Melihat geliat konflik seputar reklamasi pantai utara Jakarta, sangat jelas Ahok begitu “ngotot” menginginkan proyek itu jalan terus. Dasarnya adalah pengembang telah menggelontorkan dana investasi yang besar dan janji komitmen kepada Pemda DKI Jakarta. Hal itu terbukti dengan dirinya menyampaikan surat kepada Presiden Jokowi guna mempertanyakan status Kepres No. 52 tahun 1995 tentang Reklamasi yang dijadikan acuan Ahok.
Kalau kita kaji ulang, masalah ini sebenarnya sudah selesai di tangan Pemerintah Pusat melalui Proyek Garuda Nasional, mencakup pengembangan kawasan strategis di wilayah pantai utara Jakarta yang secara langsung berada dibawah kendali Presiden. Selain itu proyek reklamasi di pulau G juga sudah dihentikan (moratorium) melalui Keputusan Bersama tiga menteri (Menteri Lingkungan Hidupdan Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya) . Sehingga apapun dasarnya kalau reklamasi tetap berjalan itu berarti Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta telah melawan pemerintah pusat.
Tentunya bukan Ahok kalau tidak “ngotot”. Berulangkali dasar Kepres No. 52 tahun 1995 tentang Reklamasi selalu dijadikan acuan meskipun dia tahu Kepres itu sudah kadaluwarsa. Bahkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD menyebut kalau Kepres no. 52 tahun 1995 sudah tidak berlaku lagi. Sebagai Gubernur seharusnya dia paham jika setiap kebijakan apapun yang dia keluarkan terikat pada Hukum Administrasi Negara. Maka tak salah kalau Menko Rizal Ramli menyebut Ahok tak lebih dari seorang KARYAWAN PENGEMBANG.
Ahok sebetulnya paham kalau dia mesti mengeluarkan Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil daripada mengacu Kepres tahun 1995 yang sudah kadaluwarsa itu kalau ingin melanjutkan proyek reklamasi. Namun apa daya, ibarat pepatah “mulutmu harimaumu” Ahok terburu berkonflik dengan DPRD DKI Jakarta dengan menuduh DPRD DKI Jakarta korup. Sehingga wajar, dirinya sulit mengeluarkan Perda Zonasi yang musti disahkan melalui DPRD. Sehingga polemik proyek reklamasi yang sedari awal adalah persoalan aturan kebijakan publik, telah dia bawa sendiri ke ranah politik. Maka tak heran banyak kalangan menuduh kebijakan Ahok di “drive”pengembang swasta. Tudingan itu pun berdasar karena pengembang juga yang sangat berkepentingan agar proyek itu segera goal mengingat estimasi keuntungan hingga trilyunan rupiah didepan.
Ahok juga mengklaim kalau proyek reklamasi itu telah disepakati oleh BAPEDA DKI Jakarta. Namun Kepala BAPEDA DKI Jakarta justru mengeluarkan statemen politis ketimbang profesional. Kepala Bapeda DKI Jakarta, Tuti mengklaim tidak ada masalah dengan reklamasi pulau G dan justru menuding masalah itu semata datang dari Menko Rizal Ramli. Harusnya BAPEDA DKI Jakarta tahu persoalan ini terikat Hukum Administrasi Negara, bukan semata wilayah kepentingan lokal yang mendasarinya. Bukan pula persoalan politik ataupun sekedar berebut proyek.
Dalam hal ini jelas Negara hendak dilemahkan oleh pengembang swasta dengan menggunakan Ahok. Tentu persoalan ini seperti duri dalam sekam kalau tak mau dibilang bahaya. Alih-alih ingin membangun Jakarta demi kepentingan menyejahterakan warganya, justru jurang antara kaya dan miskin tak bisa dielakkan kalau toh Negara selalu saja dilemahkan melalui cara-cara seperti ini. Jadi kepada siapa sesungguhnya Ahok berpihak? []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H