[caption caption="Menggali harapan (Dokumen pribadi)"]
Kemudian Jumadin, laki-laki kedua yang menyebutkan namanya setelah saya ulurkan tangan sambil menyebut nama saya. Sebelumnya, dia sibuk menyusun bata kering menjadi tumpukan besar yang siap untuk dibakar. Yang ini, sepertinya sudah nama lengkapnya dia sebutkan. Setelah itu tiga orang lainnya bergabung dalam gerombolan.
Obrolan dimulai dengan tanya jawab klasik ketika seseorang bertemu dengan orang lain yang baru pertama dijumpai. Asal, keluarga, sudah berapa lama bekerja, dan hal-hal klasik lainnya. Meski klasik, tapi cara itu terbukti efektif untuk mengetahui siapa teman baru saya dan membuat saya bisa memposisikan diri untuk membaur dengan mereka.
Kelompok ini, yang beranggotakan enam orang, adalah para perantau yang mencoba mencari peruntungan yang sulit mereka temukan di kampung halaman. Sebagian berasal dari Lombok. Sebagian lainnya dari beberapa daerah di Sumbawa.
“Kerja apa saja yang penting bisa untuk hidup dan halal,” kata Jumadin ketika saya tanyakan mengapa dia mau bekerja dengan meninggalkan anak istri jauh di kampung halaman. Pernyataan yang terkonfirmasi dari cerita-cerita selanjutnya dari Jumadin. Pernah menjadi buruh muat kelapa sawit di Jambi. Pernah menjadi buruh pemanen tebu di Lampung. Dan sekarang menjadi pengrajin bata merah selama musim kemarau. Filosofi hidup yang sederhana dan diikuti tindakan nyata dengan bekerja menjual keringat untuk setiap rupiah yang menjadi haknya. Sungguh, saya lebih menghargai tubuh-tubuh lusuh dalam balutan debu ini dibandingkan tubuh-tubuh dalam balutan jas mahal yang dibeli dari uang hasil menjual tipu daya.
Dari cerita Jumadin, saya baru tahu ternyata pekerjaan membuat bata merah ini hanya mereka lakukan di musim kemarau dengan meminjam modal dari seseorang yang mereka sebut “Boss” yang juga pemilik tanah yang mereka garap dengan sistem bagi hasil. Dua puluh persen dari setiap bata merah yang sudah siap jual akan menjadi bagian dari pemilik tanah. Sisanya akan dipakai untuk biaya operasional mulai dari biaya untuk pembelian kayu bakar, biaya makan sehari-hari, biaya pembelian bahan bakar untuk generator dan biaya-biaya lainnya. Jika ada sisanya, maka itulah bagian yang bisa mereka simpan sebagai hasil jerih payah.
Pekerjaan dimulai ketika matahari belum melewati hadangan bukit-bukit di sisi timur. Diawali dengan mempersiapkan adukan tanah liat sebagai bahan baku pembuatan bata, dilanjutkan dengan mencetak adukan tanah liat menjadi keping-keping bata basah yang terhampar rapi di atas tanah. Terik matahari akan membantu proses pengeringan setiap keping bata. Ini pula alasan mengapa pekerjaan ini hanya mereka lakukan di musim kemarau.
[caption caption="Proses pengeringan bata dengan bantuan angin dan matahari (Dokumen pribadi)"]
[caption caption="Proses pembakaran bata menggunakan kayu bakar (Dokumen pribadi)"]
Tubuh lusuh, tenda kumuh. Cukup menambahkan wajah memelas dengan mata sayu, saya yakin akan banyak orang jatuh iba. Tapi mereka tidak memilihnya. Jauh dari keluarga, bekerja dari sebelum terbit sampai terbenam matahari, terpapar terik sampai legam kulit serupa tembaga. Itulah yang mereka pilih dan jalani sampai butir pertama hujan jatuh di penghujung kemarau. Tidak untuk berdiam diri setelahnya tentu saja. Tapi menentukan pilihan lain untuk menyambung hidup mereka dan orang-orang yang mereka cintai. Pilihan yang sebenarnya tersedia bagi mereka yang mau berusaha; meski tak banyak.
Obrolan sore itu berakhir dengan salam, hembusan angin yang mulai berisik dan langit sore yang bergradasi menuju pekat. Sempat terpikir betapa ironis: para pembuat dinding justru tidur tanpa dinding penyekat antara mimpi dan angin malam. Hanya tenda-tenda dari terpal warna-warni yang hilang digdaya saat angin makin berisik menjelang subuh nanti. Meski saya juga yakin, tidur mereka malam ini pasti lebih nyenyak dari mereka yang tidur di kamar mewah bersama setumpuk ambisi duniawi dan beban kerja esok hari.