Kebakaran, apalagi menimpa rumah seorang tersangka dalam kasus yang melibatkan institusi pengawal kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) seperti Polri,pastilah akan membuat orang lain melupakan bahwa api bisa melalap apa saja. Seolah hidup ini berada dalam dunia fiksi ciptaan Agatha Christie, orang lantas menebak telah terjadi konspirasi. Entah konspirasi apa?
Begitu juga Mpok Nur, pedagang sayur-mayur, ketika pagi tadi ia berhenti di depan rumah. Diladeni istri saya, pagi itu Mpok Nur terlihat sangat cerdas itu.
Belakangan, tingkat kecerdasan Mpok Nur memang bertambah, justru setelah suaminya yang diduga pembegal ditembak seorang polisi pada mata kaki hingga cacat. “Waktu dibawa dari rumah, suami aku sudah gemetar dan berteriak. Dia sehat-sehat saja, tapi besoknya polisi memberi tahu dia di rumah sakit karena mencoba lari,” kata Mpok Nur beberapa bulan lalu ketika suaminya dirawat di rumah sakit.
Sejak itulah, sejak suaminya harus berjalan pincang, Mpok Nur jadi lebih cerdas apalagi kalau berkaitan dengan nasib polisi. “Semua polisi sama. Wong tidur aja bikin susah,” kata dia.
Sebelum berangkat jualan sayur-mayur sambil mengendarai sepeda onta yang membuat tuuhnya terlonjak-lonjak setiap kali melintasi polisi tidur di kompleks-kompleks perumahan, Mpok Nur menyempatkan memirsa televise. Biasanya ia tidak tertarik. Tapi pagi itu, ia putuskan memirsa sampai tuntas berita tentang kebakaran rumah Brigjend Edmond Ilyas di Bandung.
“Cuma kebakaran rumah, banyak perwira polisi di lokasi kebakaran. Waktu kebakaran Pasar Kebayoran Lama, jangankan perwira polisi, orang berseragam polisi saja nggak kelihatan,” katanya.
“Polisi tidur kan ada di Pasar Kebayoran Lama waktu kebakaran itu,” kata istri saya, menimpalinya.
Saya senyum-senyum mendengar gossip mereka. Saya paham, istri saya meladeninya karena cara itu efektif untuk mengorting harga. Biasanya, Mpok Nur sangat senang kalau diladeni bicara, dan rasa senang itu diwujudkan dengan memberi diskon.
Lalu, mulai Mpok Nur membuat penafsiran seolah tokoh detektif Poirot-nya Agatha Christie. “Aku pikir, Bu, kebakaran itu disengaja. Orang kadung benci sama jenderal polisi itu,” katanya.
“Kenapa bilang begitu?” Terdengar suara ibu lain, tetangga sebelah rumah, yang baru datang mau membeli cabai.
“Bagaimana nggak. Coba deh bayangin. Kan Edmond Ilyas itu sudah lama jadi Kapolda Lampung, tapi kok rumah dinasnya di Bandung nggak ditinggalin. Apa dia kira rumah dinas itu milik pribadi.” Mpok Nur makin semangat. “Orang yang mau menempati rumah itu kan jadi batal. Syukurlah terbakar jadi ketahuan deh rumah itu belum ditinggalkannya.”
“Mpok tahu dari mana?” tanya tetangga.
Istri saya sudah pamit karena mau memasak. Tapi Mpok Nur dan tetangga masih ngegosip di depan rumah.
“Ya, tahulah, Bu. Polisi dimana-mana sama.” Mpok Nur tambah semangat. “Kata Gus Dur, Bu, di Indonesia ini cuma ada tiga polisi jujur: polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng (mantan Kapolri). Tapi, polisi tidur di kompleks ini sering nyusahin juga,” katanya.
Tidak bisa tidak, saya tergelak. Istri saya ikut tertawa. “Biarkan saja, Bang, dia masih benci sama polisi setelah suaminya ditembak,” kata istri saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H