8 Oktober 2014
Waktu menunjukkan pukul 11.00 ketika saya dan KOTASUBANG.com tiba di kampung Karang Asem, Sukamandijaya, Ciasem. Jalan berdebu, cuaca yang terik menemani sepanjang perjalanan saya. Hujan yang tak kunjung turun, membuat sawah-sawah di sana tak ditanami, kering kerontang sejauh mata memandang. Tanah sawahnya tampak retak-retak, tanda sudah lama tak diguyur air. Sisa-sisa batang jerami masih tertanam dan mengering diantara tanah yang retak-retak itu.
Namun di satu bagian pesawahan itu terdapat petak sawah yang masih berair. Hanya beberapa petak saja, sehingga juga dibiarkan terbengkalai oleh pemiliknya. Petak sawah yang berair itu dikerubuti ratusan bebek yang mencari makan diantara keringnya pesawahan.
Saya sedikit termangu, mungkin beginilah kira-kira suasana Mang Parman kecil ketika menggembalakan ternak, sambil bermain empet-empetan dari sisa batang padi di Karang Asem tempat kelahiran beliau.
Parman alias Maman Suparman alias Rasman alias Mang Peot, nama yang juga baru saya tahu dari internet beberapa tahun lalu. Beliau adalah seorang anak gembala yang kemudian karena kreatifitasnya bisa menciptakan sebuah master piece berupa alat musik yang kemudian dinamakan Toleat. (baca juga : Odo Wikanda, Sang “Penemu” Maetro Toleat)
Sekali lagi, beliau cuma seorang anak gembala, bukan sarjana musik dan bukan seniman pada awalnya, tapi kemudian bisa membuat karya besar. Itulah yang membuat beliau istimewa, dan karena itulah saya kemudian harus ke Karang Asem tempat kelahiran beliau untuk mencari keberadaan beliau yang kabarnya menghilang dari Subang sejak tahun 1997.
Setelah sedikit tersasar akhirnya saya bertemu dengan Kartim seorang guru SD Kerta Nugraha, Karang Asem. Ternyata Kartim bersama kawan-kawannya pernah belajar Suling kepada Mang Parman meski cuma 2 bulan lamanya. Setelah itu menurut Kartim, Mang Parman pergi entah kemana.
Seingatnya dulu, mang Parman sering ditanggap warga yang sedang panen untuk maen Toleat atau Suling di sawah.
Di Karang Asem juga saya bertemu dengan Uslim. Dia adalah teman Mang Parman menggembalakan kerbau waktu kecil. Uslim bercerita, sambil menggembala kerbau mereka dulu suka bermain empet-empetan dan suling di sawah dan dari dulu bakat Mang Parman sudah terlihat.
“Dari 12 teman saya menggembala, yang paling jago main suling ya Rasman (Mang Parman),” kata Uslim.
Kemudian setelah mencari tahu, dapat diketahui ternyata di Karang Asem masih terdapat seorang keluarga Mang Parman. Namun, satu-satunya keluarga Mang Parman tersebut saat itu tidak ada di rumah dan baru pulang sore hari. Karena takut pulang terlalu sore, akhirnya saya meminta bantuan Kartim untuk meminta informasi tentang Mang Parman kepada keluarganya tersebut.
Malam harinya, saya kemudian mendapat kabar mengejutkan dari Kartim. Mang Parman sudah meninggal katanya. Sudah terlambat, pikir saya…
9 Oktober 2014
Kamis pagi pencarian jejak Mang Parman saya lanjutkan. Meskipun sudah dipastikan Mang Parman meninggal namun setidaknya saya bisa berziarah ke makam Mang Parman. Berbekal nomor kontak yang diberikan Kartim, saya kemudian menuju Karawang dan menemui Ratim, yang ternyata keponakan Mang Parman.
Setelah sebelumnya saling kontak, kemudian kami bertemu di pasar Kosambi. Tak lama, Ratim kemudian mengajak saya ke rumahnya Mang Parman. Dari pasar Kosambi kami mengarah ke jalan raya Curug. Di perjalanan Ratim banyak bercerita mengenai Mang Parman. Ia mengatakan Mang Parman meninggal tanpa di dahului sakit parah.
“Ia hanya meriang, kemudian minum obat lalu tidur di kamar. Tapi kemudian ia tidak bangun lagi,” kata Ratim.
Beberapa kilometer kemudian, kami berbelok melalui jalan tak beraspal penuh debu. Rupanya jalan ini dahulu bekas lalu lalang kendaraan pengangkut pasir. Daerah itu terlihat kumuh dan tidak nyaman. Tak berapa lama kemudian kami berbelok melalui gang kecil, sebuah jembatan kayu tua langsung menyambut kami. Harus ekstra hati-hati saya melewatinya, kalau tidak, saya bisa terjatuh ke dalam kali yang airnya tak mengalir, berwarna hijau dan berbau.
Setelah menyebrangi jembatan tibalah saya di kediaman sang Maestro. Anda pasti akan terkejut, sesak, sedih, bingung mau menyalahkan siapa, menyesal atau mungkin menangis melihat kediaman sang Maestro ini. Ternyata sisa hidupnya ia habiskan hanya dalam sebuah rumah sangat sangat sederhana sekali. Rumah yang hanya berukuran kira-kira 5 x 10 meter berdinding bilik bambu. Sungguh tak sebanding dengan karya cipta yang telah ia berikan untuk Subang, untuk masyarakat sunda dan untuk dunia seni. Mang Parman tinggal bersama istri dan 2 orang anaknya di rumah tersebut.
Di sana saya bertemu dengan Tasem, istri mang Parman. Tasem bercerita mengenai kegiatan sehari-hari Mang Parman di sana.
“Kalau tidak ada jadwal manggung, paling Bapak jualan di sekolahan atau paling menjala ikan di danau,” kata Tasem.
Kemudian saya diantar ke tempat peristirahatan terakhir Mang Parman oleh Abdullah, tetangganya. Menuju ke sana kami melewati danau di mana Mang Parman biasa menjala ikan. Dalam perjalanan Abdullah bercerita, selain menjala ikan, kalau musim nganggur ia suka ikut Mang Parman ngamen ke pasar-pasar di Pantura. (baca juga : Seniman Desak Pemkab Patenkan Toleat)
“Kalau sepi manggung, Mang Parman suka ngamen ke pasar-pasar sampai ke pasar Pusakanagara,” ungkap Abdullah.
Sungguh ironis, ketika Toleat hasil karyanya mulai dipentaskan di gedung-gedung kesenian, di kampus, di hotel bahkan di mancanegara di saksikan para inohong, disaat yang sama Mang Parman harus mengais recehan dengan Toleatnya di pasar-pasar.
Tak berapa lama, kami sampai di pemakaman umum. Tempat pemakaman kampung tersebut berada di sisi sebuah danau, di tengahnya terdapat pohon besar yang menaungi pemakaman. Sisi lain dari pemakaman ini adalah pesawahan. Pusara Mang Parman hanya berjarak sekitar 2 langkah dari sawah.
Sawah adalah kenangan masa kecilnya. Di sawah, Mang Parman menemukan kebahagian bersama anak-anak gembala, masterpiece Toleat ia ciptakan di pesawahan. Dan kini pembaringan terakhir sang Maestro pun tak jauh dengan sawah. Sebuah siklus perjalanan hidup yang memberi pelajaran buat kita, Dari sawah kembali ke sawah. (baca juga : Perjalanan Mang Parman, “Dari Sawah Kembali ke Sawah“)
Makam Mang Parman dipenuhi semak belukar, tanahnya terlihat retak-retak kekeringan. Pilu, sang Maestro benar-benar seperti diabaikan di akhir hayatnya. Kematiannya tanpa kabar berita, tanpa ucapan belasungkawa apalagi penghormatan.
Terima kasih dan selamat jalan Sang Maestro…..
Video Toleat https://www.youtube.com/watch?v=AzCRTxDwdPU
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H