Mohon tunggu...
Budi Hermana
Budi Hermana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keluarga/Kampus/Ekonomi ... kadang sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Nature

Angka-Angka pun harus Hijau

22 April 2011   15:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:31 1294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Bumi menjadi salah satu kepedulian yang mendunia. Semua setuju dunia ini harus "hijau", sebuah warna yang identik dengan keindahan dari rimbunnya pepohonan yang semakin langka di lingkungan kita. Upaya menghijaukan dunia juga menjadi daya tarik para peneliti dan praktisi di dunia pendidikan. Colorado State University sudah mengeluarkan inisiatif baru, yang mereka sebut sebagai "Green Research", University of Minnesota Morris pun sudah mengkampanyekan "Green Education". Catatan ringan hari ini menyoal Green Accounting, sebuah definisi akuntansi yang diilhami kepedulian masyarakat dunia terhadap bumi kita yang semakin bersedih karena sampah yang bertebar dimana-mana, semakin menangis karena mencairnya gunung es di kutub sebagai dampak dari kenaikan suhu yang dikenal dengan pemanasan global. Apakah degradasi lingkungan tersebut bisa direpresentasikan dengan angka-angka oleh perusahaan, yang notabene merupakan salah satu produsen sampah atau berpotensi sebagai perusak lingkungan. Adakah angka-angka yang dapat mencatat seberapa besar kepedulian (atau ketidakpedulian) perusahaan terhadap faktor lingkungan?  Angka-angka itulah yang dimaksud dengan green accounting. "Green accounting is a type of accounting that attempts to factor environmental costs into the financial results of operations", itulah kutipan pengertian Green Accounting dari Wikipedia. Green Accounting didasari oleh konsep externalities, sebuah konsep atau teori ekonomi yang mengkhususkan pada telaah mengenai dampak aktivitas ekonomi yang seharusnya dihitung dan dibukukan dalam catatan keuangan- baik keuangan sebuah perusahaan maupun di tingkat pemerintahan.  Misalnya, ketika perusahaan rokok memperoleh keuntungan yang menggiurkan dari masyarakat penikmat rokok, yang notabene sebagai pihak yang terancam jiwa dan kesehatannya, apakah perusahaan tersebut tidak perlu peduli dengan dampak negatif yang ditanggung oleh konsumen? Wajarkah jika perusahaan tersebut dikenakan biaya untuk pemeliharaan kesehatan masyarakat, dan angka tersebut harus dibukukan dalam catatan keuangannya?  Contoh lainnya, ketika perusahan HPH dengan konsensi hutan seluas ratusan ribu hektar berpesta pora dibalik penggundulan hutan, haruskah mereke bertanggung jawab juga dengan menyediakan dana untuk pemulihan atau konservasi hutan yang semakin menciut di Indonesia? Wajar jika pemerintah sudah menerapkan cukai rokok yang tinggi- walupun akhirnya dibebankan ke konsumen pembeli rokok. Wajar juga jika pemerintah mengharuskan pengusaha HPH menyediakan dana khusus reboisasi sebagai upaya mengobati derita hutan kita. Pemerintah pun harus mempunyai keberanian untuk mengenakan pajak kendaraan yang lebih tinggi kepada perusahaan tranportasi yang masih mengoperasikan mobil lama yang  berkeliaran di jalan raya dan  menjadi biang polusi udara yang semakin menyesakan dada. Peran pemerintah seperti itulah yang merupakan contoh penerapan green accounting untuk mencegah atau mengurangi eksternatilas negatif dari produsen atau perusahaan yang disinyalir sebagai perusak lingkungan. Itulah contoh kongkrit bagaimana upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk membuat angka-angka menjadi hijau. Namun apakah itu sudah cukup? Sudahkah upaya tersebut memberikan efek jera terhadap perusahaan atau pelaku yang menjadi biang kerok pengrusakan lingkungan? Kita perlu merasa miris dan pesimis jika melihat laporan pencapaian target Millenium Developments Goals untuk wilayah Asia-Pasifik yang dipublikasikan oleh PBB pada tahun 2010. Upaya Indonesia dikatakan belumlah cukup untuk pemulihan hutan yang terlanjur dieksploitasi habis-habisan serta pencegahan emisi CO2. Tuduhan serius dari PBB tersebut diwujudkan dalam bentuk pemberian predikat "off-track"no progress/regressing", sebuah angka merah yang paling buruk dari 4 predikat yang diberikan PBB. Predikat itu menunjukkan bahwa Indonesia mengalami stagnasi bahkan kemunduran dalam upaya pemulihan hutan dan pengurnagan emisi CO2. Atau, juga bisa diartikan angka-angka belum cukup hijau menghiasi laporan keuangan perusahaan dan PDB (Product Domestic Brutto)  di Indonesia. Jadi Green Accounting dan Green PDB perlu menjadi prioritas utama buat kita semua.  Mari kita hijaukan bersama angka-angka tersebut, sebuah bentuk dan ukuran kepedulian lain terhadap bumi yang menjadi rumah kita bersama ini.  Sebagai penutup cacatan ringan ini, saya mengharapkan Indonesia segera mengimplementasikan Corporate Environmental Reponsibility (CER) yang tegas dan jelas.   CER merupakan turunan dari CSR (Corporate Social Reponsibity) yang lebih dikhususkan kepada upaya dan kepedulian perusahaan dalam menangani masalah kerusakan lingkungan. Misalnya, perusahaan yang disinyalir merusak lingkungan diwajibkan melaksanakan program CER, dan itu tertuang dalam angka-angka dalam akun atau rekening khusus di dalam laporan keuangannya yang dipublikasikan secara transparan dan dipertanggung jawabkan ke publik. Semoga harapan ini bukan sekedar mimpi agar kita tidak mengalami mimpi buruk tentang bumi ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun