Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pulang Sekolah dan Les hingga Malam

21 Oktober 2024   14:59 Diperbarui: 21 Oktober 2024   15:06 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat bel sekolah berbunyi, menandakan akhir dari hari yang panjang, anak-anak dan remaja bergegas pulang dengan harapan bisa bersantai sejenak. Namun, harapan itu sering kali sirna saat mereka menyadari bahwa waktu istirahat hanya berlangsung singkat. Sebagian besar dari mereka harus bersiap-siap untuk melanjutkan rutinitas yang tak kalah melelahkan: les hingga malam. Pertanyaannya, apakah kebiasaan ini benar-benar membantu mereka belajar, ataukah ini hanya menambah beban di pundak anak-anak yang seharusnya menikmati masa kecil mereka?

Di satu sisi, fenomena les setelah sekolah memang dipandang sebagai usaha untuk meningkatkan prestasi akademik. Dalam masyarakat yang sangat kompetitif, nilai-nilai di sekolah sering kali menjadi tolak ukur keberhasilan. Orang tua berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anak mereka dengan harapan agar mereka dapat bersaing di dunia pendidikan yang semakin ketat. Namun, apakah kita benar-benar memahami apa yang terjadi di balik tirai ambisi ini?

Satu hal yang sering terabaikan adalah kesehatan mental dan fisik anak-anak. Keterpaksaan untuk mengikuti les hingga malam menciptakan tekanan yang luar biasa. Anak-anak tidak hanya menghadapi tugas dan ujian di sekolah, tetapi juga harus berjuang untuk memenuhi ekspektasi yang mungkin tidak mereka inginkan. Mereka terjebak dalam siklus belajar yang tiada henti, yang menghilangkan waktu untuk bersosialisasi, beristirahat, atau mengeksplorasi minat dan bakat lain di luar pelajaran.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa stres berkepanjangan dapat berdampak negatif pada kesehatan mental anak. Kecemasan, depresi, dan kelelahan fisik menjadi masalah yang kian umum di kalangan pelajar. Dalam upaya mengejar prestasi akademik, kita sering melupakan bahwa anak-anak juga membutuhkan waktu untuk bermain, bereksplorasi, dan belajar dari pengalaman hidup, bukan hanya dari buku pelajaran. Bagaimana mereka bisa tumbuh menjadi individu yang utuh jika segala sesuatunya berputar di sekitar nilai dan pelajaran formal?

Belum lagi, ada pertanyaan tentang efektivitas dari les itu sendiri. Meskipun les dapat memberikan tambahan materi dan pemahaman, sering kali anak-anak merasa lelah dan kehilangan konsentrasi setelah seharian berada di sekolah. Pembelajaran yang seharusnya menyenangkan dan menarik berubah menjadi beban yang membuat mereka enggan untuk belajar. Dalam banyak kasus, anak-anak lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan hobi atau bersosialisasi dengan teman-teman mereka, yang sebenarnya bisa menjadi bentuk pembelajaran yang lebih berharga.

Masyarakat perlu mempertimbangkan kembali pendekatan terhadap pendidikan. Mengapa kita tidak mencoba untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih seimbang? Pendidikan tidak hanya soal prestasi akademik, tetapi juga tentang pengembangan karakter dan keterampilan sosial. Mengintegrasikan aktivitas kreatif, olahraga, dan waktu untuk bersosialisasi dalam kurikulum sekolah bisa menjadi langkah awal yang baik. Dengan demikian, anak-anak tidak hanya mendapatkan pengetahuan, tetapi juga belajar untuk menghargai diri mereka dan lingkungan mereka.

Tentu saja, peran orang tua sangat penting dalam hal ini. Komunikasi terbuka antara orang tua dan anak tentang harapan dan tujuan pendidikan sangatlah krusial. Orang tua perlu mendengarkan keinginan anak dan memberi mereka kesempatan untuk berbicara tentang apa yang mereka rasakan. Apakah mereka merasa terbebani? Apakah mereka memiliki minat lain yang ingin dieksplorasi? Dengan memahami pandangan anak, orang tua dapat membantu mereka menemukan keseimbangan yang lebih baik antara belajar dan bersenang-senang.

Dalam jangka panjang, kita perlu membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya kesehatan mental dalam pendidikan. Sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan harus menyediakan dukungan yang cukup bagi siswa untuk mengatasi tekanan yang mereka hadapi. Kegiatan-kegiatan yang mendorong kreativitas dan kolaborasi, seperti proyek kelompok atau kelas seni, dapat membantu menciptakan suasana belajar yang lebih positif.

Kita hidup di era di mana informasi dan teknologi berkembang pesat. Pendidikan tidak lagi sebatas pelajaran di kelas, tetapi juga meliputi kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan. Mari kita berinvestasi pada masa depan anak-anak kita dengan memberi mereka kesempatan untuk tumbuh dan belajar dalam lingkungan yang seimbang, bukan hanya di meja belajar tetapi juga di luar sana, di dunia nyata.

Sebagai penutup, pulang sekolah dan les hingga malam seharusnya tidak menjadi rutinitas yang menekan. Pendidikan adalah tentang memberi anak-anak kita alat untuk menjalani kehidupan yang lebih baik, bukan hanya tentang mengejar nilai semata. Mari kita ciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga sehat secara mental dan emosional. Dengan pendekatan yang lebih bijaksana, kita dapat membantu mereka menemukan kebahagiaan dalam belajar dan hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun