Mohon tunggu...
Budi Hermana
Budi Hermana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keluarga/Kampus/Ekonomi ... kadang sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengajar Secara Sederhana, Bisakah?

3 Desember 2011   13:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:53 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Mengkudu itu bahasa Inggrisnya “peits“, ya Pak?“
“Emang ejaannya bagaimana, Dek?”
“P-A-C-E”
“Pace itu ya mengkudu, sinonimnya!“
“Oh, kirain!”
“Emang Adek belum pernah melihat mengkudu ya?“
“Belum!“
“Lonjong, benjol-benjol, mentahnya hijau, tuanya putih kekuningan“
“Ohh, pace itu cempedak ya!”
“Bukan, pace jauh lebih kecil!”
“Bingung ah, bapak sih ngajarinnya gak bener!”
“?????“

Begitulah dialog seorang bapak dengan putri bungsunya yang masih kelas lima. Walaupun bapaknya berprofesi sebagai dosen, tetap saja dicela tidak bisa mengajar anaknya sendiri.

*****

Memberi kuliah di perguruan tinggi bukan sebatas pengalihan pengetahuan dari pemberi pesan -dalam hal ini dosen- kepada penerima pesan- yaitu mahasiswa.  Asumsinya, alur komunikasinya bersifat  searah saja, atau menempatkan dosen sebagai sumber pengetahuan bagi mahasiswa. Tidak ada interaksi atau dialog. Cara konvensional ini sudah dipergunakan bertahun-tahun. Ada yang menyebutnya metode ceramah.  Hanya satu orang yang bicara, lainnya mendengar saja.

Pada perkembangan selanjutnya muncul berbagai pendekatan atau metode mengajar yang mulai menempatkan mahasiswa sebagai aktor pembelajar. Merekalah yang harus berinisitaif dan aktif dalam berburu dan berguru ilmu. Dosen hanya fasilitator, syukur-syukur menjadi motivator. Berbagai  teori atau teknik mengajar pun bermunculan, seperti constructivism, student centered learning, quantum learning,  atau istilah lainnya yang terdengar keren dan gagah. Theory of learning, tarnyata belajar atau mengajar itu ada teorinya. Prakteknya gampang-gampang susah.

Mana yang dipilih?

Metode ceramah memang usang, tapi bukan berarti mahasiswa tidak bisa terkenang-kenang. Bukankah kita bisa terkesima dengan ceramah dari seseorang yang begitu membius? Pengajaran yang berpusat kepada mahasiswa sebagai aktor pembelajar memang alternatif yang menarik, tapi tidak semua orang mempunyai inisiatif yang sama. Ini soal opsi cara mengajar yang sebenarnya bisa saling melengkapi atau bisa juga hasilnya berbeda pada situasi kelas dan karakteristik mahasiswa yang berbeda. Jadi mana yang dipilih bersifat situasional dan kondisional.

Apapun metode atau pendekatan mengajar, faktor bahasa menjadi peran penting dalam penyampaian pesan, baik searah maupun timbal balik. Paket pengetahuan yang dipindahkan antar dosen dan mahasiswa mungkin tidak seutuhnya diterima, atau jika masih diterima, maka paket itu telah mengalami distorsi, atau perubahan makna yang tidak sesuai lagi dengan dimaksud dari pemberi pesan. Maksud dari pemberi pesan itu sendiri bisa jadi tidak sama dan sebangun dengan arti pengetahuan itu sendiri.  Menjelaskan duren, disangka rambutan. Mendeskripsikan melon, dikira semangka. Toh, dosen juga belajar dari sumber pengetahuan lain. Ada peluang dosen belajar dengan cara yang salah, atau salah menangkap ilmu pengetahuan yang sebenarnya.

Ya, mengajar adalah proses komunikasi yang tergantung pada media dan cara berkomunikasi, dan salah alat tersebut adalah bahasa, baik bertutur di kelas, maupun yang tertuliskan.

Soal bahasa inilah yang kadang menjadi faktor penghalang dalam perkuliahan. Mestikah dosen bertutur runut dan tertata sesuai kaidah bahasa? Bahkan ketika bahasa tersebut tertuliskan, sistematika atau struktur bahasanya pun  harus lugas dan efektif, serta tidak melanggar kaidah-kaidah yang menjadi keharusan di ranah ilmiah. Okelah, jika lisan dan tulisan itu di forum atau publikasi ilmiah, saya sepakat. Namun, apakah lisan itu dan tulisan itu bisa diterima oleh mahasiswa. Maksudnya, apakah ilmu pengetahuannya dapat ditangkapnya dengan mudah, cepat, dan utuh?

Ketika harus berdiri di kelas, kadang ada sikap skeptis, apakah proses komunikasi antara saya  dan mahasiswa bisa berjalan lancar. Sering ada pendapat bahwa dosen hanya sibuk sendiri dengan pemikiran dan perkataannya, tanpa memperdulikan apakah bahasanya bisa diserap dengan baik oleh mahasiswa. Namun, di sisi lain, ada kalangan yang berpendapat bahwa tidak semua mahasiswa mempunyai kemampuan menyerap bahasa dengan baik dan benar. Jadi salahnya sendiri jika tidak bisa mencerna materi di kelas. Bisa jadi, sikap otoriter masih diperlukan. Begitulah salah satu pendapat yang masih saja ada pengikutnya sampai saat ini. Opsi antara otoriter dan demokratis pun hadir dalam proses komunikasi di kelas.

Kesenjangan komunikasi bisa menelantarkan maksud perkuliahan sebagai salah satu cara memperoleh ilmu pengetahuan. Jika tidak ada terobosan atau pendekatan baru, perkuliahan bisa menjadi ajang salih menyalahkan. Diktat atau bahan ajar pun sering diperdebatkan, bukan hanya substansinya saja, format dan tatabahasanya pun sering digugat. Selalu ada persepsi atau interpretasi lain tentang cara penyajiannya, khususnya simbol-simbol bahasanya. Sifat bahasa yang mungkin saja ambigu atau multi tafsir- baik kata maupun struktur kalimatnya- membuat buku atau diktat bisa relatif sulit dibaca. Mungkin ini tidak berlaku untuk semua orang yang memang mempunyai keragaman kemampuan berbahasa- termasuk mencerna bahasa ketika membaca.

Protagonis atau Antagonis?

Mengajar demi menyenangkan orang lain bukan berarti dosen harus pintar bermain sandiwara, atau menjadi orang lain tanpa sehingga lupa dari tujuan belajar-mengajar itu sendiri. Walaupun menjadi diri sendiri, meski dianggap “antagonis“, bisa saja ilmu pengetahuan malah terpatri di anak didiknya. Di situasi lain, kita sering  mendengar ungkapan “dosen favorit“ karena berhasil menarik hari para mahasiswanya. Jika dosen favorit tersebut juga berhasil menanamkan benih-benih pengetahuan juga di fikiran mahasiswa, dosen itu sungguh luar biasa.

Ya, karakter dosen pun bisa bermacam-macam. Biarkanlah itu apa adanya. Selalu ada cara mahasiswa yang  juga berbeda dalam menyikapi karakter dosen. Cara mengenal, memahami,  dan menyikapi berbagai karakter dosen itu bisa menjadi pengalaman dan pengetahuan juga. Toh ketika terjun ke masyarakat pun kita berhadapan dengan berbagai karakter orang. Jadi, apakah saya ini dosen yang baik atau buruk, biarlah itu menjadi wilayah penilaian mahasiswa dengan segala dinamikanya.

Perlukan bahasa gaul?

Tidak ada salahnya dosen “mengalah“ dan berusaha menyelami bagaimana keinginan dan harapan mahasiswa terhadap cara  dan gaya dosen mengajar. Toh, dosen juga mantan mahasiswa. Harapan dan keinginan itu seolah cermin masa lalu dosen itu sendiri.

Niat mengajar dengan cara sederhana dan “gaul“ belum menjamin itu berhasil. Namun tidak ada salahnya untuk dicoba, siapa tahu itu berhasil. Bahasa hanyalah satu faktor saja dalam proses belajar-mengajar. Mengajari manusia tidaklah mudah. Ada keragaman, bukan fisik,  tapi intrinsik. Bukan sekedar ragawi, namun ada sisi kejiwaan yang selalu penuh misteri dan tidak terduga. Makanya, berdiri di depan kelas, bak memberanikan diri tampil di pentas. Penonton bisa suka, bisa juga tidak.  Itulah resikonya, namun selalu ada teknik untuk mengelola resiko itu, walau tiap orang mungkin berbeda resepnya tentang bagaimana sebaiknya mengajar di kelas.

Mengajar  sejatinya bukan seperti menggurui atau sebatas pemaksaan kepada orang lain untuk belajar. Mengajar adalah teknik membuka hati dan fikiran agar bersedia menerima ilmu dari luar. Dan sumber ilmu itu bukan dominasi atau diklaim sebagai milik dosen semata.

Ketika inisiatif mengajari secara sepihak itu datang dari pengajar karena memang itulah kewajibannya, maka mengajar bisa terjebak pada rutinitas belaka.  Meninggalkan kelas pun tersenyum dan lega. Seolah satu keharusan sudah dilaksanakan. Namun pembelajar- pihak yang punya hak mendapat pelajaran- bisa saja berkata lain:

“Kok mumet ya?“

“Eh, dosen tadi ngomong apa sich?“

“Horeeee, kuliah sudah kelar!“

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun