerja PTS yang bermuara pada kualitas pendidikan dan lulusanya juga.
Kedua, pemerintah memberdayakan Akademik Komunitas, meskipun ada beberapa catatan seperti disajikan pada artikel di Kompasiana: “Selamat Datang Akademi Komunitas”. Penyebaran Akademi Komunitas dengan bekerja sama dengan pemda dan/atau pihak industri setempat bisa memberikan kesempatan kuliah pada putra-putri negeri ini yang mempunyai keterbatasan finansial untuk sekolah di program sarjana yang kini relatif tidak murah. Pengembangan Akademi Komunitas yang berbasis kebutuhan punya peluang untuk ikut membantu pengembangan potensi daerah.
Ketiga, pemerintah bisa mengeskalasi sistem Pendidikan Jarak Jauh (PJJ). Terlepas dari beberapa tantangan atau hambatan PJJ seperti ditulis dalam artikel:“Pendidikan Jarak Jauh: Demi Kuantitas atau Kualitas?“. beberapa PTN atau PTS yang mempunyai kemampuan serta memenuhi syarat, bisa meningkatkan daya tampung mahasiswanya tanpa memerlukan perluasan sarana fisik, kecuali sarana teknologi informasi dan komunikasi.
Mudah-mudahan moratorium ini tidak menghentikan upaya pemerintah untuk meningkatkan akses pendidikan dengan biaya yang terjangkau bagi masyarakat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H