Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Orang Miskin Dilarang Sakit

21 Oktober 2024   02:47 Diperbarui: 21 Oktober 2024   03:58 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dunia yang ideal, kesehatan adalah hak asasi manusia yang harus dijamin untuk semua, tanpa memandang status ekonomi. Namun, kenyataan sering kali berbicara sebaliknya. Di negara ini, orang miskin seolah "dilarang sakit." 

Ketika penyakit menyerang, mereka menghadapi dilema yang tidak seharusnya ada: apakah harus mengeluarkan biaya untuk berobat atau bertahan dengan penyakit yang bisa memperparah keadaan mereka. Fenomena ini bukan hanya menyedihkan; ini adalah ironi tragis dalam sistem kesehatan yang seharusnya melindungi dan merawat setiap individu.

Kita semua tahu bahwa kesehatan adalah investasi yang mahal. Rawat inap, pengobatan, dan konsultasi dokter bukanlah biaya yang bisa dianggap remeh. Sementara orang kaya dapat dengan mudah mengakses perawatan kesehatan yang berkualitas, orang miskin sering kali terpaksa memilih antara mencari pengobatan atau memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. 

Ketika datang waktu untuk memilih, banyak yang lebih memilih untuk bertahan dengan rasa sakit dan penyakit, mengorbankan kesehatan demi bertahan hidup. Satu pertanyaan muncul: mengapa kita membiarkan situasi ini terus berlangsung?

Sistem kesehatan di negara ini, meskipun telah mengalami berbagai perbaikan, masih menyisakan banyak masalah yang harus dihadapi. Proses birokrasi yang rumit dan kebijakan yang tidak memadai membuat banyak orang merasa terpinggirkan. Pendaftaran di fasilitas kesehatan sering kali membingungkan, dan prosedur klaim untuk asuransi kesehatan bisa memakan waktu. Ketidakpastian ini menambah beban mental bagi mereka yang sudah berada dalam kondisi sulit.

Bahkan ketika seseorang berhasil mendapatkan akses ke layanan kesehatan, biaya yang harus dikeluarkan sering kali membuat mereka terjebak dalam siklus utang yang berkepanjangan. Situasi ini diperparah oleh kenyataan bahwa obat-obatan esensial dan perawatan lanjutan sering kali tidak terjangkau. 

Banyak orang yang harus rela membeli obat generik yang kadang kualitasnya diragukan, demi menghemat pengeluaran. Ini menciptakan dilema moral: apakah mereka berhak atas pengobatan yang lebih baik, atau apakah kesehatan mereka harus terus dijadikan komoditas yang bisa dibeli?

Selain itu, stigma sosial terhadap orang miskin yang sakit sering kali muncul. Dalam masyarakat kita, ada pandangan bahwa sakit adalah hasil dari pilihan hidup yang buruk. 

Orang-orang miskin sering kali disalahkan atas kondisi mereka sendiri, seolah-olah kemiskinan dan sakit adalah konsekuensi dari kebodohan atau kurangnya usaha. Pandangan ini sangat keliru. Penyakit tidak mengenal batasan ekonomi; siapapun bisa jatuh sakit, terlepas dari seberapa keras mereka berusaha.

Kita juga tidak bisa mengabaikan dampak dari krisis kesehatan global seperti pandemi COVID-19 yang lalu. Situasi ini semakin menyoroti kesenjangan dalam akses kesehatan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun