Sering kali pada saat saya meliputi obyek budaya dan situs sejarah di manapun, sejumlah pemandu wisata lokal menawarkan diri untuk memberikan informasi seputar lokasi yang dikunjungi. Apalagi untuk situs budaya atau sejarah yang terkenal. Menikmati sejarah ibarat selera dan rasa makanan. Ada suka dan tidak suka dengan makanan tertentu. Kalo toh suka, rasanya bisa bermacam-macam. Pedas, manis, pahit, sepet, bahkan makanan basi juga ada. Namun, pada hari pertama ekspedisi budaya di Makassar, saya suka Ãœlu Juku berupa kepala ikan kakap. Saya pun percaya, ragam makanan bisa mencerminkan masa lalu sebuah masyarakat di Indonesia.
Keberadaan bangunan fisik menunjukkan bukti atau jejak di masa kini. Namun, ketika mencoba menerawang masa lalu, kita hanya mengandalkan penuturan lisan sejumlah narasumber lokal, atau menelusuri berbagai tulisan di buku atau media online. Pada saat itulah kadang terbersit rasa skeptis tentang kebenaran atau validitas informasi tentang masa lalu. Jadi, memahami sejarah tidak luput dari sikap percaya atau tidak percaya. Mungkin saja ada distorsi turun-temurun dalam rantai pengiriman pesan atau kejadian di masa lalu.
Ketiadaan kita di masa lalu membuat kita harus mencerna informasinya dengan bijak. Bagaimana pun, masa lalu bisa menjadi cermin tentang arti hidup dan kehidupan para leluhur. Mempelajari dan melestarikan sejarah pun menjadi kewajiban generasi kini. Toh kita sendiri berasal dan mempunyai masa lalu juga. Belajar dari masa lalu membuat kita bisa memahami makna yang dapat dijadikan pembelajaran. Asal usul kronologis bak benang merah antara masa lalu dan masa kini menjadi catatan yang dapat saja membuat kita mengerti tentang keberadaan kehidupan di masa kini.
Percaya atau tidak percaya menjadi sesuatu yang tidak penting jika sikap skeptis terhadap sejarah tidak menjadikan hidup dan kehidupan selanjutnya menjadi lebih baik dan bermakna. Toh, mulai hari ini ke depan, kita pun bisa membuat sejarah bagi anak-cucu kita nanti. Soal keberanarannya, biarlah para ahli sejarah yang menentukannya.
Ketika matahari terbebam di pantai Losari, hari pun berganti. Kemarin pun sudah menjadi masa lalu. Dan kita pun bisa merintis sejarahnya masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H