Mohon tunggu...
Budi Hermana
Budi Hermana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keluarga/Kampus/Ekonomi ... kadang sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mewah di Kampus Merana di Jalan

29 Desember 2011   17:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:36 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Itulah kelompok hipotetis dalam menyoal gaji dosen. Saya tidak tahu kelompok mana yang minoritas atau mayoritas karena itu hanya berdasar obrolan iseng saja. Mungkin saja ada kelompok lain yang luput dari perhatian. Terlepas dari itu, saya berkeyakinan bahwa semua kelompok pasti bersyukur seandainya gaji dosen dinaikkan. Namun yang lebih penting, apakah kinerja dosen bisa sesuai dengan harapan atau tidak. Itulah tantangan terbesarnya. Lagian, kok rasanya kurang tepat juga jika berdalih bahwa keterpurukan perguruan tinggi gara-gara kehidupan dosen yang "merana" secara finansial semata.

Kembali ke merana di jalan. Menurut saya, merana adalah realitas sosial yang bisa dianggap sebagai tantangan atau perjuangan untuk melewati kehidupan.  “Kemewahan” dalam hati dan pikiran atas nama kebebasan akademik, otonomi keilmuan, dan mimbar akademis bisa menjadi nilai lebih yang tidak bisa diukur dengan uang, walau ada juga yang mempersoalkannya sebagai kepasrahan – atau enggan pindah dari zona nyaman- sehingga terpenjara di menara gading. Dengan demikian, “kemewahan” tersebut tidak tersentuh atau tidak menjadikan masyarakat Indonesia menjadi lebih baik.

Hidup kadang perlu keberpihakan. Saya pun mempunyai sikap atau pendapat terhadap gaji dosen ini. Soal ini, pilihan hidup memang bisa berbeda-beda. Dosen adalah pilihan tanpa keterpaksaan, termasuk menerima konsekuensi dari profesi ini. Ukuran daya tahan atau toleransi terhadap “seberapa merananya di jalan” pun berbeda-beda. Dan itu manusiawi karena dosen toh juga manusia. Sisi kemanusiaaan inilah yang membuat profesi dosen selalu ada dalam sorotan, sama dengan profesi lainnya. Dan soal gaji ini, saya tidak menyikapinya sebagai hidup yang “merana”, walau ada yang menganggapnya sebagai keprihatinan atau sebuah ironi.

Uang memang penting dan bisa membeli kemewahan, namun tidak ada niat menggunakannya untuk membeli “kerbau putih”, walau sikap itu tidak bisa menapikkan anggapan dosen yang dijadikan “kambing hitam” dari keterpurukan perguruan tinggi. Itulah persoalan terbesarnya, sebagai akumulasi dari kerikil-kerikil kecil yang harus dilalui seorang dosen. Dan hal-hal kecil bisa dilihat biasa, atau sebaliknya, jadi luar biasa, seperti halnya saya mendapatkan "kemewahan" ketika melihat senyum tulus ayahanda yang merestui anaknya menjadi dosen sebagai pekerjaan pertama, dan Insya Allah yang terakhir.

Saya setuju bahwa kata "merana" memang bukan sebatas makna finansial semata, namun lebih ke arah kontribusi dosen yang belum bermakna. Sepertinya, istilah "kambing hitam" menjadi analogi lain yang perlu mendapat perhatian lebih besar dibanding "kerbau putih". Walaupun terasa lebih menohok, dosen harus memaknai perumpamaan tersebut  secara positif.  Selalu ada ironi dan elegi, namun jangan pesimis untuk terus berharap ada simfoni indah bagi seorang dosen. Begitulah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun