Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pemimpin yang Buta Rasa

29 Oktober 2024   11:54 Diperbarui: 29 Oktober 2024   12:12 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam lingkup kepemimpinan, tak jarang kita mendengar istilah "pemimpin yang menginspirasi." Mereka digambarkan sebagai sosok yang bijak, mendukung, dan penuh perhatian terhadap tim. Namun, kenyataan di lapangan sering kali jauh dari idealisasi ini. Banyak pemimpin yang, alih-alih mendengarkan suara pegawainya, lebih sibuk mengejar target atau mempertahankan citra diri. Akibatnya, pegawai berada dalam posisi yang rentan, terjebak dalam rutinitas yang tidak peduli pada kesehatan fisik maupun mental mereka. Muncul pertanyaan besar: Apakah pemimpin seperti ini layak disebut pemimpin sejati?

Di dunia kerja, hubungan antara pemimpin dan pegawai seharusnya berjalan dua arah, menciptakan lingkungan yang seimbang antara tuntutan kinerja dan kesejahteraan pegawai. Namun, semakin sering kita melihat pemimpin yang memilih mengabaikan tanda-tanda jelas bahwa pegawai mereka mulai kewalahan. Ketika para pegawai terus bekerja hingga larut malam, membawa pekerjaan ke rumah, atau merasa terbebani secara mental, pemimpin yang baik seharusnya dapat melihat ini sebagai sinyal peringatan. Tetapi sayangnya, banyak pemimpin memilih untuk memalingkan wajah, seolah kelelahan ini adalah sesuatu yang seharusnya diterima dengan lapang dada.

Sikap abai ini sering kali berawal dari pola pikir yang keliru, yaitu melihat pegawai sebagai aset belaka, angka dalam laporan produktivitas, bukan sebagai manusia. Ketika seorang pemimpin hanya peduli pada target dan performa, ia menganggap kesejahteraan pegawai hanyalah faktor sekunder. Padahal, kesejahteraan adalah faktor penentu yang berpengaruh langsung pada produktivitas jangka panjang. Dalam situasi semacam ini, pegawai yang tidak mampu atau enggan menyuarakan masalah mereka sering kali akan menjadi korban dari sikap abai ini. Mereka diam karena takut dianggap lemah atau tidak kompeten, sementara perlahan tapi pasti kesehatan mental dan fisik mereka terkikis.

Ironisnya, di era yang semakin terbuka dengan topik kesehatan mental, masih banyak pemimpin yang belum bisa melihat pentingnya mendukung kesejahteraan pegawai. Mereka mungkin mengadakan seminar kesehatan atau menyediakan konseling sebagai formalitas, tetapi ketika pegawai sungguh-sungguh meminta kelonggaran karena beban kerja yang berat, responsnya adalah mengalihkan atau bahkan mengabaikannya. Upaya formal ini hanya menambah ironi: perusahaan tampak peduli dari luar, tetapi di dalam, tekanan untuk mencapai target tetap mendominasi.

Dalam konteks ini, kita bisa melihat sebuah contoh nyata dalam bentuk fenomena "quiet quitting," yaitu saat pegawai memilih melakukan hanya apa yang benar-benar dibutuhkan dalam pekerjaannya tanpa antusiasme lebih. Quiet quitting tidak muncul begitu saja; ia adalah hasil dari perasaan frustrasi dan kekecewaan karena tuntutan kerja yang terus menumpuk tanpa adanya perhatian dari pemimpin. Alih-alih berkolaborasi dengan tim untuk mengatasi masalah beban kerja yang berat, pemimpin abai hanya memperkuat tembok pemisah antara dirinya dan para pegawai.

Lebih parahnya lagi, beberapa pemimpin dengan bangga menganggap "menuntut" sebagai tanda kepemimpinan kuat, tanpa memahami bahwa permintaan berlebihan ini berpotensi merusak kesehatan pegawai. Pemimpin yang memaksakan jam kerja tambahan atau mengharapkan ketersediaan di luar jam kerja resmi, pada dasarnya sedang membangun budaya kerja yang toksik. Bahkan, pegawai yang seharusnya berada dalam posisi ideal untuk berkarya, justru terjebak dalam pola pikir "bertahan hidup" di lingkungan kerja yang tidak peduli akan kesejahteraan mereka.

Kepemimpinan yang efektif harus mencerminkan sikap empati dan kepekaan terhadap kondisi tim. Pemimpin sejati adalah mereka yang memahami bahwa pegawai bukanlah mesin, melainkan manusia dengan batas energi dan kebutuhan yang perlu dipenuhi. Sikap abai yang mengabaikan kesejahteraan pegawai hanya akan menciptakan ketidakseimbangan yang berdampak buruk bagi produktivitas organisasi secara keseluruhan. Tanpa kepercayaan dan hubungan baik antara pemimpin dan pegawai, loyalitas akan sirna, produktivitas akan menurun, dan akhirnya organisasi akan kehilangan talenta yang berharga.

Jadi, jika Anda seorang pemimpin, mulailah bertanya pada diri sendiri: sudahkah Anda benar-benar peduli pada kesejahteraan tim? Apakah Anda sekadar menginginkan hasil, ataukah Anda memahami bahwa keberhasilan tim adalah keberhasilan Anda juga? Seorang pemimpin yang baik tahu kapan harus mendorong, dan yang lebih penting, tahu kapan harus merangkul.

Pemimpin yang tidak memahami kesejahteraan pegawai pada akhirnya hanya akan menciptakan suasana kerja yang dingin dan kaku, di mana pegawai bekerja karena keterpaksaan, bukan karena keinginan untuk berkembang bersama. Jika kita ingin membangun organisasi yang kuat dan berdaya tahan, kita harus mulai menghargai pegawai sebagai aset manusia yang bernilai. Karena pada akhirnya, organisasi yang sehat adalah organisasi yang melihat setiap individu sebagai bagian penting dari kesuksesan bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun