Mohon tunggu...
Budi Setiawan
Budi Setiawan Mohon Tunggu... -

Sesuatu yang kita sebut 'nasib' itu bukanlah sebuah keadaan yang permanen. Dia sangat lentur, luwes,dan reaktif. Dia berespon kepada kualitas sikap dan tindakan-tindakan kita, tanpa menyumbangkan pendapatnya sendiri. Dia 'nasib' itu, berupaya sangat netral, meskipun sebetulnya dia sangat berpihak kepada keberhasilan dan kebahagiaan kita (MT). Detail about me in http://budirich.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Personal Financial Crisis

15 Januari 2011   02:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:34 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika pada masa lalu, yang krisis adalah tanpa krisis. Kini sebaliknya, masa normal adalah masa dipenuhi krisis. Jika dulu krisis adalah abnormal, kini krisis adalah normalitas (Prasetyantoko).

Paul krugman, penerima nobel ekonomi 2008, berpendapat bahwa krisis merupakan penyakit yang makin lama makin resisten terhadap vaksin sehingga ketika datang, dosis obatnya harus semakin kuat.Dan ketika datang lagi, dampak kerusakannya cenderung meningkat. Penyakit ekonomi yang menyebabkan depresi besar ekonomi pada tahun 1930 akan semakin sering datang. Krisis di Amerika tahun 2008 menunjukkan bahwa perekonomian yang berjalan selama ini mengandung kelemahan dan kerawanan yang sangat nyata. Sampai saat ini aku masih terus bertanya, adakah sistem ekonomi yang bisa diterapkan diseluruh dunia agar kesejahteraan masyarakat dapat terwujud?

Delusi tentang sistem ekonomi yang feasibel, mengingatkanku pada krisis ekonomi Indonesia tahun 1997 & 1998, yang sampai hari ini masih menjadi momok bagi sebagian besar masyarakat. Waktu itu rupiah terbang bebas dari Rp.3.257 per U$D menjadi RP.10.525 per U$D. Belum lagi vaksin pemerintah dalam bentuk Bantual Langsung Bank Indonesia (BLBI) yang dinilai manjur malahan menjadi racun hingga sampai saat ini epideminya masih menyebar dan menyumbat sebagai kisah kejahatan tak berujung.

Krisis moneter Indonesia sudah lebih dari satu dekade, krisis Amerika sudah jarang menjadi topik hangat di media masa. Mengenang krisis negeri Paman Sam yang dinilai oleh pengamat terlahir karena penyaluran kredit pada debitur berkwalitas bawah (Subprime Mortgage) yang semakinlama, semakin menggempal (bubble) hingga menyerupai bom waktu yang kapan saja bisa meledak. Dan bubble-pun meledak pada semester akhir tahun 2008. Banyak manajer investasi dan perbankan yang menjadi korban ledakannya, bahkan perusahaan yang assetnya hampir sama dengan cadangan devisa Indonesia (Lehman Brother) tak diberi ampun. Teman lain yang ikut jadi korban ledakan adalah Fannie Mae, Bear Stern dan AIG juga tidak bisa bersembunyi dari goncangannya. dan yang terparah menurut saya adalah mental masyarakat Amerika sendiri, jika selama ini kita mengenal 4 musin di amerika (autum, winter, spring, and summer), maka pada saat krisis kita menambah satu musim lagi yaitu musim phobia crisis, dimana mimpi untuk berlari dari kesejahteraan semakin dekat dan nyata.

Disaat kenangan manis, asam, dan asin krisis di Indonesia dan Amerika belum lekang, baru-baru ini kita dikejutkan dengan datangnya badai krisis dari Yunani. Lain Indonesia dan Amerika, Yunani terjangkit krisis dengan caranya sendiri. Berawal dari surat utang pemerintah dari kawasan Eropa. Hal ini dumulai dari defisit anggaran Yunani sebesar kurang lebih 12 persen. Jauh di atas ambang wajar yang disepakati oleh Uni Eropa, defisit tidak boleh lebih dari 3 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB).

Personal Financial Crisis

12950581851279809871
12950581851279809871

Aku menjadi sering tersenyum skeptis tanpa sebab setelah teringat kata-kata Pak Prasetyantoko bahwa krisis adalah normalitas. Itu artinya krisis menjadi barang yang lazim di kondisi perekonomian dunia saat ini. Setalah krisis global dari Amerika, krisis Eropa dari Yunani, dan krisis moneter di Indonesia. Rasanya belum puas ketika aku belum membawa mahluk yang bernama krisis itu dalam kehidupanku. Rasanya tak bisa dipungkiri jika wujud dan efek nyata krisis itu lebih menakutkan daripada hantu dalam film chasper. Dan ketakukan itu yang sempat aku rasakan beberapa waktu lalu.

Akhir desember 2010 pendemi krisis hinggap padaku. Tidak jauh beda ciri-cirinya dengan krisis bubble suprime mortgage di Amerika. Waktu itu aku menggelembungkan pengeluaran hampir melewati batas toleransi dan bukan tidak mungkin bubble itu akan pecah di kisaran tanggal 20 dan 25 desember ketika uangku habis. Dan aku sudah khatam bahwa setiap tanggal 25 desember aku akan gajian, jadi aku bisa membeli gas baru dan meniupkannya pada balon itu sehingga menciptakan balon yangbaru, setelah itu meledak lagi, dan menggelembung lagi. Begitu terus, sampai-sampai tidak jauh beda dengan proses gali lubang tutup lubang, bagi mereka yang menggunakan utang untuk menggelembungkan balon tersebut.

Merasa sudah fasih dengan proses bubble tersebut, antara sadar dan tidak saya terus memperbesar pengeluaran tanpa meningkatkan penghasilan, dan yang lebih parahnya lagi kefasihanku dalam meramalkan bahwa tanggal 25 aku akan gajian meleset, karena alasan sesuatu dan lain hal maka waktu itu gajiku akan dirapel dan dibayarkan pada tanggal 30 desember. Disini personal financial crisis itu dimulai. Jauh merantau dari rumah hingga ke ujung sulawesi, tidak ada uang, untung masih ada tempat tinggal dari kantor setidaknya masih ada tempat tidur.

Di tengah rasa bingung dan takut akan bayangan kelaparan, imajinasiku melayang bebas tak menentu. Seperti gejolak harga saham pada saat pasar bearish. Otakku mengerut, dan mataku yang sudah kecil semakin mengecil itu menandakan aku sedang berpikir keras untuk mencari jalan keluar dari krisis yang sudah menjadi normalitas saat ini. Pada perjalanan pikiran, aku seperti tersandung dan menjatuhkanku pada peristiwa krisis di Indonesia, Amerika, dan Yunani.

Pada saat krisis moneter di Indonesia, aku teringat dengan BLBI. Krisis suprime mortgage di Amerika aku teringat bailout. Dan yang terakhir, krisis di Yunani mengingatkanku dengan bantuan Uni Eropa. Kajatuhan dalam alam mimpi tersebut memberiku satu kesimpulan bahwa tak ada pilihan instan lain untuk menghadapi krisis selain stimulus. Tapi masalahnya krisis yang aku alami ini bukan krisis yang menimpa suatu negara atau kawasan, jadi siapa yang akan membantuku?

Berfikir serius, sembari meniru cara Pak Dahlan Iskan (Dirut PLN) dalam menyederhanakan problem yang rumit. Apa bedanya aku dan negara, lah wong kita sama. Sama-sama pernah mengalamai krisis. Bedanya hanya kalau Indonesia dibantu oleh Bank Indonesia, Amerika di bailout oleh parlemen, dan Yunani disubsidi oleh Uni Eropa. Maka akupun tak mau kalah dengan meminta bantuan dari teman atau saudara. Syukur-syukur ada orang yang bisa melihat potensi dari sesuatu atau seseorang yang sedang dilanda krisis itu, dan bukan hal yang mustahil jika stimulus cuma-cuma yang akan kita terima (baca: mulitflier effect dan tricle down effect).

Yes, yes, YES. bailout, dana talangan, stimulus, atau apapun itu namanya. Yang penting saat ini aku butuh dirimu. By the way, stimulus siapa dirimu? Darimana asalmu? kenapa kamu ada? Dan bagaimana caramu bekerja? Aduh pertanyaan ini membuatku bolak balik ke gramedia mall Panakkukang Makassar untuk mencari jawabannya. Dalam kondisi malas dan sedikit memaksa aku mencoba menyemangati diriku bahwa gelisah dan galau untuk menjawab setiap pertanyaan adalah proses belajar yang sesungguhnya. Hhmm.

Menurut mahzab Post-Keynesian, perihal stimulus pada saat krisis adalah hal yang wajar dan bahkan semestinya stimulus bersifat permanen dalam ekonomi. Keynes mempunyai prinsip “crowding-in” artinya setiap uang yang digelontorkan pemerintah dalam perekonomian akan mendorong efek pengganda yang akhirnya akan meningkatkan kapasitas produksi, menaikkan tinggkat upah yang diharapkan bisa meningkatkan daya beli masyarakat. Namun bagi penganut sistem pasar (klasik), setiap stimulus menimbulkan “crowding-out” Artinya likuiditas yang membanjir di pasar akan menimbulkan kesesakan sehingga mekanisme pasar tidak bisa bekerja secara maksimal. Pembengkakan defisit anggaran ini akhirnya hanya akan membahayakan stabiltitas ekonomi makro, dan tak berefek pada perekonomian riil (Prasetyantoko, Ponzi Ekonomi). Setelah membaca perihal stimulus dan efeknya bagi ekonomi, aku yang tadinya yakin untuk menerima stimulus kini mulai sedikit bergeser keyakinan tersebut. Biasalah sebagai anak Indonesia tulen, berada di tengah-tengah sering menjadi solusi terbaik, meskipun cenderung di cap sebagai opportunies yang tidak berani mengambil keputusan dan selalu mencari kesempatan dalam kesempitan. Apapun kata orang aku waktu itu belum bisa peduli, gimana ada toleransi jika bayangan kelaparan ada di pelupuk mata, mungkin bukan hal yang tidak wajar jika orang mengantri jika ada pembagian sembako beras atau minyak tanah, ya memang begitulah keadaannya alias kepepet. Hari itu aku benar-benar menutup telinga tapi tetap sebagai anak Indonesia, artinya aku tidak meniru mahzah post-keynesian ataupun sitem pasar.

Trus bagaimana, apakah bisa menciptakan alternatif lain unuk mengatasi krisis?

Jika tadi sudah meniru Pak Dahlah Iskan dalam menyederhanakan masalah, kini saatnya meniru gaya politikus kita yang opportunies. Aku tidak akan memilih atau menerapkan teori siapapun. Itu artinya aku mencoba men trade-off kedua teori tersebut. Karena aku butuh makan, maka aku butuh stimulus. Dan karena aku juga tau dengan kemampuan bayarku, maka aku tidak akan menerima stimulus secara maksimal agar aku tidak kebanjiran likuiditas, itu artinya yang sewajarnya saja. Proses pengambilan keputusan untuk menentukan titik tengah antara mahzab pro-keynesian dan pasar klasik itulah yang aku sebut “stimulus trade-off theory”. Menulis sembari menghayal, seandainya waktu perdebatan ikhwal stimulus antara post-keynesian dan sistem pasar saya ikut, mungkin teori saya bisa menjadi jalur alternatif menangkal krisis (delusion: mode on and slept).

Jambi, Kost Abdullah : January 14, 2011

Time 22.33 WIB.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun