Prasasti kematian di Taman Prasasti
Sebelum acara resmi, Saya makan siang hari ini bersama pada atlet, pelatih, dan pengurus cabang olah raga di KONI DKI Jakarta. Tepat jam 1 siang, acara resmi pun dimulai. Kami pun berkumpul di sebuah aula yang terlihat biasa saja. Padahal itu markas para atlet yang tergabung dalam kontingen yang selalu menjadi gudang atlet nasional. Juara umum PON seolah menjadi langganan dan keharusan. Target prestasi pun diukur dengan medali emas, bukan perak, bahkan perunggu. Tekad tersebut pun seolah terpatri dalam dada, teriakan penyemangat sebelum acara dibuka pun bergema. Tidak cukup itu, mars pemacu semangat pun diperdendangkan sambil tegak berdiri sebelum pembukaan acara. Setelah itu, acara dimulai. Semua hadirin duduk kembali di sebuah Aula yang tergolong bagus. Saya pun menunaikan tugas di sini.
Kami patriot pemburu emas
Mencari emas di dunia maya
Supaya lengkap merasakan moda transportasi, saya menggunakan bajay untuk pergi dari lokasi. Tujuannya adalah Kampus yang berada di daerah kenari. Bukan dengan bajay ke sananya. Bajay hanya sampai ke stasiun busway yang berada di lapangan monas. Ternyata, bajay di larang masuk ke daerah medan merdeka. Terpaksa saya berhenti di samping Gedung Indosat di sebuah jalan kecil sebelum masuk jalan Medan Merdeka. Ternyata stasiun busway masih sekitar 200 an meter dari situ. Saya pun terpaksa berjalan kaki dari situ. Sambil jalan, iseng memoto Gedung BI yang terlihat paling megah sendirian di sekitar thamrin. Wajarlah sebagai penguasa perbankan di Indonesia. Kereta kuda pun tetap tidak beranjak di depannya.
[caption id="attachment_135188" align="alignnone" width="640" caption="Gedung gudang uang"][/caption] [caption id="attachment_135211" align="alignnone" width="642" caption="Kereta kuda pun tak beranjak di depan BI"][/caption]
Daripada berpindah bisa transjakarta, saya memutuskan naik bis yang ke arah Pulo Gadung. Siapa tahu melewati daerah Matraman. Kan ada juga jalur busway dari pertigaan pramuka yang menuju Pulo Gadung. Dasar kuper, ternyata bis menuju Pulo gadungnya melalui Senen. Saya pun terpaksa transit, berpindah bis yang rutenya Ancol ke Rambutan. Daripada bengong kepanasan di koridor stasiun, poster film nasional di sebuah bioskop legendari di bilangan senen pun jadi sasaran kamera saya. Filmnya tergolong seronok dengan judul yang seram dan menyerempet porno.
[caption id="attachment_135190" align="alignnone" width="634" caption="Poster film seram dan seronok"][/caption]
Sialnya, setengah jam tidak ada busway yang lewat. Waktu pun terus berputar, menjelang magrib. Mengingat jadwal mengajar setelah magrib, akhirnya diputuskan naik bajay lagi. Adzan magrib pun terdengar sayup-sayup, kalah suara dengan bunyi bajay yang meraung-raung. Pantas putri bungsuku suka menutup telinga ketika naik bajay. Sampai kampus, untung waktu magrib belum terlewat, namun saya terpaksa harus melewatkan siaran langsung Indonesia vs Qatar. Bukan tidak nasionalis, tenyata mahasiswa sudah menunggu di kelas.
Ya sudah. Siapa suruh datang ke Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H