Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya Suap: Antara Kebiasaan dan Budaya Korupsi

25 Oktober 2024   17:28 Diperbarui: 25 Oktober 2024   17:28 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suap bukan sekadar fenomena hukum yang melanggar aturan, tetapi telah merasuk ke dalam nadi kehidupan masyarakat kita. Di Indonesia, budaya suap kerap terjadi dari tingkat terkecil hingga yang paling tinggi, bahkan dalam keseharian yang tampak biasa. Apakah kita sudah terlalu terbiasa dengan suap sehingga sulit membedakan antara praktik yang sah dan perilaku korup yang telah membudaya?

Kenyataan ini begitu relevan dan dekat dengan kehidupan kita. Misalnya, kita sering mendengar cerita tentang orang tua yang memberikan "uang terima kasih" kepada guru atau kepala sekolah agar anaknya diterima di sekolah tertentu. Di kantor pemerintahan, bukan rahasia lagi jika urusan administrasi bisa selesai lebih cepat dengan "bantuan" amplop. Bahkan di jalanan, pelanggaran lalu lintas kerap diselesaikan dengan sogokan, yang tak jarang dianggap lebih praktis ketimbang menjalani prosedur hukum resmi.

Apa yang Membuat Suap Berakar?

Suap tidak terjadi dalam ruang hampa. Ini adalah gejala dari masalah yang lebih besar: ketidakpercayaan terhadap sistem. Ketika masyarakat merasa bahwa aturan yang ada tidak memihak mereka, mereka mencari jalan pintas. Di sinilah letak ironi budaya suap; bukannya memperbaiki sistem yang tidak adil, kita justru semakin mengukuhkan ketidakadilan tersebut dengan melanggengkan praktik korupsi.

Masyarakat merasa bahwa membayar suap adalah cara paling efisien untuk mengatasi birokrasi yang berbelit. Namun, alih-alih menyelesaikan masalah, suap justru menambah lapisan ketidakadilan. Yang bisa membayar lebih akan mendapat prioritas, sementara yang tidak mampu harus rela tertinggal di belakang. Dengan kata lain, suap menciptakan ketimpangan sosial yang semakin melebar, memperburuk keadaan yang sudah tidak adil.

Suap dan Normalisasi Korupsi

Normalisasi suap adalah bentuk penerimaan diam-diam terhadap korupsi. Orang-orang sering berpikir bahwa "uang pelicin" hanyalah bagian dari cara kerja sistem, sesuatu yang lumrah dan tidak terlalu buruk. Namun, ketika praktik ini terus dibiarkan, tanpa disadari kita mendukung budaya korupsi secara keseluruhan.

Dalam banyak kasus, praktik suap bukan hanya tentang uang, tetapi juga kekuasaan. Orang-orang yang terlibat dalam praktik ini sadar bahwa mereka bisa membeli akses, kekuasaan, dan bahkan hak-hak yang seharusnya diperoleh secara adil. Hal ini memperkuat posisi mereka yang berada di atas, sementara mereka yang di bawah semakin kesulitan untuk mencapai tingkat yang sama. Akibatnya, perputaran ekonomi dan kesempatan dalam masyarakat menjadi tidak merata, memperparah masalah ketidakadilan.

Dampak Terhadap Generasi Muda

Salah satu dampak paling merusak dari budaya suap adalah pengaruhnya terhadap generasi muda. Ketika anak-anak melihat orang dewasa di sekitar mereka terlibat dalam suap, mereka akan menganggap praktik tersebut sebagai sesuatu yang normal. Ini adalah warisan buruk yang kita tinggalkan untuk mereka. Jika sejak kecil mereka terbiasa melihat bahwa suap adalah cara untuk mencapai tujuan, bagaimana kita bisa berharap mereka tumbuh menjadi individu yang jujur dan berintegritas?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun