Rijal, dengan ekspresi ragu, menunjukkan lukisannya. "Dan ini... ini adalah lukisan penuh harapan dengan warna hijau. Aku ingin menciptakan suasana segar, tapi... entahlah, sepertinya aku kurang percaya diri."
Kobar mencoba memberi semangat kepada Rijal. "Ayo, Rijal! Ini adalah proses, bukan hasil akhir. Setiap warna punya makna sendiri, dan karyamu tetap memiliki arti!"
Kahar mengangguk. "Betul! Bahkan jika lukisanmu tidak seperti yang kau bayangkan, itu tetap mencerminkan dirimu."
Badu menambahkan, "Setiap warna memiliki ceritanya sendiri! Kuningku, meski terlihat cerah, juga bisa menggambarkan kebangkitan setelah kesedihan. Misalnya, setelah hujan, matahari kembali bersinar!"
Setelah berdiskusi, mereka semua menyadari bahwa makna warna bukan hanya terletak pada simbolisme yang umum, tetapi juga pada pengalaman pribadi dan emosi masing-masing.
"Jadi, apa yang kita pelajari?" Kobar bertanya sambil tersenyum. "Makna warna bisa sangat subjektif. Apa yang satu orang lihat, bisa berbeda bagi orang lain."
"Dan setiap warna punya kekuatan untuk menggugah emosi!" Kahar menambahkan. "Entah itu kebahagiaan, kesedihan, atau harapan."
Badu dengan semangat berteriak, "Kita semua memiliki cara unik dalam mengekspresikan diri kita! Mari kita terus mengeksplorasi warna dan maknanya!"
Rijal, yang mulai merasa lebih percaya diri, berkata, "Dan mari kita jangan takut untuk bereksperimen! Setiap percikan cat yang kita buat memiliki makna."
Mereka semua sepakat untuk menggantung lukisan masing-masing di dinding kafe, menciptakan galeri mini yang penuh warna dan cerita. Dengan senyuman, mereka menyadari bahwa dalam seni, warna bukan hanya tentang estetika---tetapi juga tentang makna, perasaan, dan kebersamaan.
Kafe itu pun menjadi saksi sebuah kolaborasi, di mana setiap warna dan lukisan berbicara, menyatukan kisah masing-masing dalam satu karya seni yang tak terlupakan.