Itulah rencana komposisi program pendidikan di PTN, seperti diungkap Dirjen DIKTI Prof. Dr. Djoko Santoso, MSc pada berita di Kompas.com (14/9/2012) berjudul: “Kemdikbud Ubah PTN Jadi 70 Persen Vokasional”. Alasannya, PTN tidak mau dianggap sebagai pencetak pengangguran. Langkah pertama yang akan ditempuh adalah mendirikan tiga institut di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Khusus di Sulawesi, Institutnya merupakan sempalan dari Fakultas Teknik UNHAS. Langkah kedua, meningkatkan jumlah politeknik dan memperkuat politeknik yang ada.
Dua langkah tersebut melengkapi upaya sebelumnya yaitu mendirikan Akademi Komunitas yang menyelenggarakan program D1, D2, dan D3. Bahkan, politeknik pun nantinya bisa menyelenggarakan D4 (S1 Terapan), S2 (Magister Terapan), dan S3 (Doktor Terapan). Entahlah, apakah nanti ada pemberian label khusus sesuai dengan perbedaan orientasi lulusannya, atau bagaimana konsekuensinya terhadap isi kurikulum atau proses pembelajarannya.
Pembenahan tersebut dikaitkan juga dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) – terdiri dari 9 jenjang – yang bisa ditempuh melalui jalur pendidikan dan non-pendidikan. Sederhananya, otodidak bisa setara Doktor yang dihasilkan perguruan tinggi. Namun dalam prakteknya, KKNI yang pemberlakuannya berdasarkan Peraturan Presiden nomor 8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia yang telah ditandatangani oleh Presidan pada tanggal 17 januari 2012., membuat sulit teman-teman di industri – khususnya di asosiasi profesi – yang harus membuat rincian kompetensi yang berbeda, mulai dari level 1 sampai 9.
Kembali ke komposis 70:30, terbersit beberapa pertanyaan. Sekali lagi, ini bukan bersifat apriori terhadap rencana tersebut. Toh, secara konseptual, niat pemerintah tersebut syah-syah saja, dan belum bisa dimentahkan begitu saja sebelum betul-betul diimplementasikan. Namun tidak ada salahnya untuk bersikap skeptis agar kita tidak terkaget-kaget lagi. Toh, rencana dan implementasi kadang ada distorsi, meskipun Kita pasti mempunyai keinginan yang sama, yakni Indonesia tidak dihantui pengangguran dan terdepan dalam pengembangan IPTEKS.
Pertama, S1 sampai S3 yang dibedakan antara gelar terapan dan gelar akademik, pasti memerlukan perbedaan pula dalam kurikulum dan proses pembelajaran. Padahal, sejak dulu pun sudah terjadi pro dan kontra antara kubu teori (dunia akademisi) atau praktek (dunia praktisi). Mungkinkah perbedaan tersebut sebatas komposisi teori dan praktek yang harus dipelajari di kampus?
Apapun pilihannya, pasti ada konsekuensinya. Misalnya, cakupan dan jenis praktek bisa berbeda-beda tergantung jenis teknologi atau proses bisnis di setiap industri. Meskipun teori atau prinsip kerja yang mendasarinya sama, berbagai jenis perangkat lunak bisa bermacam-macam. Alat dan mesin pun bisa berlainan. Bisa saja kampus hanya menyediakan simulator atau mengenalkan prinsip kerjanya saja, lalu ada program magang di industri. Tantangannya, apakah pihak industri bisa meresponnya di saat kedua kubu itu – yakni perguruan tinggi dan industri – kadang sama-sama masih gagap mewujudkan konsep link and match.
Kedua, di bidang rekayasa, praktek bisnis yang berbasis teknologi memerlukan laboratorium atau perangkat teknoligi terkini yang bisa menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan dunia kerja atau dunia industri. Padahal perkembangan teknologi atau teknologi prosespun begitu cepat berubah. Apalagi, saat ini indonesia masih secara umum masih tergolong pengguna teknologi, bukan pencipta. Harapannya, perubahan orientasi pendidikan ini bisa juga menciptakan para pencipta atau inovasi teknologi.
Ketiga, konsekuensi lainnya, lulusan terapan dan akademik tentu berbeda pula dalam hal jalur karir, atau setidaknya pilihan profesinya setelah lulus. Lulusan terapan mungkin lebih banyak berkarir di dunia kerja, sedangkan lulusan akademik berkarir sebagai pendidik, ilmuwan, peneliti, atau profesi lain yang berkaitan dengan pengembangan ilmu itu sendiri.
Masalahnya, dengan asumsi jalur karir seperti itu, apakah lulusan melalui program terapan bisa terserap semua oleh industri yang bertindak sebagai demand side bagi lulusan PT? Padahal sisi permintaan tenaga kerja kadang dipengaruhi oleh faktor eksternal yang tidak bisa dikendalikan oleh pihak PT. Mudah-mudahan, formula baru ini juga bisa mendorong PT untuk menghasilkan lebih banyak job creator, bukan job seeker. Dengan kata lain, lulusan program vokasi atau gelar terapan harus menjadi wirausahawan atau para inovator yang bisa menciptakan lapangan kerja.
Di sisi lain, aspek pengembangan IPTEKS – dengan asumsi itu menjadi peran para peneliti – juga tergantung seberapa besar sarana dan prasarana yang disediakan oleh pemerintah, termasuk sistem insentif tentunya. Kita pun sering mendengar selentingan para lulusan luar negeri yang mumpuni malah frustasi saat kembali ke tanah air. Bukan sebatas apresiasi saja, namun mereka akhirnya tidak bisa mengembangkan IPTEKS sesuai dengan ilmu yang diperolehnya di sana. Namun gara-gara ketiadaan sarana dan prasarana, akhirnya keahliannya tidak bisa dimanfaatkan secara semestinya.
Keempat, aspek terakhir ini mungkin diluar konteks, namun tetap logis untuk dipertimbangkan. Pendidikan di Indonesia tidak hanya PTN saja. Dari sisi jumlah dan daya tampung pun PTS lebih dominan dalam menghasilkan lulusan. Menurut data dikti, per 1 Agustus 2012 jumlah PT di Indonesia sebanyak 3216 insitusi yang terdiri dari 92 PTN dan 3124 PTS.