Kesenjangan komunikasi bisa menelantarkan maksud perkuliahan sebagai salah satu cara memperoleh ilmu pengetahuan. Jika tidak ada terobosan atau pendekatan baru, perkuliahan bisa menjadi ajang salih menyalahkan. Diktat atau bahan ajar pun sering diperdebatkan, bukan hanya substansinya saja, format dan tatabahasanya pun sering digugat. Selalu ada persepsi atau interpretasi lain tentang cara penyajiannya, khususnya simbol-simbol bahasanya. Sifat bahasa yang mungkin saja ambigu atau multi tafsir- baik kata maupun struktur kalimatnya- membuat buku atau diktat bisa relatif sulit dibaca. Mungkin ini tidak berlaku untuk semua orang yang memang mempunyai keragaman kemampuan berbahasa- termasuk mencerna bahasa ketika membaca.
Protagonis atau Antagonis?
Mengajar demi menyenangkan orang lain bukan berarti dosen harus pintar bermain sandiwara, atau menjadi orang lain tanpa sehingga lupa dari tujuan belajar-mengajar itu sendiri. Walaupun menjadi diri sendiri, meski dianggap “antagonis“, bisa saja ilmu pengetahuan malah terpatri di anak didiknya. Di situasi lain, kita sering mendengar ungkapan “dosen favorit“ karena berhasil menarik hari para mahasiswanya. Jika dosen favorit tersebut juga berhasil menanamkan benih-benih pengetahuan juga di fikiran mahasiswa, dosen itu sungguh luar biasa.
Ya, karakter dosen pun bisa bermacam-macam. Biarkanlah itu apa adanya. Selalu ada cara mahasiswa yang juga berbeda dalam menyikapi karakter dosen. Cara mengenal, memahami, dan menyikapi berbagai karakter dosen itu bisa menjadi pengalaman dan pengetahuan juga. Toh ketika terjun ke masyarakat pun kita berhadapan dengan berbagai karakter orang. Jadi, apakah saya ini dosen yang baik atau buruk, biarlah itu menjadi wilayah penilaian mahasiswa dengan segala dinamikanya.
Perlukan bahasa gaul?
Tidak ada salahnya dosen “mengalah“ dan berusaha menyelami bagaimana keinginan dan harapan mahasiswa terhadap cara dan gaya dosen mengajar. Toh, dosen juga mantan mahasiswa. Harapan dan keinginan itu seolah cermin masa lalu dosen itu sendiri.
Niat mengajar dengan cara sederhana dan “gaul“ belum menjamin itu berhasil. Namun tidak ada salahnya untuk dicoba, siapa tahu itu berhasil. Bahasa hanyalah satu faktor saja dalam proses belajar-mengajar. Mengajari manusia tidaklah mudah. Ada keragaman, bukan fisik, tapi intrinsik. Bukan sekedar ragawi, namun ada sisi kejiwaan yang selalu penuh misteri dan tidak terduga. Makanya, berdiri di depan kelas, bak memberanikan diri tampil di pentas. Penonton bisa suka, bisa juga tidak. Itulah resikonya, namun selalu ada teknik untuk mengelola resiko itu, walau tiap orang mungkin berbeda resepnya tentang bagaimana sebaiknya mengajar di kelas.
Mengajar sejatinya bukan seperti menggurui atau sebatas pemaksaan kepada orang lain untuk belajar. Mengajar adalah teknik membuka hati dan fikiran agar bersedia menerima ilmu dari luar. Dan sumber ilmu itu bukan dominasi atau diklaim sebagai milik dosen semata.
Ketika inisiatif mengajari secara sepihak itu datang dari pengajar karena memang itulah kewajibannya, maka mengajar bisa terjebak pada rutinitas belaka. Meninggalkan kelas pun tersenyum dan lega. Seolah satu keharusan sudah dilaksanakan. Namun pembelajar- pihak yang punya hak mendapat pelajaran- bisa saja berkata lain:
“Kok mumet ya?“
“Eh, dosen tadi ngomong apa sich?“