Di sebuah warung kopi di sudut kota, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal berkumpul untuk mendiskusikan situasi politik terkini. Suasana hangat warung yang dikelola Pak Surya itu menjadi panggung bagi mereka untuk melontarkan pendapat yang penuh kritik, kali ini tentang keputusan baru-baru ini yang membuat mereka harus "menjadi partai oposisi".
Kobar, yang dikenal sebagai pengamat politik amatir, membuka pembicaraan. "Eh, guys! Lu pada setuju nggak sih kita jadi partai oposisi? Kayaknya lebih asyik, deh!"
Kahar, yang selalu optimis, mengangkat alis. "Oposisi? Serius, Bor? Kenapa kita harus jadi oposisi? Kita kan bukan politikus!"
Badu, dengan wajah serius tapi tertawa, menimpali. "Iya, Bor. Kita bukan cuma oposisi, kita bisa jadi 'Oposisi Bercanda'! Dengan tagline: 'Kami Kritik, Kami Tertawa!'"
Rijal, yang dikenal cerdas, berusaha menganalisis situasi. "Tapi, guys, menjadi oposisi itu bukan sekadar bercanda. Kita harus bisa menunjukkan bahwa kita punya alternatif yang lebih baik. Nggak cuma nyinyir!"
Kobar mengangguk. "Bener juga, Ji. Tapi kita bisa melakukannya dengan cara yang lebih fun! Misalnya, kita bikin program 'Kritik Kreatif'. Setiap minggu, kita adakan open mic untuk menyampaikan pendapat, tapi dengan gaya komedi!"
Kahar terlihat tertarik. "Wah, itu ide bagus! Kita bisa ajak semua kalangan, dari mahasiswa sampai ibu-ibu PKK. Sambil ngopi, sambil dengerin kritik!"
Badu langsung menimpali. "Dan jangan lupa, kita bisa bikin booth foto dengan latar belakang 'Oposisi Bercanda'! Biar semua orang bisa berpose dan mengekspresikan pendapatnya!"
Rijal tersenyum mendengar ide itu. "Kita juga bisa bikin kontes meme tentang politik. Siapa yang bisa bikin meme paling lucu tentang kebijakan pemerintah?"
Kobar terlihat semangat. "Iya, dan yang menang bisa dapat 'Gelar Oposisi Terbaik'! Kita bisa bikin pengumuman di medsos supaya lebih banyak orang terlibat."