Mohon tunggu...
Budi Hermana
Budi Hermana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keluarga/Kampus/Ekonomi ... kadang sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

“Shadow Banking“

5 Desember 2011   08:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:48 1438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_153911" align="aligncenter" width="640" caption="Bank Indonesia./Admin (KOMPAS Images/Dhoni Setiawan)"][/caption] Ketika kapitalisme jadi “tuhan”, “hantu”  pun  gentayangan ....

*****

Salah satu pelajaran penting dari krisis finansial global 2007- yang sampai kini masih berbuntut panjang dan menjalar ke Eropa- adalah sepak terjang dari “Shadow Banking”. Geliatnya sungguh luar biasa dalam lima tahun terakhir ini. Saya kutip pernyataan  Ketua Financial Stability Board (FSB)  Mario Draghi mengenai kekhawatirannya terhadap “Shadow Banking” - artikel lengkapnya bisa dilihiat di sini-  pada tanggal 24 September 2011:

Moreover, the crisis demonstrated that the shadow banking system can itself be a source of systemic risk, both directly and through its interconnectedness with the regular banking system, leading to a build-up of additional leverage and risks

Apa sih “Shadow Banking”?

Menurut penemu istilahnya Paul McCulley pada tahun 2007, “Shadow Banking” adalah “Levered-up non-bank intermediaries that fund themselves with uninsured short-term funding”, sedangkan definisi versi Financial Stability Board, “Entities that undertake credit intermediation outside the banking system”.

Ya, mereka bukan bank, tapi beroperasi layaknya bank. Ngumpulin duit dari yang berlebih, lalu menyalurkannya ke yang butuh, termasuk butuh asset fisik yang bisa dicicilnya melalui produk angsuran, yang juga mirip bank.

Kita pernah dengar bagaimana hedge fund menyelusup ke berbagai negara mengangkut hot money milyaran dollar. Agresif, dana raksasa, dan punya jurus maut non-konvensional. Katanya, demi melindungi  dari para investor besarnya, mereka agresif menyerbu pasar.  Mereka pun bisa  datang tak diundang, pergi pun tanpa permisi. Ketika dana mereka minggat, sistem keuangan sebuah negara bisa sekarat.

Kita pun tahu ada dana abadi berupa dana pensiun. Mereka bisa memasok dana luar biasa besar ke sektor perbankan. Saking besarnya, mereka bisa saja maunya diperlakukan sebagai "prime customer" yang perlu dilayani bak raja. Tingkat bunga pun bisa menawar di atas bunga pasar, seolah tidak peduli bahwa "layanan prima" terhadap mereka bisa meningkatkan tingkat suku bunga kredit sehingga para debitur bank bisa menjerit.

Sebagian dari kita purnah pernah menyicil mobil atau asset fisik lainnya melalui pinjaman dari lembaga selain bank. Tanpa kredit dari bank pun kita bisa punya motor dan mobil. Itulah contoh “shadow banking”. Bahkan, insititusi ini bisa juga memasok dana ke bank, dalam jumlah yang besar pula. Jadi, mereka bisa menyalurkan pinjaman atau investasi, bahkan dana mereka pun bisa diparkir di bank.

Itulah contoh "shadow banking".

Mereka seolah dianggap dan beroperasi seperti prinsip bank, namun tidak tersentuh regulasi bank. Padahal hantu itu bisa mengumpulkan uang dari para investor atau surplus unit juga, pun bisa menyalurkan kembali dana tersebut kepada peminjam atau pihak yang membutuhkan dukungan finansial.  Apalagi, berbagai lembaga keuangan, termasuk “shadow banking” semakin terintegrasi dalam sistem finansial, Bahkan, produknya pun seolah bisa bersimbiosis sehingga batas produk bank dengan non-bank semakin kabur.

Dan ketika geliatnya semakin menjadi raksasa yang menyedot ratusan triluin rupihan, “shadow bank” bak hantu yang bisa menakutkan, bahkan mengancam sistem keuangan- baik nasional maupun global.

Mengapa dunia perbankan takut padanya?

Perbankan  nasional diatur dan diawasi oleh BI. Jika Gubernur BI saja khawatir terhadap “shadow banking“, perbankan nasional jelas harus mulai ancang-ancang dengan gebrakan BI nanti terkait menyikapi lembaga yang “gentayangan“ ini. Nah, BI sendiri pasti mencari rujukan dari “biang“-nya bank sentral di seluruh dunia, yaitu Bank for International Settlement (BIS). Sebagai anggota BIS yang suka manut dan mengadopsi regulasi dari BIS tersebut, BI pun mulai siap-siap untuk melakukan kajian tentang regulasi perbankan terbaru yang bisa menyentuh “shadow banking“. Dan itu sudah diawali dengan resep tentang Basel III yang sedang digodok oleh BIS.

Bentuk ketakutan berujung pada sikap protektif  lan waspada. Dalam konteks regulasi, BIS pun sudah mengambil langkah antisipasi. Maka, tahun ini Basel II mulai dipermak lagi, akhirnya keluarlah edisi lanjutannya, Basel III. Btw, soal Basel III ini, Kompas.com (1/12/2011) sudah membuat beritanya dengan tajuk: Basel III: Antisipasi Krisis Global?

Ya, Basel III sudah mulai digadang-gadang oleh BIS untuk diimplementasikan oleh bank sentral di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Padahal, bank-bank di Indonesia masih belum “kering keringatnya“ ketika harus menyesuaikan berbagai regulasi perbankan terkait dengan Basel II yang implementasinya di Indonesia belum tuntas.

Soal Basel III dan “Shadow Banking“ ini,  Saya kutip pernyataan dari Stefan Walter, Sekjen Basel Comitte on Banking Supervision- sebuah organ BIS yang tugasnya menggodok regulasi perbankan. Pada artikelnya yang disampaikan pada Conference on Basel III di Basel Swiss tanggal 6 April 2011, dengan judul “ Basel III: Stronger Banks and a More Resilient Financial System”, Stefan Walter membahas "shadow banking " pada sub bab tersendiri. Saya kutip sebagian tulisannya.

….to the extent that bank-like risks emerge in the shadow banking sector, they should also be addressed directly. Supervisors should take a system-wide perspective on the credit intermediation process. To the extent that bank-like functions are carried out in the shadow banking sector and pose broader systemic risks, they should be subject to appropriate regulation, supervision, and disclosure.

Tuh kan bener, hantu itu memang menakutkan sehingga harus diawasi dengan ketat sepak terjangnya. Jika tidak waspada, resiko yang ditimbulkannya bisa saja berpotensi menggoyahkan sistem keuangan yang memang sudah semakin terintegrasi.

Bagaimana di Indonesia?

“Shadow Banking Semakin Merasuki Sistem Keuangan RI”, itulah salah satu tajuk berita di detikfinance (1/12/2011) di sini.

"Memang terus terang shadow banking letaknya ada di pemerintah yakni Kementerian Keuangan, namun ada juga yang tidak ada yang mengawasinya. Oleh karena itu dalam rangka amandemen UU Bank Indonesia kita akan memperjelas hal-hal yang tidak ada regulatornya ini," itulah ungkapan Gubernur BI Darmin Nasution yang saya kutip dari berita di atas.

Hantu itu memang seolah tidak kasat mata. Terasa tapi masih samar-samar jejak yang sebenarnya. Ada, tapi tiada informasi lengkap tentang dirinya, minimal untuk di Indonesia. Jika pun sudah terlihat wujudnya, tidak mudah untuk menjeratnya sehingga belum tahu harus “diapain” nih hantu ini jika mereka bikin ulah.  Maksud saya, aspek regulasi di Indonesia sendiri belum bisa menyentuh mereka seperti maunya konsep monitoring yang memang di dunia international pun masih digodok.

Di Indonesia, mungkin saja sebagian dari mereka tercatat di Kementrian Keuangan, namun apakah aspek regulasinya sudah mumpuni? Jawabanya secara tersirat bisa diketahui dari pernyataan Gubernur BI tersebut.

Bagaimana cara mengawasi sepak terjangnya?

Guyonannya, kejar saja ada di mana sehingga kita punya peta tempat mangkalnya, apa saja tabiat dan ulahnya, lalu catet secara lengkap profil dan semua informasi tentang mereka. Katanya FSB sih, Scanning and mapping of the overall shadow banking system. Kemudian, coba simak, mungkinkah  mereka bikin gara-gara sehingga terjadi huru hara yang membuat masyarakat lari ketakutan gara-gara ulah mereka.  Apakah ketakutan itu gara-gara mereka cuma berdehem saja, menggebrak kakinya doang, atau memang mencekik leher orang. Menurut FSB,   Identification of the aspects of the shadow banking system posing systemic risk or regulatory arbitrage concerns.

Jika sudah tahu ada berapa dan di mana saja mereka; apa saja cara mereka bikin gara-gara, maka langkah terakhirnya adalah semua resiko yang mungkin ditimbulkannya diprediksi dan dikalkulasi, terutama yang berpotensi besar bikin ketakutan  masal. Jangan-jangan mereka berkolaborasi sesame “hantu”, tidak di satu tempat saja, namun seperti jaringan. Mereka bisa menyusup ke berbagai tempat keramaian, bukan hanya senang di tempat-tempat sunyi saja. Bisa jadi mereka bisa serentak berulah, atau menular ulahnya dari satu hantu ke hantu lain yang punya wilayah kekuasaannya masing-masing, meskipun wilayah itu mungkin bukan miliknya. Jadi tahap terakhirnya adalah "Detailed assessment of systemic risk and/or regulatory arbitrage concerns".

Waduh, cerita tentang “hantu” ini memang masih membingungkan ya. Maklum, namanya juga seperti bayangan saja.  Semua masih meraba-raba. Biar tidak semakin membingungkan, silahkan tengok saja rekomendasi dari FSB pada tanggal 27 Oktober 2011- yang naskah selengkapnya dapat dilihat di sini.

*****

Shadow banking sebenarnya lembaga keuangan juga, toh sering disebut juga lembaga keuangan non-bank. Sedari dulu Kementrian Keuangan sudah mempunyai Dirjen Lembaga Keuangan - yang sekarang sudah menyatu dengan Bapepam lalu melebur jadi Otoritas Jasa Keuangan- yang membawahi dan mengawasi lembaga keuangan n0n-bank di Indonesia.  Namun dengan semakin terintegrasi sistem keuangan- termasuk saling silang antara bank dan non-bank- maka aspek regulasi atau pengawasan terhadap lembaga non-bank tersebut harus menjadi bagian integral dari pengawasan sistem keuangan secara keseluruhan.

Ketika fungsi pengawasan bank sudah “direbut” oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dari BI, sudahkah OJK mulai mengantisipasi “shadow banking” ini dalam pelaksanaan fungsi dan perannya nanti? Pastilah. Kan ada wakil dari BI yang menjadi anggota dewan komisioner OJK. Dan, Gubernur BI sendiri yang sudah “takut” dengan “shadow banking” itu akan menularkan "ketakutan"-nya agar OJK bisa waspada juga.

Semoga OJK tidak takut dan bisa menaklukan “hantu“ ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun