Proses akreditasi kadang – atau mungkin sering - menjadi momok menakutkan bagi pengelola Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia, khususnya bagi Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Prosesnya – terutama pada saat penyiapan borang dan visitasi – sering membuat jungkir-balik, mengelus dada, menyedot emosi, atau berujung kecewa. Hasil evaluasinya pun bisa menjadi vonis mematikan. Ada PTS yang malah didemo mahasiswanya gara-gara akreditasinya turun, kadaluarsa, atau malah tidak terakreditasi.
Pengelola PT pun – suka atau tidak suka, mau tidak mau – harus mengikuti proses akreditasi. Apalagi peraturan dan perundangan melarang program studi yang tidak terakreditasi untuk mengeluarkan ijazah karena dicap ilegal. Dengan jumlah program studi yang puluhan ribu, akhirnya antrian akreditasi pun membludak.
Akreditasi perguruan tinggi (DIKTI) menjadi pekerjaan besar yang akhirnya tidak tertuntaskan. Menurut informasi Ketua BAN-PT Kamanto Sunarto: “Pemerintah lebih fokus untuk mensyaratkan pengakreditasian program studi yang saat ini berjumlah 16.755 program studi agar dapat mengeluarkan ijazah.”, dikutip dari berita kompas.com (29 Agustus 2012): “Pemerintah Perlu Serius Siapkan Lembaga Akreditasi.”
Salah satu alasan utamanya adalah jumlah reviewer dan anggaran yang tidak mencukupi. Ketua BAN-PT pun berencana menambah jumlah asesor yang saat ini berjumlah 2000 orang seperti berita Kompas.com (29/08/2012): “Asesor untuk Akreditasi Perguruan Tinggi Ditambah”.
Belum tuntas pekerjaannnya, pemerintah harus melakukan penataan ulang peraturan dan perundangan tentang pendidikan tinggi. Semenjak UU DIKTI disyahakan pada tanggal 13 Juli 2012, pemerintah melalui Kemdikbud mulai getol mengeluarkan peraturan setingkat di bawah UU sebagai pedoman atau kebijakan yang lebih teknis. Dan itu termasuk proses akreditasi perguruan tinggi, yang pada awalnya menjadi wewenang penuh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).
Kini, kewenangan tersebut mesti dibagi-bagi dengan dimungkinkannya kehadiran Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) yang boleh diselenggarakan oleh swasta. Akhirnya BAN-PT dan LAM pun harus berbagi kewenangan dalam melakukan proses akreditasi, yakni BAN-PT mendapat jatah akreditasi institusi sedangkan LAM mendapat porsi akreditasi program studi.
Kewenangan BAN-PT – yang sepertinya dikebiri atas nama UU DIKTI – telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Mendikbud No 59 tahun 2012 tentang Badan Akreditasi Nasional. Permendikbud yang ditetapkan tanggal 15 Agustus 2012 tersebut telah membatalkan (a) Permendiknas nomor 28 Tahun 2005 tentang BAN-PT, (b) Permendiknas nomor 29 tahun 2005 tentang BAN-S/M (Sekolah/Madrasah); dan (c) Permendiknas nomor 30 Tahun 2005 Tentang BAN-PNF (Pendidikan Non Formal).
Bagi-bagi kavling akreditasi antara BAN-PT dan LAM secara eksplisit tidak tercantum pada permendikbud tersebut. Bagi-bagi kavling disinggung oleh Dirjen DIKTI yang dikutip oleh Kompas.com (28/8/2012) dengan judul berita: “Punya Izin Penyelenggaraan, Otomatis Terakreditasi”. Batas kewenangan ini tercantum pada UU DIKTI, yaitu pada Pasal 55 ayat (4) yang berbunyi: “Akreditasi perguruan tinggi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi” ; serta ayat (5): “Akreditasi Program Studi sebagai bentuk akuntabilitas publik dilakukan oleh lembaga akreditasi mandiri”
BAN-PT, yang selain berwenang melakukan akreditasi institusi – juga berhak memberikan rekomendasi kepada menteri tentang LAM. Kewenangan tersebut tercantum dalam UU DIKTI pasal 55 Ayat (6): "Lembaga akreditasi mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan lembaga mandiri bentukan Pemerintah atau lembaga mandiri bentukan Masyarakat yang diakui oleh Pemerintah atas rekomendasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi". Kewenangan mengawasi LAM ini pun ada yang mengkritisi karena – salah satu asalannya - mencederai independensi LAM.
Terlepas dari polemik tersebut, saya melihat ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam proses akreditasi tersebut, baik oleh BAN-PT maupun LAM.
Pertama, reliabilitas dan validitas butir-butir penilaian yang penetapan skor oleh asesornya berdasarkan data yang ada pada Borang Akreditasi serta fakta yang terungkap saat visitasi. Bukan rahasia lagi bahwa butir-butir penilaian akreditas membuat sejumlah PT “mules-mules”. Apalagi pada versi terbaru, standarnya lebih berat dan sebagian besar dari indikatornya bersifat kuantitatif yang sulit dicapai untuk meraih nilai tinggi. Memang bukan masalah sulit atau gampangnya meraih nilai, namun apakah butir-butir tersebut bisa menunjukkan mutu yang sesungguhnya dari sebuah PT atau program studi.