Bercerita tentang mimpi -yang pasti terbayang indah- pasti semua orang bisa. Bermimpi tentang harapan, keinginan, tekad, obsesi, ambisi atau cita-cita yang ingin diraih nanti. Semua tentang mimpi indahnya sebuah perguruan tinggi. Kami pun wakil dari beberapa PT di Indonesia berkumpul untuk berbagi cerita tentang mimpinya masing-masing. Namanya mimpi, semua orang bisa membayangkannya. Ketika bayangan mimpi tersebut dituliskan, tentu ada kesulitan karena imaginasi belum bisa digambarkan secara identik dalam sebuah tulisan, apalagi berupa dokumen resmi bernama Rencana Strategis dengan versi format dan sistematika yang berbeda. Walau itu sulit, tetapi tetap dapat diusahakan, termasuk harus berburu dan berguru ke kota kembang selama tiga hari, mulai hari Rabu kemarin (26/10/2011). Tempatnya di Gedung Sabuga yang dikelola oleh ITB.
[caption id="attachment_138283" align="alignnone" width="639" caption="Pintu masuk kampus, gerbang meraih masa depan cemerlang?"][/caption]
Merajut Mimpi Indah
Saya tidak perlu bercerita tentang bagaimana indahnya mimpi PT di Indonesia. Semuanya pasti nyaman, wah, serba ada, serba bisa, hebat, dan semua hal positif tentang indahnya masa depan yang ingin diraih. Sebuah titik di masa datang yang pasti lebih baik dari hari ini pun akan dicapai dengan penuh perjuangan. Namun, bermimpi itu mesti tahu diri. Seberapa keras dan besarnya perjuangan nanti, sangat tergantung kondisi dan situasi kini. Kemampuan dan kemauan untuk berjuang pun harus terukur, termasuk mengukur kemampuan diri. Lebih tepatnya tahu diri sesuai kondisi internal dan situasi eksternal- yang orang sering menyebutkan melakukan diagnosa atau evaluasi diri. Karena tingkat “ketahudirian“ ini berbeda-beda maka mimpi setiap PT pun bisa berlainan juga.
Siapa yang berhak merangkai mimpi atas nama institusi? Di sinilah masalah utama merenda mimpi. Tidak mudah untuk membuat mimpi yang sama untuk setiap orang dalam sebuah PT. Mimpi bersama serasa mustahil diraih jika setiap orang mengusulkan mimpinya masing-masing di sebuah PT. Untuk menghindari perdebatan tersebut, maka mimpi bersama pun diputuskan pimpinan, atau sekelompok pimpinan yang secara vertikal ada di puncak organisasi. Walaupun ada saluran aspirasi dan komunikasi secara vertikal, indoktrinasi mimpi bisa menjadi bias dan menghadapi resistensi. Akhirnya mimpi pun tidak menjadi modal penyemangat, tekad, inspirasi, atau ambisi bersama. Berjalan ke depan pun tidak serasi, bahkan berlainan arah.
[caption id="attachment_138287" align="alignnone" width="642" caption="Walau beda jurusan atau keahlian, tetap satu tujuan untuk meraih visi"][/caption]
Walaupun sudah ada upaya internalisasi atau deployment, mimpi mungkin ditolak atau diabaikan oleh warga kampus dan pemangku kepentingan lainnya, atau minimal dipertanyakan. Komitmen insan atau organ institusi PT pun susah dipegang ketika kepentingannya tidak terakomodir dalam mimpi. Tidak ada gairah untuk ikut berjuang bersama. Jangankan kerja keras dan kerja sama, kerja bakti pun apalagi. Bisa saja tidak terbentuk formasi kompak layaknya biduk atau wahana bersama yang bergerak serentak menuju satu tujuan di masa datang. Jika kondisinya memang demikian, PT bisa kehilangan arah dan makna perjuangannya. Akhirnya PT pun seperti bahtera yang terombang-ambing badai dan ombak di lautan.
Bermimpi saja sudah mengundang ribut dan debat. Itu terjadi ketika mimpi tersebut dijadikan arah dan ambisi PT di masa datang. Padahal, PT itu berisi sumber daya insan yang relatif mumpuni, minimal dari tingkat pendidikan yang lebih tinggi dari masyarakat kebanyakan. Tidak mudah mencari titik temu atau irisan dari asa atau perspektif dari setiap individual. Selalu ada sudut pandang yang berbeda, selalu hadir pro dan kontra. Menggiring individual agar mempunyai mimpi bersama tidaklah gampang. Kalau toh collective dreaming itu gampang dibentuk, kita pun masih gamang apakah mimpi bersama itu yakin terwujud nanti. Masa depan tidak mudah diprediksi, selalu hadir ketidakpastian. Situasi eksternal yang memperanguhi PT pun selalu berfluktuasi. Namun, semua tetap harus diantisipasi, termasuk membuat skenario terbaik, moderat, atau terburuk merespon perubahan tersebut. Ya, masa depan mungkin seperti lorong gelap bak labirin yang bisa membuat PT tersesat.
[caption id="attachment_138291" align="alignnone" width="639" caption="Masa depan tidak selapang dan selurus koridor di komplek Sabuga Bandung"][/caption]
Bercerita tentang keindahan saja masih sulit dan sering debat, apalagi tentang realitas yang dihadapi PT kini. Jangankan bermimpi indah, hidup di dunia nyata saja tidaklah mudah. Jika dunia nyata hari ini serasa mimpi buruk, maka merubah mimpi buruk tersebut menjadi tugas beras PT di Indonesia. Ukuran kinerja PT- yang juga digunakan sebagai ukuran keberhasilan meraih mimpi- yang paling ideal adalah seberapa besar kontribusi PT dalam merealisasikan mimpi masyarakat Indonesia. Dan itu sederhana saja, yakni menjadi masyarakat yang bahagia. Negara pun berdaya saing tinggi di tengah keterpurukan di lingkungan global. Ini mimpi wajib PT di Indonesia karena PT bukan hanya milik civitas academika saja, namun selayaknya menjadi salah satu ujung tombak atau garda terdepan dalam mengatasi berbagai persoalaan bangsa.
Terjerat Mimpi Buruk Realitas yang terkait dengan kiprah perguruan tinggi sangat memprihatinkan sekaligus mengkhawatirkan. Sering terbersit rasa malu karena saya merupakan bagian dari dunia pendidikan. Praktek plagiarisme di kalangan dosen, biaya pendidikan yang cenderung naik, atau tawuran mahasiswa menjadi masalah krusial yang menunjukkan menurunnya integritas dan jati diri perlu dicari solusinya oleh PT di Indonesia. Pusat peradaban atau pembangungan karakter bangsa seolah semakin menjauh dari fungsi dan peran PT. Peran utamanya sebagai pencetak lulusan pun masih menghadapi kendala dalam hal peningkatan angka partisipasi dan pengangguran. Mahasiswa dan lulusan PT masih tergolong kaum elit atau minoritas di tengah masyarakat Indonesia.
[caption id="attachment_138293" align="alignnone" width="643" caption="Warga kampus yang masih minoritas ketika angka partisipasi PT masih rendah"][/caption]
Angka partisipasi PT pun masih rendah ketika pengangguran lulusan PT tetap mengkhawatirkan. Peran PT mencetak lulusan diploma, sarjana, dan pascasarjana memang penting jika melihat angka partisipasi yang masih rendah. Menurut BPS per Agustus 2010, jumlah penduduk yang masuk ke perguruan tinggi hanya 11,01 persen. Namun, ketika mencetak lulusan, tantangan PT berikutnya adalah bagaimana lulusan tersebut terserap dunia kerja atau dunia industri. Di sinilah mimpi buruk pun masih membayangi. Menurut data BPS, pengangguran di indonesia tercatat sebesar 7,14 persen dari total angkatan kerja, atau sebanyak 8,3 juta orang. Dari jumlah penganggur tersebut, 443222 orang lulusan Diploma dan 710128 orang lulusan Sarjana.
[caption id="attachment_138296" align="alignnone" width="643" caption="Siap terjun ke masyarakat, semoga mengurangi persentase lulusan PT yang menganggur"][/caption]
Fakta dan data tersebut menjadi mimpi buruk yang perlu dienyahkan terlebih dahulu, daripada merenda mimpi yang baru. Ketika visi dan misi dibuat oleh PT, bermimpilah untuk menghilangkan semua masalah-masalah tersebut. Bermimpi boleh-boleh saja, namun jangan sampai bangun kesiangan ketika masyarakat dan lingkungan di sekitar PT masih harus jatuh-bangun dan kebingungan dalam hidup dan kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H