Tulisan ini hanya upaya kecil untuk mengajak insan pendidikan- termasuk ajakan ke diri sendiri- untuk tidak ikut mencicipi kopi dan pasta yang bisa dikategorikan sebagai barang haram. Masih ada harapan dan optimisme untuk mengurangi konsumsi kopi dan pasta. Masih ada rekan-rekan pendidik yang ikhlas mengabdi tanpa harus mengorbankan integritas. Mari kita bergandengan tangan untuk mengatakan tidak kepada kopi dan pasta tanpa etika, terutama kepada para mahasiswa yang menjadi calon gerenerasi penerus bangsa. Janganlah mereka mengikuti pepatah, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Contoh buruk bukan untuk ditiru karena sangsi akademis dan sangsi sosialnya teramat pedih. Sekali lancung dalam ujian, hilanglah kepercayaan. Ambilah hikmah dibalik godaan maut kopi dan pasta ini. Ini bukan obrolan tentang secangkir kopi hitam yang nikmat diseruput. Juga bukan sepiring pasta yang lezat disantap. "Kopi" ini merupakan padanan dari copy, sedangkan "pasta" dari paste. Padanan kata tersebut tercantum dalam Panduan Pembakuan Istilah Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2001 tentang Penggunaan Komputer dengan Aplikasi Komputer Berbahasa Indonesia. Generasi sekarang sering menyebutnya dengan copas. Mari kita sejenak mengupas kopi dan pasta di dunia pendidikan. Kopi dan pasta ini pada awalnya merupakan fitur layanan dari aplikasi pengolah dokumen, gambar, data, atau aplikasi lainnya yang mengurangi penulisan atau pembuatan ulang sebuah obyek di perangkat lunak komputer. Dengan bermodalkan tetikus (mouse) dan jari tangan, sebuah obyek pun begitu mudahnya berpindah-pindah dari satu halaman ke halaman lain dalam satu dokumen, atau, dari dokumen yang satu ke dokumen yang lain. Fitur yang tadinya untuk memberikan kemudahan dan kecepatan dalam pengolahan dokumen, ternyata disalahgunakan dalam pembuatan karya ilmiah di dunia pendidikan. Sebuah karya yang diklaim sebagai milik sendiri ternyata isinya berasal dari karya orang lain. Persoalannya adalah, ketika kutip sana, kutip sini, cuplik sana, cuplik sini tidak disertai dengan etika atau kepatutan. Penikmat kopi dan pasta tidak menghormati betapa susah payahnya orang lain yang membuat karya- yang akhirnya disalin seenaknya. Kopi dan pasta seperti itu akhirnya identik dengan menjiplak, atau lebih dikenal sebagai plagiat. Kampus yang Tercemar Dunia pendidikan termasuk yang terkena imbas kehadiran internet. Peluang terbukanya pengetahuan di luar kelas menjadi salah satu daya tarik dunia maya. Internet telah mentrasformasi dan mereformasi dunia pendidikan. Dulu, sumber pengetahuan hanya mengandalkan para pendidik yang cuap-cuap di depan kelas, atau tumpukan textbook atau tulisan lainnya yang tertulis di kertas-kertas. Sekarang, sumber pengetahuan tersaji dalam bentuk digital goods. E-book, e-journal, paper repository, dan berbagai media electronik lainnya sudah merambah dan menjamah dunia pendidikan. Berburu pengetahuan pun menjadi begitu mudah. Pembuatan tugas kuliah atau mencari rujukan begitu gampang saat ini. Budaya kopi dan pasta pun terlahir dan terus hadir di era digital. Namun, kemudahan itu seperti pisau bermata dua. Laksana dua sisi mata uang. Sisi positif dan sisi negatif. Ada baik dan ada buruknya juga. Aspek etika pun menjadi kajian dan perhatian bersama ketika reproduksi pengetahuan dalam bentuk tulisan bersinggungan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI).Kita bisa terjerumus dan tergoda dengan dengan karya orang lain yang begitu memikat. Sadar atau tidak sadar, kita bisa membuat sebuah tulisan yang diinspirasi oleh sumber pengetahuan lain yang dapat diakses dengan mudah di internet. Mengutip keseluruhan atau sebagian dari tulisan tersebut menjadi modus reproduksi karya yang diklaim menjadi milik sendiri. Tuduhan dan praktek plagiat pun terjadi di dunia pendidikan. Definisi plagiat pun harus diformulasi ulang dengan kehadiran internet. Termasuk kesepakatan tentang etika dalam membuat rujukan dalam sebuah penulisan ilmiah. Sebagai bahan pembelajaran- walaupun terasa pahit dan getir, saya harus mengingat kembali beberapa praktek plagiat di perguruan tinggi yang mencuat ke permukaan. Beritanya terpapar di media arus utama- baik cetak, elektronik, atau di dunia maya. Publik pun dibuat gempar dan bertanya-tanya dengan pemberitaan praktek plagiat tersebut.  Pertama, seorang pendidik bergelar Doktor di sebuah PTN ternama melakukan plagiat. Karya tulisnya yang dipublikasikan di The 11th International Workshop on Database and Expert System Applications, ternyata merupakan jiplakan dari karya Siyka Zlatanova. Disertasi dan gelar doktornya akhirnya dicabut. Tiga pembimbingnya- yang ikut terpampang sebagai penulis- mendapat teguran tertulis. Kedua, seorang Guru Besar di sebuah PTS harus dipermalukan di ranah publik ketika tulisannya di sebuah harian nasional berbahasa asing- The Jakarta Post- ternyata merupakan contekan dari artikel dari penulis Australia yang dipublikasikan di Australian Journal of Politics and History. Akhirnya, Profesor tersebut mengundurkan diri dari institutisnya. Ketiga, beberapa kandidat guru besar pun terdeteksi melakukan plagiat dalam karya tulis yang diajukan untuk penghitungan angka kredit yang merupakan tiket untuk meraih jabatan guru besar. Treakhir, di kalangan mahasiswa, praktek jual-beli skripsi dan thesis pun terekspose. Berita itu menyebar di milis-milis dan menjadi bahan pergunjingan di kampus-kampus. Sebenarnya itu hanya contoh yang tergolong berat dan menjadi perhatian publik. Bisa jadi itu hanya sebagian kecil yang menguak ke permukaan, bak fenomena gunung es. Dunia pendidikan pun menjadi sorotan. Kampus seolah menjadi sarang yang sudah tercemar dengan budaya kopi dan pasta. Plagiator pun bersembunyi di balik megahnya menara gading. Sangat ironis karena dunia perguruan tinggi justru diharapkan untuk mencetak SDM yang unggul, termasuk unggul dalam menjunjung kebenaran dan kejujuran. Walaupun diberi kebebasan akademik dan otonomi keilmuan, kampus tetap harus mengedepankan integritas dan moralitas. Duh, sungguh menyeramkan. Kadang tidak tega untuk membahas hal ini. Apalagi bagi orang-orang yang justru menjadi bagian dari dunia pendidikan. Sangat pahit dan memilukan memang. Namun, katakanlah kebenaran itu meskipun terasa pahit. Karena kepahitan ini, kita bisa belajar, mengambil hikmah, dan selalu saling mengingatkan ketika seorang teman tergoda untuk mencicip kopi dan pasta yang memabukkan ini. Harapannya, semoga pencemaran di dunia kampus tersebut tidak semakin parah. Ragam Kopi dan Pasta Plagiat yang paling kurang ajar adalah mengakui karya orang lain menjadi karya sendiri. Hanya merubah nama penyusunnya saja. Tulisannya pun 100 persen dibuat oleh orang lain. Tidak ada gagasan atau pemikiran orisinal dari penjiplak dalam tulisan itu, kecuali menulis namanya sendiri. Orang menyebutnya inilah plagiator sejati yang tidak mempedulikan hak milik orang lain. Plagiator Sejati. Julukan yang lebih kasar, plagiator seperti itu dianggap sebagai pencuri, maling, bahkan penipu atau membuat kebohongan publik ketika tulisannya terlanjur dinikmati oleh orang lain. Pujian semu pun berakhir dengan tragis. Bahkan sangsi pun siap menghadang seolah menelanjangi hidup dan kehidupannya. Lalu apa definisi plagiat versi dunia pendidikan tinggi? Saya kutip definisi plagiat menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi.
"Plagiat adalah perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan/atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai"
Jenis plagiat lainnya adalah mengambil sebagian kutipan orang lain, berupa sebuah kalimat atau pernyatan penting, atau data-data penting dalam tulisan. Namun sang pengutip tidak menyebutkan sumbernya. Memang ada batas yang samar tentang pernyataan penting dengan pernyataan atau fakta yang sudah dianggap milik umum- atau orang sering menyebutnya sebagai public domain. Misalnya, ketika tulisan kita mengutip secara lengkap sila-sila dalam Pancasila, apakah kita tetap wajib menyebutkan siapa penemu Pancasila? Atau ketika kita menyebutkan bahwa Indonesia terdiri dari 18 ribu pulau, perlukan merujuk nama lembaga yang mengatakan itu? Atau ketika kita menggunakan kata "jadul" atau "lebay", perlukan kita menuliskan siapa yang pertama kali menemukan istilah tersebut? Begitulah samar-samarnya batas kutipan penting yang dianggap milik pribadi dengan pernyataan atau kenyataan yang sudah menjadi milik publik. Memang perlu upaya khusus untuk membuktikan ragam plagiat, termasuk memilah atau membedakan berbagai varian-nya di lapangan. Bentuk ketidakpatutan lainnya adalah melakukan reproduksi atau daur ulang terhadap tulisan sendiri sebelumnya, yang disebar ke berbagai media informasi atau publikasi. Memang benar milik sendiri, namun isinya relatif sama saja. Tidak ada informasi bahwa tulisan tersebut terkait dengan tulisan sebelumnya, atau menggunakan sumber data yang sama. Praktek tersebut disebut self-plagiarism. Kesalahan semakin bertambah jika beberapa publikasi karya ilmiah tersebut diajukan dalam pengurusan kepangkatan, walaupun materinya relatif sama. Praktek ini biasanya didorong dengan mengejar target angka kredit, namun bahan atau data riset terbatas. Karya tulis berikutnya seolah bentuk daur ulang saja. Tidak ada perpektif baru atau teknik analisis yang berbeda terhadap data lama tersebut. Beberapa jurnal international pun selalu mengingatkan tentang self-plagiarism ini karena berpotensi terjadinya publikasi ganda, walau keduanya milik sendiri. Modus ini boleh dikatakan sebagai plagiat dengan kadar kesalahan yang lebih kecil. Bahkan ada perdebatan tentang kadar pelanggaran etikanya. Dan ini nanti terkait dengan perbedaan sangsinya. Namun biar aman, praktek tersebut tetap harus dihindari juga. Terlepas dari batas-batas milik pribadi dan milik umum, mengutip semua atau sebagian kecil saja, ketika kita mengutip teori atau fakta penting yang menjadi ide atau topik utama dalam sebuah tulisan, maka sumber rujukan wajib disebutkan. Itulah bentuk pengakuan dan pengormatan terhadap sumber rujukan yang telah memberikan pijakan kepada para penulis berikutnya. Jangan sampe keteledoran ini- apalagi jika ada faktor kesengajaan- kita bisa terkena sangsi- mulai sangsi ringan sampai ke sangsi berat, bahkan masuk penjara. Sangsi dan Pencegahan Praktek plagiat pun mengenal derajat kesalahan. Seolah ada pemilahan dosa besar dan dosa kecil. Apapun tingkat kesalahannya, praktek plagiat tetaplah sebuah pelanggaran etika ilmiah atau kepatutan dalam dunia tulis-menulis di perguruan tinggi. Wajib dihindari dan pantas mendapatkan sangsi yang setimpal. Namun bagaimana kita melakukan pembuktian dan penelusuran yang bisa menyimpulkan bahwa sebuah tulisan merupakan hasil plagiat? Seperti pengusutan tindak pidana, pada awalnya bisa saja ada mahasiswa atau dosen yang menjadi tersangka plagiat. Perlu "tim pencari fakta" atau "tim independen" yang harus mencari bukti otentik, termasuk rekomendasi sangsi atau hukuman yang setimpal atau proporsional, baik berat atau ringan. Di dunia pendidikan tinggi Indonesia, ada sebuah peraturan khusus tentang perlakuan dan tata cara pemberian sangsi terhadap prkatek perguruan tinggi. Regulasi tersebut adalah Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi Nomor 17 Tahun 2010. Relatif baru, namun regulasi tersebut sudah cukup membuat jera dan telah memakan korban. Pengurusan kepangkatan dosen pun sudah harus mengindahkan peraturan menteri tersebut. Namun sejatinya, tanpa peraturan itu pun, para pendidik harus bersandar pada hati nurani bahwa plagiat tetaplah perbuatan yang tidak terpuji, layak mendapatkan sangsi. Jika tim pencari fakta berhasil mengungkap dan membuktikan bahwa telah terjadi praktek plagiat maka sangsi pun siap menanti buat para terdakwa plagiat. Sangsinya pun bervariasi mulai sangsi ringan berupa teguran lisan sampai sangsi kurungan penjara dan denda. Plagiat yang tergolong berat bisa mendapat sangsi berupa penjara selama 2 tahun dan denda maksimal sebesar Rp 200 juta. Sangsi tersebut tertuang dalam Peraturan Mendiknas Nomor 17 tahun 2010 dan UU Sisdiknas. Sungguh berat dan memalukan jika sangsi tersebut dikenakan kepada kita gara-gara godaan plagiarism. Sangsi tersebut menjadi tindakan represif dari pemerintah untuk memberikan efek jera kepada para pelaku plagiat. Selain tindakan kuratif tersebut, ada beberapa tindakan preventif yang diharapkan dapat mencegah atau mendeteksi praktek plagiat. Setiap dosen wajib membuat pakta integritas yang berisi pernyataan bahwa karyanya bukan hasil plagiat dan bersedia menerima sangsi jika terbukti plagiat. Pernyataan tertulis di atas meterai ini menjadi persyaratan untuk setiap karya ilmiah yang dihasilkan para dosen. Setiap karya ilmiah yang dihasilkan oleh dosen dan mahasiswa harus ditelaah secara seksama untuk menjaga keaslian karyanya. Setiap perguruan tinggi pun harus membuat prosedur baku untuk mencegah dan menanggulangi praktek plagiat. Langkah preventif lainnya adalah kewajiban untuk mengunggah karya ilmiah ke media elektronik berupa paper repository atau e-journal. Upaya terakhir tersebut tergolong efektif untuk mendeteksi praktek plagiat yaitu melalui penelusuran secara elektronik di dunia maya. Dengan semakin berkembangnya masyarakat informasi di Indonesia, masyarakat bisa ikut andil dalam menemukan praktek plagiat. Bahkan, bukan sebatas menjadi saksi saja, masyarakat bisa menjadi hakim yang ikut menjatuhkan hukuman sosial. Dari semua tindakan tersebut, filter yang paling ampuh adalah hati sanubari. Memang klise, tapi kita sendirilah yang paling mengetahui apakah kita sudah melakukan plagiat atau tidak, walaupun orang lain mungkin tidak mengetahuinya. Dipermalukan dan kehilangan kepercayaan menjadi sangsi sosial yang relatif berat. Semoga sangsi tersebut mendorong proses pembinaan dan pemulihan martabat para insan di dunia pendidikan. Semoga sangsi itu tidak dilandasi dengan kebencian tiada tara. Sangsi yang disemangati rasa cinta dan kepedulian untuk menjernihkan dunia pendidikan dari polusi kopi dan pasta tidak beretika. Toh, pada dasarnya manusia itu bisa berubah. Salah dan khilaf di dunia akademis semoga tidak menjadi vonis mematikan karena manusia itu tetap harus menjalani hidup dan kehidupan. Siapa tahu orang yang terkena sangsi tersebut justru menjadi orang yang lebih baik di kemudian hari. Amin.
*****
Lalu, bagaimana kita bisa menikmati kopi dan pasta tanpa harus takut dengan sangsi? Adakah kopi dan pasta yang manis dan halal?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H