Mohon tunggu...
Budi Hermana
Budi Hermana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keluarga/Kampus/Ekonomi ... kadang sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Zebra Cross yang Sia-Sia

18 Juli 2011   07:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:35 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Zebra cross bukan makhluk aneh di Kompasiana. Dengan bantuan Google, setidaknya sudah ada beberapa tulisan di sini. Dengan dalih sebagai upaya untuk menggali kembali tulisan di masa lalu- juga agar mengingatkan ke diri sendiri bahwa ide tulisan selalu berulang-ulang- kita lihat judul-judul tulisan tentang zebra cross di Kompasiana. Kita urut kronologis tulisan-tulisan itu.

Zebra Cross, tanggal 3/11/2008
Zebra Cross, tanggal 28/9/2009
Zebra Cross Lagi, tanggal 28/9/2009
Zebra Cross Tak Ada Gunanya, tanggal 6/9/2010

Zebra Jalanan, tanggal 29/9/2010

Mengapa Malas Mengerem di Zebra Cross?, tanggal 21/3/2011
Jalan di Zebra Cross Ternyata Memperpanjang Usia, tanggal 5/6/2011


Ternyata tulisan tentang zebra cross seusia dengan Kompasiana. Sudah banyak kompasianer yang terinspirasi dengan zebra cross ini. Ya, tidak aneh jika substansi tulisan tentang zebra cross tersebut sama dan sebangun isinya.Inspirasi yang berbuah persepsi negatif. Berteriak dan ngedumel.  Zebra cross di kota besar dianggap hanya sebagai hiasan warna hitam dan putih saja. Melintang kaku di jalan raya.

Mengapa persepsi negati tersebut belum berubah juga sampai kini?

*****

Seperti biasa, hari ini naik ojek dan angkot lagi. Singkat kata, turun di Jalan Margonda- Depok, tepat di depan gerbang kampus. Seperti biasa juga, tidak ada trotoar atau pedestrian yang lebar dan nyaman dilalui. Tersingkir oleh angkot yang berhenti di pinggir jalan, berburu penumpang yang juga terburu-buru.  Atau, mengalah ke mobil pribadi yang lagi parkir di pinggir jalan. Seperempat lebar jalan pun sudah tersita mereka. Sepanjang jalan Margonda terlihat gersang. Relatif jarang ada pohon pelindung, sekedar tempat berteduh pejalan kaki. Menunggu lalu lintas agak sepi, biar bisa menyeberang. Udara semakin menyengat. Depok sudah ketularan Jakarta. Berjalan di jalan raya seolah berjalan di penggorengan. Padahal, sekitar duapuluhan tahun lalu ketika pertama kali menginjak tepi Jalan Margonda, Depok masih terasa lengang dan lapang, dan masih relatif dingin juga. Gara-gara modernisasi, Depok telah menjelma jadi kota penyangga ibukota yang sama-sama tidak ramahnya ke para pejalan kaki.

Namun, di jam sibuk ini, lalu-lalang kendaraan seolah tiada henti.  Semakin lapang jalan di depan, semakin kencang kendaraan. Bagaimana bisa menyebrang jalan kalau begitu. Percuma ada zebra cross juga. Melintas setengah perjalanan pun susah. Kedua sisi jalan sama sibuknya.  Padahal rute penyebrangan pendek saja. Setelah menengok ke kanan, berjalan enam meteran sudah sampai di batas tengah jalan. Berhenti di pembatas jalan selebar setengah meteran. Berdiri sambil mengumpulkan keberanian lagi. Lalu menengok ke kiri, melangkah lagi ke sisi jalan berikutnya. Seharusnya dapat sampai di seberang jalan dengan cepat.  Namun, perlu keberanian campur deg-degan untuk melangkah rute sependek itu.

Menyeberang jalan di kota besar adalah perjuangan. Laju kendaraan- apalagi motor- begitu kencang. Mereka seolah memburu atau diburu oleh waktu. Suara knalpot yang memekakkan telinga sudah menjadi biasa. Polusi suara pun membaur dengan polusi udara yang berhamburan dari knalpot angkot. Tidak aneh, semakin banyak orang-orang yang memakai masker di jalanan. Mungkin mereka mulai khawatir dengan polusi asap. Atau, mulut mereka ditutup masker karena percuma juga berteriak untuk meminta belas kasihan pengendara. Memohon belas kasihan agar mereka berhenti sementara. Sekedar diberi kesempatan sedikit saja agar dapat menyeberang jalan. Jika memaksa menyeberang- walau sudah  mengangkat tangan sedari tadi- tak jarang malah pejalan kaki mendapat plototan dan umpatan. Tidak jelas umpatannya apa, toh muka mereka tertutup kaca helm. Setelah itu, mereka kabur lagi, melaju kencang ke arah Jakarta.

Kini, tinggal satu harapan, walau asa itu terkesan patah arang. Semoga jalan di depan kampusku macet total. Bukan apa-apa, biar mudah menyebrang saja. Mengharap kerelaan pengemudi untuk melambat dan memberikan jalan terasa sia-sia. Perlu waktu lama berjumpa pengendara yang santun di jalanan. Zebra-cross pun semakin kusam dengan  wana putih-hitamnya yang semakin memudar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun