Dunia perbankan sebenarnya akrab dengan bad debt atau kredit macet, walaupun mereka selalu berusaha untuk menghindari atau meniadakannya. Istilah penghapusan kredit macet pun ada di bidang akuntansi perbankan. Hebat, bombastis, dan fantastis jika sebuah bank tidak mempunyai kredit macet sama sekali. BI pasti akan tersenyum lebar jika persentase kredit macet di perbankan nasional tidak ada atau 0 persen. Namun itu sangat sulit terjadi, kalau tidak bisa dikatakan mimpi. Sehebat-hebatnya para bankir dalam mengelola dana bank, kredit macet selalu muncul. Peluang kemunculan kredit macet selalu ada, namun jangan sampai persentase kredit macet tersebut semakin membesar terhadap total kredit atau total aset perbankan. Persentase kredit macet itulah yang selalu dimonitor oleh Bank Indonesia dari waktu ke waktu. Fungsi intermediasi bank terlihat dari kemampuannya dalam menyalurkan kredit ke masyarakat atau sektor riil. Kredit tersebut merupakan jenis aset bank yang paling besar, itu pun kalau perbankan getol menyalurkan kredit. Bank pun sangat mengharapkan kredit tersebut berkualitas- dalam arti, statusnya lancar-lancar saja dan memberikan keuntungan kepada pihak bank. Dengan demikian, persentase kredit macet merupakan salah satu ukuran kualitas aset perbankan. BI pun memasukkan "kualitas aset" sebagai komponen Penilaian dalam CAMELS (Capital, Asset Quality, Management, Earning Power, Liquidity, Sensitivity to Market Risk)- sebuah sistem penilaian kesehatan bank yang diterapkan oleh Bank Indonesia. Bank pun akan cemberut jika persentase kredit macetnya cenderung meningkat. Menurut kamus Bank Indonesia kredit macet adalah kredit yang (a) tidak memenuhi kriteria lancar, kurang lancar dan diragukan dan/atau, (b) memenuhi kriteria diragukan, tetapi dalam jangka waktu 21 bulan sejak digolongkan diragukan belum ada pelunasan atau usaha penyelamatan kredit atau, (c) penyelesaiannya telah diserahkan kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang Negara (BUPN) atau telah diajukan penggantian ganti rugi kepada perusahaan asuransi kredit. Bagaimana cara mengklasifikasikan kualitas kredit tersebut sudah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) tersendiri, termasuk cara penyelemanatan kredit macet. Sebagai catatan, sepengatahuan saya, BI tidak pernah merekomendasikan bahwa salah satu teknik penyelamatan kredit adalah dengan menyewa "Debt Collector"- yang akhirnya menimbulkan malapetaka yang menghebohkan dengan kematian seorang nasabah bank. Nanti kita ngobrol tersendiri tentang penyelematan kredit yang sesuai peraturan dan regulasi dari Bank Indonesia. Kita kembali ke topik bad debt. Walaupun bad debt adalah hal biasa. Namun kita sangat prihatin dan kecewa, ketika sebuah bank yang berusaha mati-matian menghindari kredit macet, malah menyebabkan kematian nasabah yang notabene merupakan penopang atau penyokong utama dalam bisnis perbankan. Sebuah pelajaran berharga yang sangat mahal. Semoga tidak pernah terjadi lagi di kemudian hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H