Pernahkan Anda berpikir, bagaimana kalau Anda ternyata mengidap penyakit yang serius? Apa Anda memilih untuk tahu dan membuat Keputusan pengobatan untuk diri Anda sendiri? Atau Anda lebih memilih untuk tidak tahu dan mendelegasikan tanggung jawab membuat Keputusan ini kepada anggota keluarga Anda?
 Salah satu prinsip dasar yang harus dipegang untuk menerapkan bioetika dalam hubungan antara dokter dan pasien adalah menghormati autonomi dari pasien. Autonomi artinya adalah berkuasa atas diri sendiri, tentunya dengan syarat bahwa orang tersebut cukup cakap dan kompeten untuk dapat membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan.
 Seberapa jauh seorang dokter harus membuka informasi medis kepada pasien? Apakah demi menghormati autonomi maka seluruh informasi harus diberikan apa adanya? Bagaimana apabila pemberian informasi tersebut berisiko akan memperburuk kondisi pasien?Â
Di Indonesia sebagai sebuah negara yang lebih menganut nilai kolektivisme jika dibandingkan dengan individualisme (1), tentu tidak mungkin untuk dapat mengaplikasikan autonomi penuh tanpa adanya keterlibatan dari keluarga. Namun, membuat keputusan tanpa sama sekali melibatkan pasien, apakah dapat dibenarkan secara etika?Â
Saat keluarga jauh Saya terdiagnosis penyakit yang cukup serius, keluarga inti menginginkan untuk merahasiakan penyakit yang dideritanya. Saat dokter melakukan visite, dokter tersebut bertanya, "Apa sudah di-Yasin-kan?". Entah ini pertanyaan serius atau bercanda, yang pasti kalau ini adalah candaan, bercandanya sama sekali tidak lucu.Â
Asumsi bahwa membaca surat Yasin adalah membimbing seseorang menuju kematian, membuat semangat beliau menjadi pudar dengan cepat. Beliau tidak memahami penyakit yang diderita, dan tidak didampingi dengan baik dalam menerima kabar buruk tersebut. Kondisinya memburuk dengan cepat, dan meninggal tidak terlalu lama kemudian.Â
Apakah kondisi beliau akan lebih baik apabila tidak diberi tahu kondisinya? Atau ini hanya komunikasi yang buruk, yang akhirnya akan berbeda kalau berita buruk tersebut diberikan dengan tata cara yang lebih "sopan"?Â
Sebagai seorang dokter yang bekerja di rumah sakit, Saya mengamati bahwa bukan hal yang jarang keluarga ingin merahasiakan informasi medis dari pasien, dengan alasan untuk melindungi.Â
Ada pasien yang harus menjalani prosedur cuci darah dan keluarga setuju, namun dokter diminta untuk merahasiakannya dari pasien. Bagaimana bisa seorang pasien ditusuk dan dihubungkan pembuluh darahnya dengan mesin, tanpa memberi tahu pasien tersebut prosedur apa yang dijalaninya? Atau seseorang yang harus menjalani kemoterapi, diinfus dan harus menanggung efek samping mual dan lain sebagainya, tanpa diberi tahu apa yang terjadi?Â
Memberitahukan informasi yang sesungguhnya kepada pasien, tentunya dengan tata cara yang baik, sesungguhnya memiliki manfaat bagi pasien. Pemberian informasi buruk yang dilakukan dengan strategi yang tepat, penuh empati dan sensitif terhadap kebutuhan pasien yang beragam akan membantu pasien dan keluarganya dalam menerima kondisinya serta merasa berdaya (2).Â
Saat keluarga "berkomplot" dengan dokter untuk tidak memberi tahu kondisi pasien yang sesungguhnya, tentu telah menyalahi hak pasien untuk tahu kondisinya. Dengan mengetahui, pasien tersebut akan punya waktu untuk menyelesaikan urusan-urusan yang belum selesai, hutang-hutang dapat dilunasi, dan asset dapat dibagi untuk menghindari sengketa keluarga di kemudian hari.Â