Mohon tunggu...
Budi Bahasoan
Budi Bahasoan Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan

Budi Bahasoan had just woke up after long time in the sleeping beauty and come out to the surface. 2023

Selanjutnya

Tutup

Puisi

"The World is Flat" - Dunia Ini Memang Kecil: Bang Bang Kalima Lima Gobang Bang - ”Ah kauw…u!”

14 Februari 2010   22:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:55 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“The World is Flat” - Dunia Ini Memang Kecil: Bang Bang Kalima Lima Gobang Bang - ”Ah kauw…u!”

 

“Ah…. Dunia ini memang kecil…” Sekecil yang Thomas L Friedman katakan dalam bukunya: The World is Flat. Begitulah maklum dalam hati, ketika pulang sambil jalan kaki dari Hotel Duxiana menuju Malmo Central Station untuk balik ke Lund. Setelah menginap selama satu malam, diajak oleh kawan sekelas SMA tahun 80-an di Bandung dulu. Dan juga, kemudian…tak pernah disangka menjadi kawan sekerja di kawasan industri Kampong Ubi – Singapura di tahun 1993.

 

12985389561004879437
12985389561004879437
Kawan yang menurut perasaan – kayaknya – setengah ‘tuna waras’ , seperti yang digelar oleh teman- teman satu SMA ketika itu. Namun entahlah bagaimana jadinya…, sehingga saya pun diklasifikasikan menjadi termasuk se-spesies dengan dia seperti itu.

 

1298539440428731274
1298539440428731274
“Hei Buodat… !” Begitulah teriakan yang terdengar dan menggugah perhatian ketika itu. Ketika berjumpa secara tidak sengaja, saat jalan- jalan ke Malmo  kira- kira 2 minggu sebelumnya, saat membeli ‘bawaan’ untuk rencana pertemuan orang- orang Indonesia di Stokholm.  Dan…kontan, pada saat itupun, dengan ingatan yang teragak- agak untuk kenal dengan ‘sumpahan’ seperti itu, maka langsung membalas  teriakannya ,” Bagudung……”

 

1298539094659027772
1298539094659027772
Sekalipun, sumpahan- sumpahan seperti itu sangat kasar (red. Dalam bahasa Batak, Bodat = Monyet. Dan Bagudung=Tikus). Namun, kami terbiasa menggunakannya sebagai suatu kedekatan emosional. Kedekatan, yang mungkin kemudian saling mempengaruhi dan dipengaruhi, sehingga tidak kentara lagi siapa awal mulanya yang ’gila’…..

 

Padahal, sebenarnya kawan tadi ‘menyumpahi’ seperti itu karena nama: Budi yang saya miliki, yang bagi dirinya terasa formal dan resmi. Walaupun, ketika kemudian saya tahu apa artinya, saya benar- benar ingin ‘murka’ dan sangat meradang…dan juga dibuatnya hati menjadi dendam, untuk coba mencari- cari tahu cara membalasnya.

 

Hingga secara tidak sengaja, pada suatu waktu saya dapatkan dari orang Batak juga: Bianca Simatupang namanya. Anak kelas biologi (A2) ketika itu.  Saat dia menyumpahi kawan tadi yang namanya: Herry Hasudungan Situmorang, dengan sebutan : Bagudung. Untuk membalas ucapannya yang ‘semprul’: Biangta SIang MAlam TUnggu PANGgilan (red. Biangta maksudnya: Anjingku, dalam bahasa Batak).

 

“Ah si Bagudung…” begitulah saya memaklumi jika merasa kurang merasa ’sreg’ dan tergaruk hati dengan tindakan- tindakan anehnya. Seperti juga,  argumen anehnya  ketika dia memprotes Kepala Sekolah ketika itu – agar dia dibenarkan untuk belajar hanya  matematika, fisika, dan kimia saja – atas dasar alasan karena dia kelas A1. Maksudnya: Kelas Fisika. Sebab dia mengatakan, bahwa kurikulum SMA tersebut seharusnya konsisten.

 

“Naon…eui… Ongkoh kelas Fisika, tapi diajar sejarah…Naha teu diajar masak memasak we..sekalian?” (red. Dalam bahasa Sunda artinya: “Apaan nih…Katanya kelas Fisika, tapi ko belajar sejarah. Kenapa nga diajarin sekaligus masak memasak saja..?)

 

“He …he..” Saya pun merasa aneh dan terpacing ketika itu. Namun, tidak ‘sekeras’ dia untuk memprotes. Karena tahu, namanya juga Indonesia....Suka sekali ganti- ganti kurikulum....

 

 

Kalau dari berani dan kerasnya….., okeylah saya setuju bahwa dia orang Batak. Tapi dari omongannya itu loh… . ”Siga urang Sunda pisan !” (red. Kaya orang Sunda banget).

 

 

12991542491174314196
12991542491174314196
Hingga terkadang tidak bisa membedakan, mana bunyi huruf konsonan: V, F, dan..P. Menyebutkan Vespa, suaranya: Pespa. Fotokopi, malah diucapkan: Potokopi. Sehingga saya bahkan sering mencandainya. “Kelas Pisika…, Dung..”  Atau, dengan cara meniru- niru logat Bataknya ‘Om’ Sitompul tetangga rumah ,“Felazaran Xezarah…., Lae….?”

 

 

Ah..memang si ’Bagudung’ ini memang benar- benar Lutung Kas.sa...,eh salah deng…, maksudnya: Sunda Kasarung. Hampir sama persis kaya lagunya ’rapper’ Indonesia Iwan.K: Batman Kasarung.

 

Mungkin…, pada saat itu dia tidak ambil peduli. Sekalipun, mungkin terasa menggesek- gesek emosinya bila dicandai seperti itu. Tetapi…, karena sama- sama suka saling ‘nyela’, paling- paling... dia hanya mengumpat ,” Belegug siah!” (red. Dalam bahasa Sunda, artinya: Goblok luh!). Begitulah dia mengungkapkannya dengan datar, dan sekenanya.

 

Dia tidak marah. Sekalipun, wajahnya bikin ‘nightmare’. Cocok untuk jadi bintang film ‘suster ngesot’. 

 

Jangan- jangan...., sayapun pernah berpikir, bahwa  hantu pun takut lihat dia...karena sangkin serem’-nya. Bayangkan....., ketika senyumpun wajahnya sudah terlihat sadizzzz sebab bentuknya kotak- kotak dan agak sedikit trapesium…. . Sehingga sering diguyoni,” Dung…Dung, buka dong.. topeng luh. Masa nga cape pake topeng tiap hari. Gue serem tau…”

 

“Bodat siah… Maneh…” (red. Kunyuk luh…)

 

Namun demikian - seperti saya ceritakan tadi - jika melihat perwatakan bahasa lisannya, tidak ada seorangpun akan pernah menyangkakan dia adalah orang Batak. Bayangkan ! Untuk memanggil nama  Bambang saja, dia mengucapkannya: Bangbang. Juga untuk menyebutkan Bambu, ucapannya sering terdengar: Bangbu. Belum lagi: Pong Bengsin, yang maksudnya adalah Pom Bensin. Selain, sering kali ‘terbalik- terbaliknya’ antara penggunaan huruf: P dan F. Seperti halnya, ketika dia mengatakan, bahwa Kepala Sekolah: Pak Wahyu Yudhistira, ketika itu untuk membolehkannya  hanya  diajari dan belajar mengenai apa yang menjadi protesnya. Tetapi, syaratnya…di ruang guru!

 

“Fak Yu.” Begitulah ucapannya, untuk menceritakan siapa yang memberikan perlakuan ‘spesial’ tadi kepadanya. Ketika ditanya oleh teman- teman sekelas…, yang boleh jadi cemburu dan terheran- heran.

 

“Ah..siah…, Maneh…Fak Yu lah!” Balas ‘mereka- mereka’ meradang untuk membalas jawabannya. (red. “Aih kamu …. Kamu Fak yu lah..”). Karena dirasa jawabannya seumpama sumpah serapah. Dan sekali lagi, dia tidak marah, walaupun kemudian jawabnya sambil mengumpat datar,” Belegug siah….”

 

“Ah..memang susah Sunda satu ini, eh..Batak satu ini,” maklum saya coba memahaminya. Sekalipun kawan akrab…, namun sering tergeli- geli dibuat pola tingkahnya. Apalagi, ketika suatu hari diajak menginap di rumahnya di daerah Ciparay. Yang kata- teman- teman sekolah dikatakan daerah, “Bandung coret..!” Maksudnya,  di luar Kotamadya Bandung, sebagai ‘ledekan’ untuk orang ‘udik’. Di mana, dia lebih di kenal dengan nama: Dudung. Suatu nama yang ‘totok’ untuk orang Sunda.

 

1298539675183947294
1298539675183947294
Bukan Hasudungan. Padahal, orang- orang dan tetangganya tahu, bahwa dia anaknya si ‘Om’ dan si ‘Tante’.  (red. Panggilan ‘Om’ dan ‘Tante’ adalah sebutan umum buat orang- orang Batak oleh orang- orang Sunda di kawasan yang masih tradisional). Namun demikian…, sekalipun orangtua mereka masih ‘totok’ logat Bataknya, tetapi masyarakat di sekitarnya begitu ramah terhadap mereka. Saya tidak tahu, apakah karena kebaikan mereka atau karena keberadaan mereka yang cukup menonjol. Termasuk, dari segi kemapanan. Karena Ibunya berbisnis ‘bank berjalan’… dan juga ayahnya adalah ‘pilot’ sekaligus juragan angkot. (red. angkutan kota).

 

Ini terasa, sama seperti ramah ayahnya: si ‘Om’ , yang mencoba menyapa untuk berakrab- akrab ketika saya menginap di rumah mereka.

 

1298539728105582722
1298539728105582722
“Oh..kauw orang Zawa, nak... Neng Endi..?” ucap si ‘Om’ dengan logat e ‘taling’-nya yang kentara. Mungkin maksudnya, “Oh.. anak orang Jawa yah.. Asalnya dari mana?”

 

Tapi karena ‘Neng Endi’-nya begitu kentara, dengan segera si Dudung – teman saya tadi – menyambutnya dengan  mengatakan ,”Neng Endi mah… tukang sangu koneng…! ih…Si Bapak mah…” Katanya dengan logat Sunda yang kental. (red. Neng Endi itu... tukang nasi kuning.... Bapa ini gimana...)

 

Begitulah ucapan pendek si Dudung – sambil me’ledek’ ucapan ayahnya – untuk memprotes cara pengucapannya tadi. Sama seperti juga ketika menyebutkan tempat saya ‘kost’ di Ciumbuleuit. Di mana, si ‘Om’ keseleo lidah terus…

 

“Naon… si bapa mah? Cium.. bulu  eit…. Cium…bulu.. it.. ,’ ungkapnya seakan- akan memprotes. “Cimbeuleuit  atuh,  Pak... Pamali, cium bulu it...mah..” katanya mengajari. (red. maksudnya, pantang cium bulu...it...he he he..tanya Pak John Brata...lah, it.nya..diapain.... Punten ah...)

 

“Ah..kauw…u.”

 

Demikianlah saya dengar si ‘Om’ membalas protes. Dan menjadi sesuatu yang kerap diucapkan, ketika setiap kali si ‘Om’ tadi berkomunikasi dengan si Dudung.

 

Dan ini jelas tampak, seperti halnya ketika pengambilan raport dahulu. “Ah kauw..u.” ucap ayahnya beberapa kali kepada si Dudung dalam pertunjukkan ‘les private’ P4nya di depan teman- teman satu sekolah. Di mana si ‘Om’ terlihat begitu ‘merah padam’ saat ke luar dari kelas. Untung.., ayahnya tidak menunjukkan kemahiran ’fore hand’ yang keras kaya pemain tenis: Goran Ivonisevich. (Maksudnya: Ditempeleng)

 

“Malu aku kauw buat.., tauw!” Sergah ayahnya kentara. Karena wali kelas menceritakan kebiasaannya yang…Situmorang = SI TUkang MOlor beuRANG ketika mengikuti pelajaran di kelas. (red. Tukang tidur di siang bolong).

 

1298539813289318816
1298539813289318816
Tetapi si Dudung senyum- senyum saja (mungkin?). Namanya juga...HHS. Hari Hari Situkang Molor Beurang... Tetapi, karena memang nilai- nilai raportnya begitu ’fantastis’ untuk mata- mata pelajaran yang dia suka dan pilih. Maka dia menganggap remeh itu semua. Seperti tidak terjadi apa- apa. Selayaknya aksi Bagudung pergi ke…pas.. Eh salah deng. Maksudnya, Sarimin pergi ke pasar: ‘ Dung dung pret…., dung..dung… pret !’

 

12986103062034863397
12986103062034863397
Hingga kemudian kami berpisah setelah lulus SMA, dan berjumpa kembali di Singapura. Sekalipun, ‘persahabatan gila’ itu hanya beberapa bulan saja. Karena perusahaan mengirimkan saya training selama 9 bulan ke Kantor Pusat di Holmdel N.J. & Rchmond.... dan dari situ terus menghilang…. Berkelana. (red. Kabur). Tidak balik ke perusahaan. Sampai beberapa tahun lamanya dan kami berpisah tanpa ada kontak. Hingga kemudian kami bertemu kembali di Malmo secara tidak sengaja.

 

 

“Maneh nanaonan di dieu, Bud ? ” Begitulah ucapannya pertama kali ketika kami ’mengobrol- ngobrol’ menanyakan keberadaanku. (red. Lu ngapain di sini, Bud). Mencoba membuka kehangatan komunikasi, seperti yang pernah kami miliki dulu.

 

Tetapi..., mana mungkin kan saya jawab ," Keur nguseup belut." (red. sedang mancing belut). Ah pertanyaan ngaco!

 

Saya juga tidak pernah mengira, sekalipun dia sudah berkeluarga, dengan dua orang anaknya yang lucu- lucu, tetapi siapa nyana... istrinya adalah si ’Biangta’ seperti yang dia ’ledek’ ketika SMA dulu.

 

”He ....he... Jadi juga luh ya…dengan anjing..., eh sori sori.. dengan Bianca.” ucap saya coba memutus kekakuan, namun langsung disambut ala Rudi Hartono nyemes.., “Mana..ari caroge siah ?” (red. Kalau istrimu mana..?)

 

Ah...pertanyaan itu. Pertanyaan yang terasa seolah- olah menghakimi. Seakan- akan apa yang saya lakukan selama ini, adalah ‘tidak ada juntrungannya’. Padahal, mungkin maksudnya sekedar ingin tahu dan berakrab. Tetapi pada saat itu, memang kondisinya sudah lain. Umur sudah seperti separuh terakhir di babak kedua dalam permainan sepakbola, tapi kawin..belum. Dan kedudukan masih 0 - 0 (Lho koq kaya MU lawan Liverpool ajah..?).

 

Dan mungkin juga, karena secara psikologis, seperti apa yang dia dan istrinya ‘cium’ dan rasakan terhadap keberadaan saya, adalah karena masih: ‘Begini nasib jadi bujangan.. ke mana mana….’ seperti lagu Koes Plus. (lho koq jadi nyanyi….?)

 

“He..he…Bodat..Bodat…. Ma.. enya lieur neang awewe? Sakitu lobana. Geus weh neang di dieu. Maneh mah sok milih- milih ti baheula ge. Engke meunang nu buruk , siah. Nyaho!” (red. Monyet...Monyet...Masa bingung cari perempuan? Padahal begitu banyak. Sudahlah, cari di sini saja. Dari dulu juga kamu suka milih milih. Nanti malah dapat yang busuk, luh. Tahu ! )

 

Namun, sebelum saya sempat membalas ucapannya. Dia menawarkan ,”Jeung si Butet weh…Daek, maneh ? ” (maksudnya: dia menawarkan adiknya si Butet.). Sekalipun, langsung Bianca - istrinya - memotong ,” Hus…si Abang. Si Butet kan sudah mau rencana kawin, bulan Juli nanti..”

 

“Alaaah…. Mau rencana, kan? Baru mau. Lalakina weh..siga kitu. Teu jelas. Urang ge teu nyaho,” begitulah ucap si Dudung membela diri dengan santai. Sambil sambungnya , “ Kudeta wae…lah. ”  (Busyet dah…kaya, pemerintahan aja… Perlu dikudeta). (red. Alaaah… Baru mau rencana kan. Calon suaminya aja kaya gitu. Nga jelas. Saya juga nga tahu kejelasannya. Kudeta saja lah..).

 

Perbincangan yang membuat saya merasa tidak nyaman ketika itu. Sekalipun, apa salahnya coba. “Tapi itu…loh… Masa guwe nanti jadi iparnya si Dudung ? Cilaka.. “ Pendam saya dalam hati, walaupun tahu.. “Si Butet, okei juga loh… Koq guwe nga kepikir selama ini, yah.. hi hih…“

“Sok ieu yeuh…Geura telepon atuh…, mung daek mah. Ngomong weh heula. Kapan baheula ge geus nyaho, kan.“ (red. Ayo.lah…nih. Segera telopon, kalau memang mau. Bicara saja dulu. Bukankah dahulu juga sudah sama- sama tahu..)

 

 

Namun karena saya tampak gelagapan dan seakan- akan menjadi dungu, maka Bianca istrinya segera mengalihkan kepada cerita lain. Cerita masa- masa SMA dulu. Dia tidak ingin saya merasa rikuh dengan perjumpaan yang membahas pembicaraan- pembicaraan seperti. Hingga kemudian, saat akan pulang, Dudung menyelipkan secarik kertas ke dalam saku jaket - sambil menunjukkan aba- abanya dengan tangan ke arah kuping, yang maksudnya ,  “Telepon lah..dia .“ - yang beberapa waktu kemudian baru tahu, bahwa itu adalah nomer teleponnya si Butet.

 

”Ah kauw….. u ! ”

 

 

---0000---

 

Dalam perjalanan ke Tilburg dari Amsterdam, saat akan keluar dari stasiun bus di Eindhoven, saya dicegat secara tidak sengaja oleh seseorang untuk menanyakan di mana tempat ‘peron’ ke Utrecht. Dari perawakannya, saya mengira, kalau tidak Filipino, pasti orang Thai. Sekurang- kurangnya orang China. “Caem juga nih cewe... “ begitulah dalam hati saya berkata.

 

Tapi karena tergesa- gesa, saya tidak terlalu konsentrasi dan sungguh- sungguh untuk menjadikannya penasaran. Hingga kemudian, secara kebetulan, beberapa hari setelah itu saya menjumpainya lagi di kafetaria suatu perusahaan, tempat di mana saya melakukan riset dengan kawan- kawan saya dari TU Eindhoven.

 

 

Dari nama yang saya lihat di tag yang dipakainya, saat itu menyangkakan: kira- kira 30 banding 70  persen , kemungkinannya  adalah orang Indonesia. “ Ah…kalo Filipino, gimana hayo… Atau Thai ? “ Mungkin itulah pertanyaannya, seperti juga yang menjadi pergumulan dalam hati saya.

Namun, karena ‘diniatin’, sekalipun menurut orang lain caranya adalah ‘pengecut’ - karena tidak langsung bertanya, tetapi lewat ‘jalur’ informal (cie ileh.., jalur informal cui..) - maka semakin menambah keyakinan bahwa si dia adalah orang Indonesia. Dan ini juga, baru berani ditanyakan secara langsung dan basa- basi, ketika secara tidak sengaja semeja di kafetaria. (busyet…maksain bener, nga sengajanya yah.. ?)

 

“Oh…orang Indonesia juga, ya..” katanya dengan datar menyambut basa- basi tadi. Hingga setelah itu menjadi akrab dan terbiasa. Bahkan, beberapa kali coba mengajaknya di ujung minggu untuk keluar. Tapi selalu ditolaknya dengan halus. “Dah punya cowok, kali ? ” (Hatiku hancur mengenang dikau…berkeping- keping jadinya, kaya lagu Teti Kadi aja! Alaah ngaco...)

Sampai beberapa minggu kemudian, ketika harus kembali karena riset dengan teman- teman dari TU Eindhoven telah selesai, ketika di Bandara Amsterdam setelah turun dari taksi, tiba- tiba suara ‘dampratan’ itu terdengar lagi,” Bodat !”

 

“Hah? “ dalam hati bertanya. Sambil menoleh ke arah belakang. Dan...ternyata, terlihat si Dudung yang ‘gila’ itu lagi.

 

“Bagudung…” saya membalas ucapannya.

 

“Nanaonan maneh di dieu ?” Sekali lagi tanya itu menghunus dan menusuk- nusuk perasaan.

Kali ini, tidak mungkin kan saya jawab sedang nguseup belut. (red. macing belut) Masa nga selesai- selesai dari dulu.  Ah.., tapi nga mungkin juga kan saya pilih sedang ,"Mancing lele." Ah gila juga ni orang. Sering banget kebetulannya. Demikian saya coba menyabari hati sendiri.

Sambil terlihat, dia membawa trolley dibarengi keluarganya dan..... ”Ach..., bukankah perempuan itu, yang kujumpa di tempatku riset ?” Dalam hati menyesali bercampur cendol..., eh campur deg- degan deng...

 

”Maneh nyaho ieu… si Butet...?” sapanya sambil menunjukkan adiknya.

 

”Eh ? ” Dengan terperanjat – mungkin terlihat melongo kaya orang bego seperti ketahuan nyontek – membuat mulut saya terkunci, tidak bisa membalas langsung dengan jawaban. (Untung terkunci, biarpun nga pake gembok. Kalau ngences..gimana, hayo...)

 

”Enya…, Ieu si Butet. Adi Uing. Nu dicaritakeun baheula tea...” tegas Dudung, mendorong- dorong otakku mengingat- ingat apa yang dikatakannya dahulu. “Sia.. tara nelepon- nelepon, nya ? ” katanya seakan- akan menghakimi. (red. Iya..Ini si Butet. Adikku. Yang pernah kuceritakan tempo hari. Lu nga pernah telepon- telepon yah..?”

 

“Aih...?” Sekali lagi  saya dibuat terheran- heran. Padahal, "Sumpah! Saya telepon kok.," begitulah kata hati ingin memprotes. Dahulu, memang hanya sekali saja saya mencoba meneleponnya ke kantor tempat si Butet bekerja di Jakarta. Tetapi, kata orang- orang di sana, dia dikirim ke luar negeri. Diperbantukan di kantor pusat, katanya Dan merekapun tidak tahu nomer teleponnya sekarang. Itupun setelah beberapa kali dicoba telepon ke HP, gagal terus. Masa... jawabannya, "Maaf telepon yang anda tuju sedang ngirit..."

 

”Kunaon, Bud ?” tanya Dudung melihat saya terngaga- nganga. Seperti orang baru kena samber petir. Eh enggak deng. Kalau kena sambar mah pasti 'koit'. Maksudnya nyaris...(red. Kenapa Bud?)

 

”Si Butet ? ”

 

”Enya. Si Butet. Kunaon kitu ? ” Dudung pun terheran- heran melihat rasa aneh di wajah saya.

Ah..nga mungkin kan saya katakan jujur. Merasa aneh karena si Butet dengan dia beda banget. Nanti- nanti malah jangan- jangan disangka, dia dulu waktu bayi sebenernya ketuker di rumah sakit.

 

Namun, sebelum sempat saya menjelaskan semuanya, karena namanya - yang saya tahu - bukanlah Butet. Tetapi perempuan itu, kemudian mengatakan, bahwa kami sebelum ini pernah bertemu. Bahkan, diapun tidak pernah menyangka siapa saya sebenarnya.

 

"Eulueh euleuh  si Eneng.. mani api..api," dalam hati saya menyesali (red. alaah...alaaah.. si Nona kok pura pura banget.)

 

”Ah..untung si Butet teu jadi kawin harita, Bud.” Sambil kemudian si Dudung coba mendekati, dan katanya ”Kumaha…kumaha...,si Butet? ” dengan nada yang seakan- akan , saya harus segera menjawab: okey...(red. Untung si Butet waktu itu nga jadi kawin, Bud. Gimana...gimana..si Butet?)

 

Namun saya hanya senyum...senyum..., coba menyembunyikan perasaan. ”Tengsin eui..” Dalam hati.

 

Tapi karena desakannya yang bertubi- tubi, dan juga si Butet dipaksa untuk menjawab, sehingga seakan- akan kami berdua didakwa di depan pansus Bank Century, maka si Dudung kemudian segera mengangkat handphonenya dan mengatakan dengan semangat ,” Haloo.. Haloo. Ieu Bapak ?  Bapak, ari Si Butet teh geuningan geus patepang jeung si Jawa di dieu… Kumaha ? Enya, di Erport. Si Jawa tea lah…. Si Bodat. Babaturan nu baheula tea. Nu dicaritakeun keur sayah ka Swedia tahun kamari tea. Okeh ? Nya…nya…nya…engke dicaritakeun deui lah saterusna. Bereslah…Okeh ? Sip lah…Sabaraha mangkok. Make lada, teu?” (red. Haloo  Haloo Ini Bapak? Bapak, ternyata si Butet sudah ketemuan dengan orang Jawa itu di sini. Bagaimana ? Iya, di Airport. Orang Jawa itu. Si Monyet. Teman yang dulu. Yang saya pernah ceritakan waktu saya ke Swedia tahun kemarin dulu itu. Oke kan ? Iya Iya Iya..nanti saya ceritakan lagi seterusnya. Bagaimana ? Okey.. ? Sip…ajalah. ...Berapa mangkok. Minta pedes, nga?)

 

 

Hampir- hampir pingsan, saat itu jadinya. Ini tukang baso, apa?  Sampai tumit- tumit kaki gemetar. Limbung. Sambil bertanya- tanya dalam hati. Apa maksud semuanya.

 

”Daek..., tapi era nya, Bud.” ucap si Dudung menggoda. (red. Mau tapi malu- malu, ya Bud) . Tetapi arahnya ditujukan ke si Butet adiknya. Sehingga dia pun tersipu- sipu menjawab pelan ,” si Abang mah.....”

 

”Heuh..., pan baheula ceunah... Sok atuh abang pangneangkeun. Yeuh si Bodat. Kasep. Bageur. Komo lamun dikeker make sedotan limun mah… ” Promosi si Dudung bersemangat. ”Daek nya…daek..nya ? ” ucapnya lagi setengah memaksa. (red. Iya.., kan dulu katanya..tolong abang cariin. Nih si Monyet. Cakep. Baik pula . Apalagi kalau dilihat pake sedotan limun. Mau yah…mau yah…)

 

Promosi yang ‘gila’ ! Padahal nga pake bayar lagih. Gratis. Persis kaya  promosinya kenek angkot Kebon Kalapa - Soreang ," Mahi...Mahi...Lima Tujuh Lima Tujuh.. nya ? Murangkalih dipangkon." (red. Masih cukup...masih cukup. Lima Tujuh Lima Tujuh. Anak- anak dipangku.) (Nga nyambung  pisan..) Sehingga membuat perasaan yang sama- sama malu - "Mudahan- mudahan sama, " begitulah hati berbicara - berkecamuk. Antara rikuh, senang, gembira, berharap, dan.......

 

”Embung ah..jeung onyet mah… ” (red. Saya nga mau ah.. dengan monyet…)

 

“Heuh…heuh…heuh.. Tapi jeung si Bud mah, daek…kan? Sok api- api maneh mah” Ucap si Dudung menyadari untuk mengkoreksi kata- katanya, sambil menggoda. (red. Iya...iya..iya..., tapi dengan si Budi mau, kan. Suka pura pura saja kamu ini...”

 

Sambil kemudian kami sama- sama berjalan dan mendorong trolley- trolleynya hingga ke taxi, di mana mulutnya si Dudung ’nyerocos’ tak habis- habisnya mengucap kepada semua orang yang kami lalui, “Atenson...Atenson...Plis. Atenson...Atenson...Plis. This porsons wil bi merit.” sambil menunjuk ke arah kami berdua. Sehingga semua orang- orang merasa aneh dan senyum- senyum.

 

Seperti juga halnya dengan saya, yang pada akhirnya menangguhkan perjalanan pada saat itu karena diajak ke hotel di mana mereka akan menginap.

 

Hotel..., yang 1 bulan setelah itu, tempat diadakan jamuan pernikahan kami. Pernikahan yang tanpa pernah tahu terlebih dahulu, bagaimana rasanya berpacaran. Langsung Jreng..., eing ing eng... Dan setahun kemudian kami dikaruniai si Butet kecil: Jemima Josephine Evangelista. (Dara cantik yang Tuhan muliakan karena membawa kabar sukacita)

 

”Ah...dunia ini memang kecil....” Begitulah kami mengenang beberapa tahun silam perjumpaan kami di tahun 2006. Aneh, lucu, konyol, ’gempeur’ (red. gemetar), sekaligus menggelikan...

Seperti menggelikannya dia...,eh maaf Lae saya (si Dudung) tadi, yang beratraksi saling bertepuk dan menepuk pundak sendiri dengan menyanyikan lagu permainan anak- anak Sunda:

 

Bang bang kalima lima gobang bang... Bangkong ditengah sawah wah...

Wahai tukang bajigur gur........................ Guru nu gareulis lis....

Lisung kadua dua hulu lu........................ Hulu na si Bang bang bang...

Bangsat maok duwit it……………….…. Duit anu rakyat yat….

Rakyat nu sangsara ra…………….….... Ramana nu saha ha...”

 

Terus kemudian menggebrak lantai untuk mengagetkan simeut (belalang daun) “Prak !” sambil bertanya, “Nu saha... ? ”, agar belalang tadi kakinya menunjuk.(red. punya siapa..?)

 

Serta kemudian segera ditimpali ,”Fak Yu.....” yang kemudian disambut rame- rame ,” Surak barudak...,Yu...." (red. Mari bersorak anak- anak.., Yu..)

 

He he he he....     ”Ah kauw….. u ! "

 

 

Catatan: Kata orang , anak dari orang Jawa yang kawin dengan orang Batak... maka anaknya di sebut Pejabat. Ah saya nga mau. Amit- Amit.  Takut nanti jadi Koruptor. (he he he)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun