Kahar langsung tertawa terbahak-bahak. "Hahaha! Bayangin, bro! Ada aplikasi khusus buat pengadaan proyek. Klik 'approve' buat mark up anggaran, terus ada notifikasi, 'Proyek anda berhasil digelembungkan!'"
Badu yang biasanya penuh kritik, kali ini menambahkan dengan nada yang lebih pedas. "Bener banget! Dulu kita sibuk ngomongin korupsi manual. Sekarang, tinggal klik-klik. Semua jadi lebih modern, lebih canggih, tapi intinya tetap sama---nyari untung buat diri sendiri."
Rijal menghela napas, mencoba membawa pembicaraan ke arah yang lebih serius. "Gue ngerti kalian skeptis, tapi kita juga harus inget, harapan itu penting. Tanpa harapan, apa lagi yang kita punya? Gue cuma berharap pemerintahan baru ini benar-benar membawa perubahan, walau mungkin nggak instan."
Kobar tersenyum tipis, kali ini dengan nada lebih serius. "Gue nggak bilang harapan itu nggak penting, Ji. Tapi harapan yang nggak diiringi aksi nyata cuma jadi bahan lelucon. Setiap kali ada presiden baru, kita diiming-imingi sama janji yang bikin kita berharap. Tapi begitu roda pemerintahan jalan, semuanya balik ke pola lama."
Kahar mengangguk. "Setuju. Harapan itu bagus, tapi harus realistis. Kita sering banget dibuai sama janji-janji besar yang ujung-ujungnya cuma jadi angan. Harusnya kita belajar buat nggak gampang percaya."
Badu, yang biasanya paling skeptis, kali ini menutup obrolan dengan nada yang lebih dalam. "Era baru, harapan baru. Itu slogan yang selalu dipakai. Tapi harapan sejati bukan soal siapa yang jadi pemimpin, melainkan apakah rakyatnya bisa terus berjuang dan nggak cuma nunggu perubahan dari atas."
Rijal tersenyum, menyetujui kata-kata Badu. "Gue setuju. Kalau rakyat berhenti berharap sepenuhnya pada pemerintah dan mulai bergerak sendiri, mungkin kita bisa lihat perubahan yang lebih nyata."
Kobar menyeruput kopinya, lalu dengan tenang berkata, "Mungkin pemerintahan baru ini akan membawa beberapa perubahan. Mungkin juga nggak. Tapi satu hal yang pasti: kita nggak bisa terus-terusan berharap pada orang lain buat memperbaiki negeri ini. Kita juga harus jadi bagian dari solusi."
Mereka semua terdiam, tenggelam dalam renungan masing-masing. Era pemerintahan baru selalu membawa harapan baru, tapi di balik segala janji-janji manis, mereka tahu bahwa perubahan sejati tidak datang hanya dari satu sosok pemimpin, melainkan dari kesadaran bersama bahwa masa depan bangsa ada di tangan semua orang.
Sambil meneguk sisa kopi, Kobar tersenyum tipis. "Yah, setidaknya, kita masih punya kopi dan warung ini buat jadi saksi setiap kali era baru datang dan pergi."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H