Di sebuah warung kopi "Target Cita," Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal berkumpul dengan secangkir kopi di tangan. Di luar, bunyi klakson mobil dan suara bising kota membuat suasana semakin terasa padat. Dalam percakapan yang akrab, mereka mulai mendiskusikan hidup yang selalu dikejar target.
Kobar, yang sering berpikir dalam, menghela napas. "Teman-teman, apakah kalian merasa hidup ini hanya tentang mengejar target? Seolah-olah setiap langkah kita harus mengarah ke pencapaian yang diinginkan?"
Kahar, yang suka dengan drama, langsung merespons. "Oh, Kobar! Dalam sinetron, tokoh utama selalu dikejar oleh impian. Mereka tidak hanya berlari, tetapi juga berhadapan dengan konflik yang bikin greget. Kenapa kita tidak bisa berhenti sejenak dan menikmati prosesnya?"
Badu, si realistis, menambahkan. "Tapi, Kahar, hidup dikejar target memang kenyataan. Kita harus membayar tagihan, memenuhi ekspektasi orang lain, dan mengejar impian yang kadang tidak realistis. Kita terlalu fokus pada hasil dan lupa menikmati proses."
Rijal, si optimis, mencoba mencari solusi. "Mungkin kita perlu meredefinisi apa itu target. Alih-alih hanya berfokus pada pencapaian besar, kita bisa menetapkan target kecil yang membuat kita bahagia. Setiap pencapaian kecil bisa menjadi sumber kebahagiaan."
Kobar mengangguk. "Itu ide yang baik, Rijal. Misalnya, alih-alih memikirkan kenaikan gaji yang besar, kita bisa menjadwalkan waktu untuk bersenang-senang atau melakukan hal-hal yang kita cintai. Dengan cara itu, kita tetap bergerak tanpa merasa tertekan."
Kahar, yang selalu bersemangat, berkata, "Nah, bagaimana kalau kita membuat tantangan untuk diri kita sendiri? Setiap minggu, kita akan menetapkan satu target kecil yang menyenangkan. Misalnya, satu hari tanpa pekerjaan atau menghabiskan waktu dengan hobi."
Badu berkomentar, "Tapi jangan sampai kita mengabaikan tanggung jawab! Kita tetap harus menyelesaikan pekerjaan kita. Kita tidak bisa bersembunyi dari kenyataan hanya demi bersenang-senang."
Rijal menambahkan, "Dan jika kita merasa terjebak, kita bisa saling mengingatkan untuk tetap fokus pada target yang membawa kebahagiaan. Kita harus menjadi penyeimbang satu sama lain."
Saat pembicaraan semakin seru, Pak Joko, pemilik warung, mendekat. "Anak-anak, hidup dikejar target itu seperti bermain bola. Kadang kita harus menendang bola ke arah yang benar, kadang kita harus melewati rintangan. Yang terpenting adalah menikmati permainan, bukan hanya melihat ke arah gawang."
Kahar, dengan nada bercanda, berkata, "Jadi kita harus berlatih jadi pemain bola yang handal? Atau mungkin jadi pelatih yang baik? Hahaha!"