Mohon tunggu...
budi cartak
budi cartak Mohon Tunggu... -

Orang Kuningan yang ingin berbagi dengan semuanya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengkritisi Revolusi Pendidikan Bapak Jokowi

18 Juni 2014   20:15 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:14 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai bagian dari rakyat Indonesia, saya sangat bersyukur sekali bahwa ternyata masih ada orang yang peduli akan nasib negara tercinta ini. Apalagi kepedulian tersebut datangnya dariseorang calon pemimpin bangsa, yaitu Bapak Jokowi. Melihat berbagai ketimpangan yang terjadi di negeri ini rupanya sisi kemanusiaan Bapak Jokowi ikut terusik. Sehingga beliau dengan tegas dan ikhlas menerima mandat dari Ibu Megawati untuk bersedia dicalonkan menjadi presiden di tahun 2014 ini. Saya yakin bahwa keikhlasana beliau menerima mandat ini bukan didasarkan kepada ambisi pribadi atau haus akan kekuasaan semata. Tapi karena sebuah niat suci nan mulia ingin merubah nasib bangsa Indonesia yang sedang terpuruk ini menjadi bangsa yang maju di segala bidang dan bangsa yang disegani oleh bangsa lainnya di dunia internasional.

Keyakinan saya tersebut bukanlah omong kosong. Hal ini bisa dilihat dari visi-misi Bapak Jokowi yang serius ingin mengedepankan masalah Revolusi Mental. Memang Revolusi Mental bukanlan ide murni beliau (Beliau pun mengakuinya). Karena sebelum beliau pun, sudah banyak para cendekiawan terdahulu yang membahas dan menggulirkan ide Revolusi Mental ini. Tapi esensinya adalah bukan dari siapa ide tersebut berasalmelainkan keseriusan dan tekad beliau untuk mewujudkan ide tersebut apabila terpilih menjadi presiden di tahun 2014 ini. Apakah saya, anda, dia, merekaatau kita semua rakyat Indonesia tidak mau melihatbangsa ini maju? Bangsa yang mempunyai karakter yang kuat, yang selalu optimis dalam memandang masa depan. Bangsa pekerja keras. Bangsa yang mempunyai pemikir-pemikir keras dan brilian. Dan bukan bangsa yang memelihara mental pemalas yang selalu pesimis dalam menatap masa depan. Coba apakah ada di antara kita yang menolakatau tidak mau menjadi bangsa yang saya sebutkan tadi? Kalau ternyata masih ada di antara kita yangmenolak atau tidak mau, berarti benar bahwa bangsa ini harus “Di-Revolusi Mental-nya”!

Salah satu implementasi dari Revolusi Mental tersebut adalah revolusi total di bidang pendidikan. Revolusi mental di bidang pendidikan memang perlu dilakukan. Mengingat sektor pendidikan inilah adalah kunci utama untuk membuka pintu keberhasilan dari sektor-sektor yang lainnya. Apabila sistem pendidikan suatu negara baik, maka dapat dipastikan negara tersebut akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Dan sebaliknya apabila sistem pendidikan suatu negaraburuk, maka jangan harap negara tersebut mempunyai sumber daya manusiayang berkualitas. Begitupun dengan negara kita. Sepanjang sejarah berdirinya negara tercinta ini telah mengalami berbagai perubahan kurikulum pendidikan. Hampir bisa dikatakan setiap ganti pemimpin, maka berganti pula kurikulum pendidikan ini. Tujuan dari itu semua adalah untuk mencari dan menemukan kurikulum pendidikan yang sesuai dengan karakterbangsa , sehingga pada gilirannya nanti dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.

Sangat disayangkan bahwa walaupun sistem pendidikan di negara kita selalu mengalami perubahan dan perbaikan dari waktu ke waktu, tetapi pada dasarnya esensi sebenarnya tidaklah berubah. Yaitu kurikulum pendidikan kita terlalu condong ke pada dunia barat. Pada hal sesuatu yang baik di dunia barat belum tentu cocok bagi negara dan bangsa kita. Sistem pendidikan di negara kita selalu memisahkan antara materi pendidikan ilmu pengetahuan umum dengan materi pendidikan agama atau budi pekerti. Ini sebenarnya yang menjadi akar permasalahan, mengapa sistem pendidikan di negara kita kurangmenghasilkan manusia-manusia yang berkualitas, baik dari sisi rohani maupun dari sisi jasmaninya.

Seharusnya sistem pendidikan yang baik adalah sistem pendidikan yang tidak terpaku dengan dikotomi tadi. Seharusnya materi pendidikan pembangunan dan pembinaan karakter(budi pekerti) melebur di dalam setiap materi pendidikan ilmu pengetahuan umum. Misalnya saja anak didik atau murid ketika diajarkan ilmu matematika oleh gurunya sekaligus ditanamkan pula nilai-nilai pendidikan budi pekerti. Ketika diajari fisika, kimia, Bahasa Indonesia, dsb. Itu terselip pula nilai-nilai pendidikan budi pekerti.

Contoh kecil adalah ketika di sekolah dasar dulu kita sering diajarkan cara berhitung memakai jari tangan. Ibu Guru atau Bapak Guru sering berkata demikian: “Anak-anak mari kita belajar berhitung memakai jari…!”Sangat sedikit atau bahkan mungkin tidak ada seorang guru yang berkata demikian: “Anak-anak ternyata Tuhan Yang Maha Esa itu sangat perhatian pada kita. Coba kalian perhatikan tangan kita. Ternyata Tuhan menciptakan tangan lengkap dengan jari-jarinya adalah untuk memudahkan kita mengerjakan sesuatu. Contohnya adalah memudahkan kita untuk belajar berhitung…” Tanpa disadari oleh si anak didik tadi , Ibu Guru atau Bapak Guru telah menanamkan pendidikan budi pekertimelalui pelajaran matematika.

Dengan ditanamkannya nilai-nilai budi pekerti dalam setiap materi pelajaran, otomatis pendidikan budi pekerti yang berdiri sendiri sudah tidak diperlukan lagi. Kecuali pendidikan agama yang harus tetap dipertahankan. Karena menyangkut tata cara atau ritual ibadah yang tidak mungkin disatukan dengan materi pelajaran yang lain.

Manfaat dari ini semua adalah setiap manusia Indonesiasejak dini sudah diajarkan dan ditanamkan nilai-nilai budi pekerti dalam setiap gerak dan tingkah lakunya sehari-hari. Sehingga pada gilirannya nanti ketika memasuki dunia pekerjaan, dunia rumah tangga, siapa pun dia, mau dokter, mau polisi, politikus, tentara, anggota legislative, yudikatif maupun eksekutif mereka akan bekerja dengan sungguh-sungguh tanpa melupakan nilai-nilai ketuhanan, norma-norma hukum, etika, adat istiadat yang berlaku. Mereka akan segan dan takut untuk berbuat curang. Seolah-olah ada sepasang mata yang terus-menerus memantau setiap gerak dan tingkah lakunya sehari-hari.

Apakah kita pernah berpikir bahwa politikus yang rakus, pejabat yang korup, pedagang yang curang mereka semua adalah sebenarnya orang baik-baik? Mereka semua, baik itu hakim, jaksa, pengacara, pengusaha, pedagang ketika mereka pulang ke rumah sehabis bekerja seharian penuh ternyata adalah seorang suami/istri yang baik, ayah/ibu yang penuh perhatian di dalam rumah tangganya masing-masing. Mereka tidak pernah meninggalkan solat (untuk yang Islam), mereka rajin ke gereja setiap hari minggu (Kristen/katolik), wihara, pura atau kelenteng. Lalu mengapa ketika mereka keluar rumah untuk melakukan pekerjaannya suka berbuat curang? Korupsi, suap-menyuap, memperkosa, merampok, memeras, memfitnah, jadi menu makanan sehari-hari mereka. Seolah-olah mereka tidak takut terhadap Tuhan yang selalu mengawasi, tidak gentar akan ancaman hukum yang selalu menguntit. Apa yang salah dalam sistem pendidikan kita? Apa yang kurang dalam sistem pendidikan kita sehingga menghasilkan manusia-manusiayang ibadahnya rajin tapi maksiat jalan terus?

Rupanya ini semua karena sistem pendidikan kita yang selalu mendikotomikan antara pendidikan ilmu murni dengan pendidikan agama/budi pekerti. Sudah saatnya kita merubah itu semua. Makanya saya sangat mendukung sekali ketika Bapak Jokowi ingin merevolusi total sistem pendidikan di negara kita.

Sayangnya revolusi sistem pendidikan yang diinginkan oleh Bapak Jokowi masih terpengaruh dengan sistem pendidikan model lama. Yaitu memisahkan antara pendidikan yang bersifatpembangunan jasmani dengan pendidikan yang bersifat pembangunan rohani.Padahal menurut hemat saya justru di sinilah pangkal keterpurukannya mentalitas bangsa ini. Bapak Jokowi menyatakan bahwa revolusi mental akan efektif bila diawali dari jenjang sekolah, terutama pendidikan dasar. Menurutnya, siswa SD seharusnya mendapatkan materi tentang pendidikan karakter, pendidikan budi pekerti, pendidikan etika sebesar 80 persen. Sementara itu, ilmu pengetahuan cukup 20 persen saja. Beliau pun mengatakan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan yang dilalui oleh si anak didik maka porsi materi pendidikan karakter, budi pekerti dan etika akan semakin mengecil dan sebaliknya porsi materi pendidikan ilmu pengetahuan umum akan semakin membesar. Lebih rincinya adalah pada jenjang SMP menjadi 60% berbanding 40% dan pada jenjang SMA menjadi 20% berbanding 80%.

Saya bukan ahli di bidang pendidikan. Tapi hati saya selalu bertanya-tanya dari mana Bapak Jokowi bisa menemukan formulasi seperti itu? Apakah hal tersebut sudah melalui kajian yang mendalam? Jangan sampai ketika itu diterapkan malah akan membuat dunia pendidikan kita semakin kacau balau. Saya tak bisa membayangkan selama 6 tahun anak-anak SD setia hari dicekoki dengan berbagai ajaran budi pekerti yang kering akan ilmu pengetahuan. Apakah mereka tidak akan jemu?Saya khawatir sekolah bukan lagi tempat yang menarik untuk menimba ilmu. Saya khawatir generasi-generasi penerus bangsa akan layu sebelum berkembang. Dan pada gilirannya nanti tujuan yang mulia dari sektor pendidikan untuk melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas tidak akan tercapai.

Saya mohon kepada Bapak Jokowi, seandainya nanti Bapak terpilih menjadi Presidendi negeri tercinta ini untuk mengkaji ulang kebijakan Bapak di bidang pendidikan ini. Terima kasih…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun