Mohon tunggu...
Budianto Supar
Budianto Supar Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pekerja tambang yang ingin menampilkan dunia tambang dari perspektif yang positif. Berusaha berpikir objektif dalam pengaruh pemikiran yang subjektif.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Polemik Sang Penopang

13 November 2016   17:12 Diperbarui: 13 November 2016   17:27 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Usaha Reklamasi Tambang di Batu Hijau (Foto: Lalu Budi Karyadi)

Polemik hadir bersamaan dengan penciptaan manusia pertama. Tidak seperti Malaikat yang tunduk, bagaimana Iblis mempertanyakan secara terbuka keharusannya bersujud pada Adam yang diciptakan dari tanah sedangkan ia merasa lebih mulia karena diciptakan dari api, menjadi catatan awal polemik dalam sejarah manusia yang tertulis dalam kitab suci. Bahkan demi mempertahankan egonya, Iblis rela mendurhakai Penciptanya meski harus diganjar kekekalan menjadi penghuni neraka kelak di akhir zaman. Formulasi polemik dari awal penciptaan sampai akhir pemusnahan selalu sama: egoisme melawan ke-aku-an. Polemik akan terus hadir selama manusia masih menghuni semesta dan berpikir berdasarkan logika egoistisnya. Logis egoistis yang menjadi pangkal polemik. Karena logis menurut satu orang, bisa jadi irasional menurut yang lain.

Tambang. Kehidupan. Dua diksi yang hari ini ditempatkan dalam sekat makna berlawanan. Dua diksi yang menjadi bahan bakar polemik berkepanjangan. Kebanyakan kita memilih untuk menempatkan keduanya pada front berseberangan berdasarkan pengetahuan, pemahaman, dan rekam jejak. Kurang lebih: ketika ada tambang, maka kehidupan di sekitarnya akan hilang. Stigma negatif tambang yang dipanen dari reputasi buruk sebagian pelakunya. Bahkan saya sebagai orang tambang pun mengakuinya: masih ada pelaku tambang yang mengabaikan kehidupan sekitarnya. Sekedar informasi untuk menyesuaikan sudut pandang, saya adalah salah satu pelaku dunia tambang yang mengais hidup di salah satu pelosok Indonesia. Jadi, apa yang saya sampaikan mohon dilihat untuk memperkaya sudut pandang saja. Pun saya tidak dalam kapasitas mewakili seluruh pelaku tambang yang ada.

Kembali ke awal, benarkah tambang dan kehidupan layak dipertentangkan? Mungkin bisa kita telisik dari asal mula keberadaan tambang di bumi ini.

Berawal dari keinginan memudahkan hidup, oleh manusia, batu pertama diambil dari keberadaan alaminya di bumi. Saat itulah kegiatan tambang paling original dimulai. Sederhana saja, hanya untuk alat bantu memotong atau memecah. Sesederhana perkembangan otak manusia saat itu sebelum dijejali beragam-ragam pengetahuan dan logika untuk memanfaatkan segala sesuatu yang berserakan di muka maupun di dalam bumi. Dalam fase panjang keberadaan manusia, bisa dibilang mereka baru saja dilahirkan saat itu. Bertahan hidup berdasar insting. Jadi, bolehlah saya bilang usia pertambangan hanya sedikit lebih muda daripada umur manusia itu sendiri. Boleh juga saya bilang bahwa hakikat tambang adalah untuk memudahkan kehidupan manusia. Bahkan saya menganggap, tambang adalah penopang kehidupan manusia.

Berbicara tambang dan kehidupan di sekitarnya, rasanya akan sangat realistis jika disampaikan oleh orang-orang yang memang terlibat langsung di dalamnya. Para pekerja tambang akan lebih fasih bicara manfaat tambang untuk kesejahteraan. Dan seharusnya mereka fasih juga menyampaikan sumbangsih tambang untuk kehidupan lingkungannya.

Di sisi lain, untuk menyampaikan manfaat tambang bagi kehidupan sekitarnya, tentu masyarakat terkait lebih punya kompetensi menyampaikannya. Masyarakat tidak terbatas hanya yang berada di lingkar tambang, tetapi termasuk juga semua orang yang memiliki ­interest terhadap tambang. Hanya yang perlu dicatat, realistis bukan berarti objektif. Seperti saya dalam hal ini, yang saya sampaikan adalah realitas dunia tambang yang lahir dari subjektivitas percintaan saya dengan dunia gali-menggali dan pekerjaan panjang setelahnya. Saya adalah satu dari ribuan kuli tambang yang berserakan di pelosok-pelosok hutan untuk menggali manfaat yang tersembunyi di alam.

Untuk menyematkan jiwa dalam alur cerita diperlukan penghayatan mendalam. Bila perlu terlibat langsung dalam cerita nyata. Bahkan Raden Saleh sang maestro pun masih merasa perlu mengembara sampai Afrika bersama Hoarce Vernet untuk membuat singa-singa dalam goresan-goresan kuasnya di atas kanvas mengaum ganas menerkam mangsanya. Penghayatan dibutuhkan untuk meminjam jiwa dari sebuah realita, kemudian meniupkannya pada setiap karya. Khusus Raden Saleh, lebih tepatnya penghayatan dan pengembaraannyalah yang menjadikannya sang maestro.

Untuk saya, tak perlulah jauh berkelana sampai Afrika untuk menghayati dunia tambang. Karena saya adalah salah satu pelakunya. Bukan berarti tak perlu referensi. Toh pengembaraan tidak harus dilakukan secara harfiah. Untuk menambah referensi selain yang saya lihat sehari-hari, saya memilih jendela kecil 14 inchi yang bisa membawa saya berpindah dari satu belahan bumi ke belahan bumi lain dalam hitungan detik. Asal bisa menyaring dengan bijak, pengembaraan jenis ini bisa tak kalah bermanfaat dengan pengembaraan harfiah. Hanya… beda sensasi dan biaya saja.

Mengingat tambang dan kehidupan manusia di sekitarnya buat saya serupa dengan mengingat cerita-cerita muasal Andrea Hirata dalam tetralogi Laskar Pelangi-nya. Hanya sudut pandang saja yang berbeda. Dalam kaca mata Andrea Hirata, pekerja tambang penghuni kompleks mewah Meskapai Timah adalah para bedebah antagonis yang abai pada masyarakat sekitarnya. Para penjajah. Mungkin. Karena ternyata tak selamanya Andrea memandang para pekerja tambang sepenuhnya antagonis yang pantas dicaci maki. Pada kenyataannya, ayah tercintanya tak kuasa menolak takdir sebagai kuli tambang yang menggantungkan hidupnya pada salah satu rantai eksploitasi timah di tanah kelahirannya.

Ironis? Bisa jadi. Tetapi itulah realita yang menghantui hampir semua manusia. Atau, mungkin, diksi yang lebih tepat: kontradiktif. Pada satu sisi membenci, di sisi lain mencintai. Satu sisi acuh, sisi lain butuh.

Pertambangan hari ini ketika disandingkan dengan kehidupan lingkungan adalah sebuah kontradiksi jika hanya hanya dilihat sekilas dan dimaknai dari reputasi sebagian perusahaan tambang yang melupakan hakikat keberadaan tambang itu sendiri. Kontradiksi yang semakin kuat aromanya ketika tambang dan lingkungan vulgar dimaknai secara hitam-putih. Makin sahih kontradiksinya ketika motif ekonomi menguasai pelaku dunia tambang dengan mengorbankan lingkungan sebagai kompensasinya. Lingkungan yang saya maksudkan bukan hanya air, pohon, tanah, binatang, udara. Lingkungan dalam hal ini juga termasuk kehidupan manusia di sekitarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun