Bulan Juni akan segera berakhir, namun drama transaksi share Swap Mitratel yang melibatkan PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) dan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk belum juga menemui titik terang. Padahal tenggat waktu finalisasi transaksi tersebut tinggal dua hari.
Beberapa hari yang lalu Komisi VI DPR RI memanggil Direksi Telkom untuk menjelaskan perihal Swap Mitratel tersebut dalam rapat dengar pendapat (RDP), RDP yang berlangsung pada Kamis (25/6) lalu belum menghasilkan keputusan apapun dari DPR karena rapat tersebut diskors hingga waktu yang belum ditentukan.
Namun ada yang menarik dalam RDP yang berlangsung kemarin, anggota Komisi VI DPR RI, Aria Bima sempat mengungkit masalah beredarnya surat kaleng yang muncul menjelang RDP. Surat kaleng yang beredar di blog dan media sosial tersebut mengungkap tentang dugaan praktik suap yang dilakukan Telkom guna memuluskan restu dari berbagai lembaga negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), bahkan hingga ke Komisi VI DPR agar tukar guling saham dengan nilai trannsaksi sekitar Rp 11 triliun itu berjalan lancar.
Disebutkan bahwa Aria Bima memberi arahan agar Komisi VI mendukung sepenuhnya swap Mitratel. Aria Bima menjanjikan angpao sebesar USD 100.000 atau sekitar Rp 1 miliar untuk tiap anggota jika hingga akhir Juni 2015 Komisi VI berhasil meloloskan swap Mitratel. buntut dari adanya suap tersebut yaitu dibatalkannya sejumlah rapat dengar pendapat dengan Telkom. Komisi VI yang seharusnya mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dari Komisaris Telkom pada 4 Juni, batal dengan penjelasan harus mengadakan Rapat Paripurna. Lalu dijadwalkan lagi RDP memanggil Komisaris Telkom pada 8 Juni. Batal lagi dengan penjelasan lebih penting membahas alokasi dana APBN untuk BUMN.
Aria Bima sendiri berang dengan beredarnya isu tersebut, menurutnya surat kaleng tersebut adalah fitnah yang menyudutkan dirinya, ia pun berani menantang secara terbuka dengan mengundang KPK, BPK, direksi, komisaris, dan Menteri BUMN dalam rapat terbuka secara transparan menguji isu miring tersebut.
Setelah beredarnya surat kaleng tersebut, Komisi VI DPR sepertinya menjadi kompak untuk satu suara menolak Swap Mitratel. Walau belum ada keputusan, indikasi penolakan tersebut cukup jelas dari pemberitaan yang muncul belakangan ini. Apakah mungkin sikap DPR tersebut sebagai bentuk dari “cari aman” agar tidak dicurigai terlibat kasus suap? Hal tersebut sangat masuk akal dan mungkin terjadi, yang jelas praktik suap seperti itu bukan hal yang janggal di negara ini.