Mohon tunggu...
Esti Budihabsari
Esti Budihabsari Mohon Tunggu... -

i'm an editor, translator, and most importantly a book lover

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Alone At Last

24 April 2013   09:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:41 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Brrmm...”
Terdengar suara motor berhenti di depan gerbang. Sambil menggendong si kecil Malika, Arum mengintip dari balik tirai jendela ruang tamu. Dari arah kamar, si kembar¸ Dana dan Dani menghambur keluar sambil berteriak “Ayah! Ayah!” Dan berebutan berusaha membuka pintu.
“Sebentar! Sebentar!” cegah Arum. “Jangan berebutan, nanti kebentur. Sini biar Mama yang bukain.”
Begitu pintu terbuka, kedua bocah lelaki itu menghambur mendekat ke motor Ayah yang sedang masuk gerbang. “Awas, awas, Ayah mau masuk!” teriak Arum lagi mencoba menahan kedua jagoan ciliknya. Dana dan Dani, melompat-lompat tak sabar di teras, menunggu ayah mereka memarkir motor dan mengunci gerbang.
“Lho! Jam segini kok belum tidur,” kata Pras kepada Dana dan Dani, sambil membuka jas hujan dan melipatnya.Dia tersenyum pada Arum yang berdiri di belakang si kembar.
“Ini Malika juga belum tidur,” Arum mencoba menemukan secuil senyum untuk suaminya.
“Lho, Malika anget, Ma,” kata Pras setelah mencium si bayi.
“Iya, lagi tumbuh gigi. Ini tadi si Bibik ijin setengah hari. Malika rewel terus, jadi ga bisa nidurin si kembar deh. Ayah kok pulangnya malam?” Arum mencoba menahan diri untuk tidak meneruskan keluhannya.
“Biasa ada urusan,” kata Pras menyusul si kembar yang sudah lari ke kamar.
“Ayah, ayah, ayo main guling-gulingan,” teriak dua anak itu sambil loncat-loncat di kasur. Pras melempar jaket dan tasnya ke kursi lalu masuk kamar.
“Hei! Ayah cuci tangan dulu!” tegur Arum sambil mencoba mendiamkan Malika yang mulai merengek.
“Yaaahhh...” teriak Dana Dani kecewa.
Sambil mengikuti suaminya ke kamar mandi, Arum berkata, “Mama capek dan ada deadline malam ini. Tolong Ayah tidurkan mereka berdua ya. Mama seharian tadi belum sempat pegang komputer.”
“Iya,”
***
Arum melirik jam dinding. Setengah sepuluh.  Dia mengusap matanya yang terasa berat. Tak mudah mengetik satu tangan sambil sebelah tangan menggendong bayi. Tapi deadline tulisan ini tinggal 2 hari lagi. Arum menoleh ke arah kamar yang masih terdengar ribut oleh tawa. Sambil menghela napas, dia berdiri dan beranjak ke kamar.
“Dana, Dani, ini sudah jam setengah sepuluh. Waktunya tidur. Besok kan sekolah. Ayah saja yang gendong Malika nih, biar Mama yang nemenin mereka tidur,” Arum tak bisa menyembunyikan gemas dari nada suaranya. “Kalau main-main heboh kayak gitu gimana mereka bisa tidur!”
Pras berdiri sambil agak salah tingkah.
“Yaaahhh...Mau main dulu sama Ayah. Ga mau tidur. ” protes si kembar.
“Sudah kalian tidur sama Mama. Kasihan adek lagi sakit,” kata Pras sambil menerima Malika yang mulai merengek. “Gimana cara gendongnya Ma?”
Setelah memasangkan gendongan dengan kencang dan bayinya nyaman, meski Pras terlihat sedikit kerepotan, Arum mendorong suaminya keluar dan menutup pintu kamar.
“Ayo, siapin bantalnya. Mama bacain satu buku trus tidur ya!”
Meski merengut si kembar menuruti kata-kata Mamanya.
***
Sepuluh seperempat. Arum sedikit mengangkat kepala. Memastikan si kembar sudah tidur, perlu waktu cukup lama untuk membuat kedua bocah lelaki ini cooling down dan akhirnya tertidur. Tangan Arum pegal karena mengipas-ipas. Ya, kedua bocah lelakinya ini sampai harus dikipas biar cepat mengantuk.
Pelan dia beranjak dari ranjang, lalu keluar kamar. Ruang tengah kosong. Tak ada tanda-tanda Ayah dan Malika. Terdengar gumam tawa dari depan, sambil berkerut kening Arum beranjak ke depan. Benar saja, Pras sedang sibuk bertelepon di luar dengan sebelah tangan menggendong Malika. Bayi itu merengek-rengek karena tak nyaman, digendong sembari bertelepon.
“Ayah, Gimana sih, Malika kan lagi anget kok di bawa keluar malam-malam begini!”
“Iya ini ada telepon dari Kenny. Lagian dia ga mau dibawa duduk.”
“Ya memang, dia kan lagi tumbuh gigi makanya rewel. Mama aja sudah seharian ini gendong dia terus.  Tidur siang pun Malika tak nyenyak. Sini atuh, biar Mama yang gendong. Ayah makannya bikin mie saja ya, Mama ga sempat masak.”
Sambil menggendong Malika, Arum mulai bersenandung, sementara Pras masuk ke dapur.
***
Di ruang tamu yang gelap, Arum bersenandung pelan sambil tubuhnya berayun-ayun. Mencoba menidurkan bayinya. Malika memang rewel sekali hari ini. Tak mau turun atau pun dibawa duduk. Bahkan menyusui pun sambil berdiri.
Sembari bersenandung, Arum teringat obrolan dengan adik bungsunya, sekitar 7 tahun lalu. Waktu itu sang adik memastikan kemantapan hatinya menikah dengan Pras. Adiknya bahkan sampai bertanya 3 kali. “Yakin, mau menikah dengan dia, mbak?”
Mungkin adiknya mengkhawatirkan dirinya. Menikah dengan bungsu dari 13 bersaudara memang tak mudah. Apalagi Pras berasal dari keluarga Jawa yang sangat patriarkal, lelaki tak pernah menyentuh pekerjaan rumah dan mengasuh anak. Tapi Arum bersyukur, suaminya mau berusaha. Meski kadang memang rasanya seperti punya anak empat dan bukannya tiga anak dengan satu partner setara.
Dia rindu bercakap-cakap dengan suaminya. Tentang berbagai hal. Sampai malam. Kini mereka seakan tenggelam oleh rutinitas, kerja, uang dan anak-anak. Arum rindu bercakap tentang hal-hal tak penting, tentang buku, film, hasrat, damba, rindu dan mimpi. Kini Pras sepertinya terlalu sibuk dengan pekerjaannya, bahkan sampai malam pun dia kadang masih bertelepon dengan rekan kerjanya, atau kliennya. Pras sepertinya tak sempat lagi tertawa bersamanya.
“Hhh...” Malika mendesah. Arum menatap ke dadanya. Gadis kecilnya sekarang tidur nyenyak. Pelan, sambil terus bersenandung dia masuk kamar dan menaruh si kecil di boksnya. Syukurlah, Malika terus tertidur.
Setelah menidurkan Malika, Arum keluar. Di ruang tengah, Pras tertidur di sofa dengan TV menyala. Masih memakai pakaian kerja. Piring bekas makan tergeletak begitu saja di lantai. Arum memungutnya dan membawanya  ke dapur. Mencucinya.
“Mas, mas,” Arum mencoba membangunkan Pras. Tetapi suaminya itu bergeming, dengkur pelan terdengar dari mulutnya. Pelan Arum menghela napas, diambilnya selimut dan diselimutinya tubuh Pras.
***
Sebelas seperempat. Arum kembali membuka laptopnya. Dia senang menulis. Pekerjaan yang dicintainya dan bisa dia lakukan di rumah. Namun, menulis memang kadang sebuah pekerjaan yang sepi, apalagi kalau kau masih punya anak-anak kecil yang rewel dan butuh banyak perhatian.
Arum menyalakan Instan Messenger. Langsung ada pesan masuk. “Hei, Baby. Been waiting for you.”
“Hei. ^-^” Arum menyapa.
“Lembur lagi ya?” balas Willy dari seberang sana.
“Iya, temenin ya.”
“Always, Baby.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun